SuaraJogja.id - Mewarisi stempel keluarga yang dituding terkait gerakan PKI, membuat Pipit Ambarmirah sempat mendapat perlakuan yang kurang baik di tengah lingkungannya.
Kepada SuaraJogja.id, Pipit mulanya tidak langsung dijelaskan atau diberitahu tentang masa lalu kedua orang tuanya. Melainkan hanya mengandalkan pelajaran sejarah di sekolah laiknya anak-anak lain seusianya.
"Jadinya sempat mengalami masa-masa membenci, tidak bisa menerima keadaan. Karena kan memang sejak dari SD sampai SMA pelajarannya sama tentang betapa kejamnya PKI dan peristiwa 65 pembunuhan 7 Jenderal itu tok, dipikiranku juga sama," ucapnya.
Ketika itu, Pipit yang masih polos duduk di bangku SMP. Ia mendengar cerita dari guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang sekarang mungkin lebih dikenal dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Baca Juga:Alasan TVRI Tak Tayangkan Film Pengkhianatan G30S PKI
Gurunya bercerita tentang dipecatnya seorang seorang anak di SMA Taruna Nusantara karena ternyata kakek dan neneknya dulu dianggap terlibat gerakan terlarang atau PKI.
"Itu aku SMP dan itu aku enggak tahu, aku belum tahu tentang latar belakang bapak ibu," katanya.
Ternyata cerita pemecatan salah satu seorang anak di sekolah dulu sangat membekas bagi perempuan kelahiran 1981 ini. Bagaimana tidak, peristiwa itu kemudian justru menjadi salah satu bahan pelajaran PMP yang ia terima.
Gurunya bercerita tentang akibat dari kesalahan orang tua yang bersangkutan atau bahkan keluarganya ditanggung semua oleh keturunannya.
"Aku sampai merasa kasihan dengan anak itu. Padahal aku di posisi yang sama begitu. Itu kan belum menyadari. Jadi ironis," sebutnya.
Baca Juga:1 Oktober 2021, Hari Kesaktian Pancasila atau Hari Lahir Pancasila? Cek Bedanya di Sini
Menjalani Momen Paling Gelap
Diungkapkan Pipit, sebenarnya sebelum lulus SMP ia sangat ingin untuk masuk ke SMA Taruna Nusantara. Ia menganggap waktu itu jika bisa masuk ke SMA Taruna Nusantara masa depannya terjamin.
"Bisa dapat beasiswa, ada asrama, tegas gitu kan pikiran kebanyakan anak yang waktu itu memang seperti itu bahwa jadi idola itu adalah seperti tentara, itu sebelum sadar. Itu ya masa masa-masa gelap menurutku jadinya karena belum tahu itu," terangnya.
Pipit mulai tahu sedikit demi sedikit masa lalu orang tuanya ketika masuk SMA. Bukan dari kedua orang tuanya langsung melainkan dari cerita teman-teman bapak dan ibunya yang sering datang ke rumah.
Termasuk juga ia mendengar cerita tentang penahanan bapak ibunya. Namun saat itu ia belum bertanya secara langsung kepada kedua orangnya untuk memastikan kebenaran itu.
Kenangan mata pelajaran PMP di SMP itu kemudian muncul kembali. Dulu yang ia merasa iba dengan anak yang kisahnya dijadikan bahan pelajaran, kini Pipit sendiri yang mulai sadar bahwa kondisnya tidak jauh berbeda dari cerita itu
"Kemudian ketika tahu itu ya sempat marah, benci. Maksudnya karena selama sebelum aku tahu itu banyak, beberapa kali kejadian yang tanpa kusadari bahwa aku itu ternyata juga bagian dari itu," ungkapnya.
Kemarahan Pipit kepada kedua orang tuanya sempat membuat kondisinya drop. Padahal saat itu ia harus menghadapi ujian kelulusan SMA.
"Aku merasa buat apa sih aku susah-susah sekolah nanti aku lulus terus aku tidak bisa memilih menjadi apa. Karena itu sudah digariskan, kemudian karena aku ingat banget dengan cerita di SMP itu semua anak keturunannya tidak akan bisa menjadi pegawai negeri enggak bisa menjadi tentara, enggak bisa terjadi apa-apa yang ada hubungannya dengan pemerintah, waktu itu ketika mendengar bahwa bapakku ternyata begitu itu aku sudah merasa, hancur ini sudah. Aku enggak bisa menjadi sesuatu yang aku inginkan di Indonesia ini," ujarnya.
