Kisah Fotografer Jogja, Sepinya Usaha Prewedding hingga Beralih ke Street Photography

Hanya menawarkan model berpose candid, tak begitu memberi efek, akhirnya Habib mendapat ide dengan memanfaatkan pakaian adat Jogja.

Eleonora PEW | Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 05 September 2021 | 17:44 WIB
Kisah Fotografer Jogja, Sepinya Usaha Prewedding hingga Beralih ke Street Photography
Fotografer yang tergabung dalam paguyuban Pokoke Blangkon mengarahkan wisatawan untuk berpose di sekitar Kantor Gubernur DIY dan Malioboro, Minggu (5/9/2021). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

Berhasil menarik perhatian di media sosial, Habib mendapat banyak pesan pribadi di akun Instagram. Banyak orang yang menanyakan tarif dan bagaimana menyewa jasanya.

Fotografer yang tergabung dalam paguyuban Pokoke Blangkon mengarahkan wisatawan untuk berpose di sekitar Kantor Gubernur DIY dan Malioboro, Minggu (5/9/2021). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)
Fotografer yang tergabung dalam paguyuban Pokoke Blangkon mengarahkan wisatawan untuk berpose di sekitar Kantor Gubernur DIY dan Malioboro, Minggu (5/9/2021). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

"Nah dengan ide pakaian adat ini jadi lebih fresh. Jadi yang kami sediakan pakaian lurik dan beskap. Baru dua pakaian itu yang kami tawarkan," kata dia.

Sebelum PPKM pada awal Juli 2021 lalu, dirinya biasa mendapat 30 orderan dari pelanggan. Semenjak PPKM diterapkan hingga ada kelonggaran, saat ini sekitar 10 orang pelanggan per hari yang menggunakan jasanya.

"Jadi ada satu keluarga yang melintas misalnya, ya kami tawarkan. Selain itu juga lewat media sosial. Tapi kebanyakan responsnya dari media sosial lalu kami bertemu di Malioboro," kata Habib.

Baca Juga:Akses ke Pantai Selatan Disekat, Wisatawan Lewat Jalur Tikus

Meski sempat PPKM dan tidak banyak orang di Malioboro, momen itu dianggap lebih nyaman saat mengambil foto. Habib tidak berambisi untuk mendapat pelanggan yang banyak saat situasi saat ini, namun dirinya mensyukuri berapapun jumlah pelanggan yang meminta dan menyewa jasanya dalam sehari.

Tarif untuk jasanya dibayar per file foto yang dipilih. Habib mematok harga Rp5 ribu per file. Selain itu untuk jasa persewaan satu set baju adat sekitar Rp20-25 ribu.

"Nanti mereka pilih file-nya, tidak harus diambil semua fotonya. Nanti tinggal dikali Rp5 ribu," kata dia.

Habib menjelaskan bahwa ia tidak bergerak sendiri. Banyak warga sekitar yang ia ajak untuk membantu menjadi perias, tempat berganti pakaian hingga menyediakan baju adat. Saat ini jasa foto jalanan di Malioboro yang ia bangun sudah memiliki paguyuban bernama Pokoke Blangkon. Anggotanya sekitar 20 orang termasuk Habib yang menjadi koordinatornya.

Habib mengatakan bahwa jasa dan paguyuban ini dibangun karena warga merasakan kondisi yang sama yaitu kesulitan ekonomi. Sehingga ide yang ia cetuskan juga sebagai upaya mengajak warga untuk tetap bertahan di tengah pandemi.

Baca Juga:Penyekatan di TPR, Begini Modus Wisatawan agar Bisa Tetap Sampai Ke Pantai Gunungkidul

Terpisah, salah seorang wisatawan asal Depok, Rana Sumantri Sumarna (35), mengatakan, baru kali pertama ia mencoba jasa foto dengan pakaian adat Jogja itu. Selama dirinya berkunjung ke Kota Pelajar, konsep itu baru ia temukan.

"Ya ini cukup baru ya, selama saya ke Jogja belum ada yang menawarkan seperti itu. Saya tahu dari Instagram dan saat berlibur ini sekalian mengajak anak dan istri membuat kenangan liburan yang berbeda," kata dia.

Soal harga, kata Rana juga termasuk terjangkau. Tidak sampai Rp200 ribu, dirinya sudah bisa mendapat hasil foto yang bagus dengan latar Malioboro.

"Cukup terjangkau, wisatawan tidak perlu budget lebih untuk mendapat hasil foto sebagus ini. Kami juga bebas mencari spot fotonya," ujar Rana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini