SuaraJogja.id - Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, yang jatuh pada hari ini, Kamis (10/12/2020), massa Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) kembali turun ke jalan. Dengan membawa beberapa banner dan suara lantang, massa ARB menyerukan kegelisahannya terhadap pemerintah.
Sebenarnya jika sesuai rencana yang beredar, massa ARB hendak melakukan aksi dengan mengadakan long march, dimulai dari titik kumpul Abu Bakar Ali hingga menuju ke kawasan Titik Nol Kilometer.
Namun, rencana itu tidak terlaksana karena pihak kepolisian telah menutup terlebih dulu akses Jalan Malioboro untuk dilewati massa aksi. Penutupan itu dilakukan dengan pagar besi dan dijaga oleh beberapa personil kepolisian.
Dalam aksi kali ini, massa ARB menyoroti peran negara yang masih dianggap gagal untuk menuntaskan kasus HAM bertahun-tahun, bahkan berpuluhan, tahun lalu. Menurut mereka, negara bukan hadir untuk menyelesaikan itu, melainkan malah membantu memperpanjang penjajahan tersebut.
Baca Juga:Munarman: Kematian Tragis 6 Laskar FPI Bertepatan Momen Hari HAM Sedunia
"Negara adalah sebuah alat yang semula didirikan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan, menentang penghisapan satu manusia terhadap manusia lainnya, tapi faktanya penjajahan masih terus terjadi hingga hari ini, yang malah difasilitasi oleh negara," kata salah satu perwakilan massa ARB saat melakukan orasi di Jalan Abu Bakar, Yogyakarta.
Selain itu, kasus lainnya yang menjadi sorotan terkait dengan tidak seriusnya pengusutan kasus HAM tersebut, sehingga para pelaku, aktor kunci dari kasus 65, kasus Marsinah, Widji Thukul, dan Munir masih bebas berkeliaran hingga sekarang.
Pembiaran terjadinya kekerasan pada kelompok minoritas seperti kelompok kepercayaan atau agama minoritas, LGBTI masyarakat adat masih terus berlangsung hingga saat ini. Mirisnya kelompok pelaku kekerasan tidak hanya datang dari sipil reaksioner tetapi juga dari negara melalui aparatur militernya.
"Tak ada inisiatif dan kompetensi pemerintah dalam penanganan pandemi sehingga pasca tujuh bulan merebaknya kasus Covid-19 di Indonesia kasus harian masih tercatat di atas 4.000 kasus. Bahkan Indonesia masuk ke dalam 18 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia versi Worldometer," serunya.
Tidak hanya itu saja, masih ada banyak tuntutan lain yang diutarakan oleh massa ARB dalam peringatan Hari HAM sedunia ini. Isu gender tentang meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19 juga menjadi sorotan.
Baca Juga:Hari HAM Sedunia, Jokowi: Saya Dengar Masih Ada Masalah Kebebasan Beribadah
Berdasar laporan yang diterima LBH APIK sepanjang Maret-April 2020 saja, terdapat 33 kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga, 30 kasus kekerasan berbasis gender. Belum lagi delapan kasus pelecehan seksual dan tujuh kasus kekerasan dalam hubungan pacaran dan 97 kasus kekerasan seksual.
"Catatan tersebut mencerminkan bagaimana marginalisasi terhadap perempuan dan identitas gender minor lainnya akibat ketiadaan perlindungan hukum yang memadai," tegasnya.
Menurut mereka, dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari prioritas Prolegnas 2020 adalah pengkhianatan upaya pemenuham keadilan bagi korban atau penyitas kekerasan seksual. Hal itu semakin menelanjangi wajah DPR yang tidak memiliki komitmen dalam penyelesaian kasus tersebut.
Ragam persoalan tersebut tidak lain dari kegagalan sistem politik di Indonesia dalam merumuskan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat kecil. Sistem politik saat ini semakin mereduksi partisipasi rakyat ke dalam lembaga-lembaga perwakilan dan bahkan partai.
"Keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan sekadar memberikan suara saat pemilu lima tahun sekali dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang menjebak rakyat dalam partisipasi semu," ucapnya.
ARB melihat tatanan yang saat ini dipakai tidak bisa dipertahankan lagi. Artinya perubahan harus dilakukan secara menyeluruh dengan merombak sistem yang telah lama bercokol di Indonesia dan terbukti tidak dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat kecil.
Dari situ ARB memberikan beberapa tawaran konsep yang dapat dipertimbangkan, mulai dari partisipasi langsung untuk mencapai konsensus, otonomi individu, horizontalisme, interelasi serta inklusi.
Demo yang berlangsung cukup damai itu sempat mendapat respon penolakan juga dari sekelompok warga yang tergabung dalam PKL Malioboro. Mereka datang dengan membawa spanduk yang intiny tidak memperkenankan demo atau aksi massa memasuki kawasan Malioboro yang digunakan sebagai tempat mereka mengais rezeki.
Demo akhirnya berakhir damai dengan ditandai oleh massa aksi yang membubarkan diri denga tertib. Begitu juga dengan beberapa PKL Malioboro serta polisi yang berjaga di sekitar lokasi.