Namun saat itu Pipit tetap bertekad untuk menyelesaikan sekolahnya di SMA hingga ia kemudian memilih memupus impiannya jadi tentara dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan.
Ingin Jadi Anak Pak Harto
Pipit sendiri diketahui melanjutkan kuliah pada Fakultas Pertanian di sebuah universitas negeri angkatan 1999. Dua hingga tiga tahun pertamanya kuliah, Pipit hanya bisa fokus mengerjakan segala tugas-tugasnya, laboratorium hingga praktik dan lain sebagainya.
Pada periode sekitar 2003-2004 akhirnya Pipit mulai mendapatkan sedikit waktu longgar. Masa-masa ini yang juga dianggap sebagai titik awal perspektifnya mengenai stempel PKI itu mulai bergeser.
Awalnya ketika Pipit diminta untuk mengantarkan bapaknya Leo ke sebuah pertemuan anak-anak muda di kampusnya. Ia sendiri tidak tahu pertemuan apa itu.
"Jadi ada anak-anak mahasiswa itu mereka minta bapak untuk ngobrol di situ. Aku mendengarkan tapi aku udah tahu latar belakang bapak aku diam aja sih aku cuma mendengarkannya bercerita," ujar Pipit.
Dari situ, bapaknya lantas mempertemukan Pipit dengan anak-anak muda lain, yang notabene sama-sama merupakan generasi kedua. Ia mulai mendengar berbagai cerita, baik dari bapaknya atau teman-teman bapaknya.
"Di situ mulailah aku agak-agak berubah persepsiku. Tidak lagi menyalahkan, ini kan masih ya, tapi sudah tidak terlalu ketika di awal-awal aku mendengar cerita itu tapi kemudian itu sudah mulai berkembang kan," ucapnya.
Pemahaman itu mulai datang ketika ia menyadari bahwa banyak teman-teman mahasiswa yang ingin tahu cerita bapaknya. Dari cerita yang didapatkan pun, ia mendengar bahwa bapaknya sendiri tidak tahu alasanya hingga saat ini kenapa ditahan.
Perang batin semakin dirasakan Pipit. Perspektifnya mulai bergeser. Tidak lagi melihat bahwa orang tuanya sebagai penyebab semua masalah tetapi justru sebaliknya, ada banyak hal kompleks yang melatarbelakangi peristiwa itu.
"Kemudian di situ aku malah terlibat untuk mendengar cerita yang lain gitu. Jadi aku tidak hanya mendengar cerita bapakku, tapi aku mendengar cerita temen-temen bapak yang lain. Itu cukup menggugah dan membuat aku banyak bertengkar sendiri dengan pikiranku," jelasnya.
Kendati memang Pipit mengetahui masa lalu orang tuanya justru lewat teman-teman bapak ibunya. Tetapi ia mengaku sudah sempat diceritakan mengenai hal itu tetapi tidak secara eksplisit.
"Bapak cerita misalnya saat masih muda dia di sana jadi juara sepak bola. Di sana, dia tidak menyebut Pulau Buru waktu itu. Jadi aku tidak ngeh. Tapi dia bilang dulu di daerah di luar Jawa dan Jawa Tengah, di sana itu bapak itu ikut kesebelasan. Jadi bapak itu waktu di Pulau Buru ikut tim sepak bola yang sering tanding-tanding gitu. Jadi dia cerita dan ada kejadian-kejadian lucu waktu masih mudanya tapi tidak pernah menyebut kata Pulau Buru," terangnya.
Begitu juga dengan sang ibu yang tidak pernah menyebut Plantungan. Hanya sebatas pengalaman-pengalaman yang dijalani di masa dulu, di luar daerah.
Cerita-cerita itu juga dikisahkan dengan lucu oleh kedua orang tuanya. Walaupun sebenarnya itu cerita yang menyedihkan.
"Jadi kita sering ketawa-ketawa mendengar dongenganya tapi aku enggak nyadar kalau itu semua kejadian terjadi ketika mereka ada di tahanan," tuturnya.
Kepolosan Pipit itu tampak jelas saat ia masih berada di bangku SD. Tepatnya setelah dia menonton film G30S PKI. Gurunya di sekolah bercerita tentang Presiden Soeharto, pribadi hingga kekayaannya.
Dia dicekoki dengan informasi bahwa Presiden Soeharto itu sangat senang dengan anak yang pintar. Bahkan akan diberi hadiah jika memang pintar dalam cerdas cermat. Cerita tentang betapa makmurnya Soeharto kala itu.
"Terus aku pulang nih, bilang 'Pak, aku kok pengen jadi anak e Soeharto', lalu bapakku menangis. Sekarang kemudian pas aku ingatkan cerita itu dia ketawa. Kalau inget sekarang aku ya ampun, ya gimana anak SD dicekokin tentang keluarga bahagia dia (Soeharto) dengan anak-anak. Gimana menjadi simbol yang harus dicontoh keluarga bahagia ini," kata Pipit sambil terkekeh.
Marahku Sebagai Perempuan
Perspektif Pipit yang sudah mulai bergeser semakin ditambah lagi ketika ia mendengarkan cerita tragedi G30S versi penyintas perempuan.
"Cerita itu lebih menggugah dan lebih mengerikan," imbuhnya.
Kemarahan Pipit lantas beralih, bukan lagi kepada kedua orang tuanya melainkan kepada negara. Atas segala perlakuan yang diberikan kepada orang tua dan teman-teman orang tuanya.
"Aku mendengar interogasi yang dilakukan para tentara yang dilakukan kepada ibu-ibu yang aku dengar ceritanya itu. Aku ikut marah, sedih, jengkel dan kebencian mereka orang-orang yang berbaju militer itu kemudian sempat mengena ke aku," paparnya.
Banyak cerita di luar nalar yang kemudian didengar langsung oleh Pipit. Hal itu yang membuat sikapnya berubah 180 derajat dalam merespon tragedi G30S.
"Ya itu kemudian yang mengubah aku, berubah 180 derajat adalah ketika bertemu langsung dan mendengar cerita mereka dan apa yang mereka alami. Kemudian bagaimana mereka bercerita mengatasi itu. Jadi kemudian aku kayak mendapatkan pegangan. Aku cuma merasakan, mendengar," ungkapnya.
Ia juga menyadari alasan ibu-ibu tersebut tidak bisa kemudian terbuka mengenai tragedi itu. Mereka tidak mungkin bisa menceritakan kejadian yang dialami itu di depan umum secara bebas sebab itu sangat mengerikan dan memalukan.
"Aku merasa selama ini aku merasa bahwa aku sangat menderita sekali. Ternyata setelah mendengar cerita mereka itu aku malu, malu banget. Bahwa aku itu belum apa-apa dibanding apa yang sudah dijalani mereka seumur hidup. Jadi itu yang kemudian merubah diriku. Kemudian itu menjadi catatan refleksiku pribadi ya," tuturnya.
Setelah itu Pipit merasa bersyukur dan berterima kasih bisa berkesempatan mendengar cerita versi para penyintas tragedi 65. Sebab sebelumnya ada banyak ibu-ibu atau bapak-bapak yang tidak pernah bercerita dengan keluarganya.
Baik dari keluarga yang tidak mau tentang cerita itu atau dari penyintas 65 sendiri yang belum siap menceritakan peristiwa itu kepada keluarganya sendiri.
Pipit sendiri mengaku sudah bisa bertanya kepada bapak saat itu tapi berbeda dengan ibunya. Ia sendiri yang merasa belum siap untuk mendengar banyak cerita dari versi sang ibu.
"Aku takut ibu menceritakan kejadian yang mengerikan seperti yang aku dengar, aku dengar sendiri dialami ibu kayaknya aku yang enggak kuat. Jadi aku mendengar cerita ibu itu dari pihak-pihak lain, aku tidak tanya langsung ke ibu. Kalau tanya langsung ke bapak," bebernya.
Namun Pipit tidak menampik bahwa ia merasakan ada perbedaan saat menanyakan peristiwa tragedi G30S itu kepada penyintas pria dan perempuan. Menurutnya para penyintas pria itu seolah tanpa beban mereka bercerita.
Tetapi itu sangat berbeda ketika kemudian hal sama ditanyakan dengan penyintas yang perempuan. Diperlukan pendekatan tersendiri dan berhati-hati dalam mengulik masa kelam itu.
"Berbeda dari caranya bercerita dan ceritanya. Bukan kita kemudian membandingkan berat yang mana yo tidak itu berbeda, semuanya sama-sama berat. Kita tidak bisa menjastifikasi mana yang lebih berat. Tapi kalau bapak-bapak, refleksiku ya, bapak-bapak ketika peristiwa itu dia disiksa secara fisik gitu. Kalau ibu-ibu tidak hanya fisik tapi juga mental," urainya.
Kemudian, apa yang dialami oleh ibu-ibu itu tidak bisa serta merta diceritakan atau diumbar ke sembarang orang. Sebab kemudian bagi para penyintas perempuan cerita itu semacam membuka aib mereka.
"Kalau yang perempuan itu kan dia yang diserang keperempuanannya. Gimana coba kita mau menceritakan bahwa aku disiksa dengan dia dilecehkan secara seksual. Dia tidak akan bisa menceritakan itu. Pelecehan secara seksual itu kan sangat bagi kami yang perempuan itu kan memalukan ketika itu diceritakan itu, bukan orang yang melecehkan kemudian yang dihukum tapi kami dilecehkan yang dihukum," paparnya.
Ibu-ibu penyintas tragedi G30S ini juga tidak bisa langsung membuka diri kepada orang lain begitu juga kepada Pipit. Diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk akhirnya ibu-ibu itu percaya dengan dirinya.
Dibutuhkan saling mengenal dulu dan itu, kata Pipit, waktu yang juga akan menuntun kemudian yang bersangkutan mau menceritakan kisahnya.
Hal itu bahkan juga berlaku pada keluarga para penyintas sendiri. Hubungan keluarga itu tidak kemudian membuat yang bersangkutan bisa langsung terbuka.
"Mereka mau bercerita kepadaku itu butuh proses pendekatan yang lumayan. Karena itu sebetulnya kan dia mengenal aku sebagai anak ibu dan dia temennya Ibuku, dia tahu aku dari kecil sampai kemudian aku gede. Tapi ketika dia mau cerita kan dia mikir-mikir dulu. Karena juga mereka menganggap aku anaknya to. Jadi tidak semudah itu juga dengan mereka menceritakan apa yang dialami. Prosesnya panjang itu," ungkapnya.
Stempel PKI dan Kafir
Berasal dari keluarga penyintas tragedi G30S secara tidak langsung memberikan dampak tersendiri bagi kehidupan Pipit. Terlebih saat ia masih terbilang belia dan belum mengetahui secara utuh masa lalu kedua orang tuanya.
Pipit mengatakan jika kemudian mengaitkan sejumlah kepingan yang terjadi di masa lalu memang ada kejadian yang berhubungan tentang latar belakang keluarganya. Namun memang saat itu ia tidak terlalu berpikiran macam-macam.
"Tapi memang di masa kecil karena aku tidak tahu ya santai aja maksudnya tidak ada masalah, karena aku tinggal di daerah pinggiran. Pinggiran itu dia bukan kota tapi juga bukan pelosok. Jadi lebih cair ya," tuturnya.
Pipit sendiri masih mengingat saat dulu di lingkungannya ada beberapa tetangga yang tidak suka ketika dirinya bermain drngan anak-anaknya. Hal itu dirasakan Pipit ketika masih kecil, sekitar SD tepatnya.
"Tapi waktu itu aku tidak punya pikiran bahwa aku tidak disukai karena bapak-ibuku, enggak ada pikiran itu, tapi itu kemudian aku setelah ngerti aku baru ngeh. Oh pantesan dia tidak boleh main denganku," ucapnya.
Walaupun Pipit mengaku tidak terlalu merasakan dampak dari ketidaksenangan orang-orang lain terhadap latar belakang keluarganya. Tetapi ada kejadian yang masih teringat hingga sekarang.
