Larangan Mudik Lebaran, Organda DIY: Kami Terima meski Harus Tiarap Lagi

Hantoro berharap pemerintah bisa saling bekerja sama dengan Organda.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 28 April 2021 | 18:10 WIB
Larangan Mudik Lebaran, Organda DIY: Kami Terima meski Harus Tiarap Lagi
Beberapa penumpang terlihat sudah bersiap untuk mudik lebih dini Terminal Jombor, Sleman, Rabu (28/4/2021), sebelum aturan larangan mudik diterapkan. - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

SuaraJogja.id - Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Hantoro menyebutkan bahwa aturan larangan mudik dari pemerintah memaksa pihaknya kembali tiarap menerima keadaan. Walaupun memang mau tidak mau aturan itu tetap akan dilaksanakan.

"Ya kalau kami prinsipnya akan menyesuaikan ya walaupun kami harus tiarap lagi. Gimana lagi larangan itu kan menjadikan orang takut menggunakan angkutan umum," kata Hantoro saat dihubungi awak media, Rabu (28/4/2021).

Padahal, kata Hantoro, pihaknya berharap pemerintah bisa saling bekerja sama dengan Organda, dengan tujuan mengakomodir masyarakat untuk tetap melakukan mobilitas tentunya sejalan bersama penerapan ketentuan protokol kesehatan.

"Karena, bahwa Covid-19 ini tidak ada yang bisa menjawab sampai kapan, tapi kita harus beradaptasi. Dengan adaptasi itu perlu edukasi kepada masyarakat," terangnya.

Baca Juga:Ganjar Sebar 14 Titik Penyekatan, Warga Klaten Kerja ke Jogja Masih Bisa

Lebih lanjut, Hantoro menyebutkan bahwa adaptasi itu salah satunya dengan tetap melakukan mobilitas di masa pandemi ini dengan bekal protokol kesehatan yang ketat. Dari situ juga diperkukan edukasi secara lebiu baik terhadap masyarakat.

Menurutnya, jika hanya mengeluarkan larangan, tetapi tanpa ada solusi juga akan percuma saja. Nantinya orang-orang justru akan mencari jalan lain terkhusus berkaitan dengan angkutan umum.

"Ya kita harus memberikan edukasi terhadap masyarakat. Kalau melarang tidak ada solusi kan percuma kan kita. Pasti orang akan mencari jalan yang mereka bisa, gitu," ujarnya.

Mengenai kerugian, disampaikan Hantoro sudah terhitung sangat besar. Pasalnya memang sudah satu tahun lebih tidak beroperasi.

Hantoro menjelaskan dengan hitungan pe rbulan dalam kondisi normal yang minimal Rp55 juta dapat diraup. Hasil itu dari kapasitas bus angkutan pariwisata dan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) yang tercatat sekitar 1.200 buah.

Baca Juga:Dampak Larangan Mudik, Penjualan Helm Menurun

Ditanya tentang siasat yang bisa dilakukan dengan kondisi semacam ini, pihaknya tak bisa berbuat banyak. Pengeluaran yang terus dialami tidak dibarengi dengan pemasukan yang ada.

"Ya ora iso diakali mas [tidak bisa disiasati]. Diakali gimana kita ngga bisa kok. Dengan ilmu ekonomi apa saja ya nggak bisa. Ini sudah tidak megap-megap lagi, semaput [pingsan]. Sudah tidak bisa bergerak," terangnya.

Bahkan kadang pihaknya harus rela menutup kekurangan dalam bisnisnya itu dengan biaya yang tidak sedikit. Disebutkan Hantoro, setidaknya minimal diperlukan Rp100 juta untuk satu perusahaan saja setiap bulan belum ditambah membayar bunga di bank.

"Terus mau gimana? Tidak ada sentuhan sama sekali dari pemerintah, terus gimana?," tanyanya pasrah.

Sementara itu, salah satu Agen Perwakilan dari PO Puspa Jaya dan Agra Mas, Tri Asih menuturkan bahwa ramadhan tahun ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan tahun lalu. Pasalnya jika tahun lalu ia sama sekali tidak bisa bergerak namun saat ini sedikit bergerak walaupun juga tak banyak.

“Kalau tahun lalu itu sama sekali nggak ada. Lebih mending tahun ini ada masih bisa jalan cuma memang penumpang agak sepi khususnya untuk arah ke Jakarta, yang kondisi okupansi turun sekitar 75 persen,” ujar Tri.

Kondisi itu membuat jumlah armada yang dikerahkan oleh PO juga semakin menyusut. Disebutkan Tri, PO Agra tujuan Jogja-Jakarta yang biasanya itu ada enam armada harus dipangkas rela kadang hanya beroperasi tiga armada saja.

Tri mengakui bahwa PO juga sempat menaikkan tarif tiket kepada para pengguna jasa. Alasannya terkait dengan sepinya penumpang yang ada atau memanfaatkan jasa transportasi tersebut.

“Tarif memang lebih mahal. Untuk Sumatra sebelum pandemi Rp350 - Rp400 ribu, kemudian naik menjadi Rp700 ribu. Tapi ya sekarang sudah turun lagi jadi Rp400 ribu. Karena bersaing juga dengan bus parisiwata yang tarif jauh lebih murah dari bus regular,” tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini