Selalu ada saja orang yang makan di sana, setiap hari. Warga sekitar yang memasaknya sendiri, mereka bergotong-royong menyumbangkan sayur dan pelengkap lain. Sedangkan takmir memberi beras.
"[Masjid] seperti pondok pesantren masyarakat," ungkapnya.
Sudah berganti sembilan orang imam, masjid yang memiliki kolam di teras tersebut merupakan benteng pertahanan fisik bagi Keraton, usai pecahnya perang Giyanti dan renggangnya Jogja-Solo.
"Kala itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I ingin ada benteng fisik dan spiritual. Maka dibangunlah masjid patok negoro. Arsiteknya bupati Madiun di masa itu," terangnya.
Baca Juga:Nyore (Part 3): Main ke Jogja, Ngabuburit di Kampoeng Ramadhan Jogokariyan
Masjid yang dirindangi oleh pohon sawi kecik itu, juga disebutnya punya pengaruh terhadap perjuangan pangeran Diponegoro.
"Mbah Mustafa atau Kiai Mustafa merupakan imam pertama di masjid ini. Ia adalah gurunya Diponegoro," terang Kamal, yang masih memiliki garis keturunan dari Mustafa tersebut.
Kiai Mustafa adalah cucu dari kakak Sultan HB I, yakni Kiai Nur Iman. Sedangkan Kamal berada di garis keturunan ke-9 dari Kiai Nur Iman.
Masing-masing imam di setiap masjid patok negoro punya fungsi sebagai hakim, pimpinan agama, penasihat raja dan penasihat negara. Dengan demikian, setiap imam juga diberi gelar 'patok negoro'.
Namun demikian bagi Kamal, menjadi takmir tak kalah memberikan begitu banyak berkat dalam hidupnya. Dalam pandangannya, menjadi takmir masjid patok negoro Plosokuning adalah anugerah dari Allah baginya.
Baca Juga:Tukang Becak Sumbangkan Semua Uangnya ke Masjid Jogokariyan, Alasannya Haru
Ia mendapat wasilah, memakmurkan agama Allah. Dengan demikian ia memposisikan diri sebagai orang yang berjuang. Berjuang untuk keluarga dan untuk dirinya sendiri.