"Jadi merasakannya itu setelah aku tahu jadi ngeh, tapi kemudian mulai ada kejadian yang ketika kita bermain gitu misalnya aku kalah itu paling sering banget aku dikatain 'kafir' gitu," ungkapnya.
Lagi-lagi Pipit masih tidak mengetahui kenapa label itu disematkan kepadanya saat bermain. Ia hanya berpikiran bahwa label itu diberikan kepadanya karena keluarganya berbeda agama dengan mayoritas masyarakat di lingkungannya bukan karena bapak ibunya adalah mantan tapol.
"Aku enggak ngeh, jadi bayanganku itu. Oh ternyata setelah gede kemudian paham tentang latar belakang kemudian menjadi paham, aku dituduh tadi karena bapak ibuku itu tadi. Bukan karena agama tapi karena tadi. Karena yang agamanya sama beberapa juga tidak pernah dikatakin seperti itu. Cuma aku," tuturnya.
Wadahi Para Penyintas G30S
Setelah perspektif Pipit tentang tragedi G30S mulai berubah dari cerita-cerita penyintas. Sekitar pada tahun 2004 ia juga bertemu dengan teman-teman yang berasal dari Syarikat Indonesia.
Dijelaskan Piptit, Syarikat Indonesia adalah anak-anak muda NU. Waktu itu mereka sudah mulai mencari tentang cerita-cerita masa lalu yang berhubungan dengan tragedi G30S baik dari sisi penyintas maupun dari para kyai yang waktu itu dari teman-teman muda NU.
"Jadi di situ sering ada diskusi-diskusi apa yang terjadi di masa lalu kan Syarikat Indonesia kan dulu cita-citanya rekonsiliasi akar rumput ya dan itu cukup, apa yang dilakukan Syarikat itu yang sangat membantu ku juga banyak untuk salah satu healing juga sih sebetulnya untukku," kata Pipit.
Sebab ternyata kemudian Pipit juga melihat dalam tragedi kelam itu, bukan hanya "korban" saja yang menderita. Melainkan ada juga "pelaku" yang ikut merasakan itu.
Seperti yang dirasakan oleh salah satu anak dari bapak yang dulu termasuk harus menangkapi orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Pipit menuturkan pertemuannya dengan anak "pelaku" itu memperlihatkan bahwa ada trauma di sana.
Momentumnya adalah ketika Syarikat Indonesia bersama dengan Komnas Perempuan menggelar acara besar dalam rangka mempertemukan para penyintas G30S se-Jawa dan Bali di Yogyakarta. Tepatnya tahun 2005 di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), Bugisan, Yogyakarta.
Pertemuan yang bertajuk 'Temu Rindu Menggugat Senyap' itu adalah pertemuan pertama kali para tapol G30S setelah 35 tahun berpisah. Benar saja, pertemuan yang akhirnya memberikan nuansa nostalgia yang sangat kental itu berlangsung dengan penuh rasa haru.
Pipit mendiskripsikan waktu itu, ibu-ibu dan bapak-bapak yang datang tidak mempedulikan acara yang sebenarnya sudah disiapkan panitia. Melainkan mereka sibuk mencari teman-temannya yang hadir di Pendopo Bugisan itu.
"Jadi proses yang memberi ruang itu yang kemudian sangat luar biasa sih menurutku. Mereka bisa bertemu setelah 35 tahun karena setelah mereka bebas kan mereka tidak bisa bertemu kan," ungkapnya.
Lebih lanjut, disebutkan Pipit, ternyata kerinduan para penyintas itu terbawa hingga akhir acara. Dalam buku presensi yang disediakan panitia banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang menyatakan ingin sekali mengulangi pertemuan itu.
Di sinilah cikal bakal inisiasi Kiprah Perempuan (Kipper) itu muncul sebagai sebuah wadah pertemuan para penyintas tragedi G30S di Kota Yogyakarta hingga sekarang.
"Ya ini terbentuk karena inisiasi Syarikat itu tadi. Kemudian difasillitasi dan ibu-ibu sendiri menyambut dengan penuh semangat bahwa mereka memang membutuhkan ruang itu. Ya udah dan itu bisa bertahan benar memang dan berkembang sesuai kebutuhan para anggotanya sampai sekarang," tuturnya.
Disampaikan Pipit, awalnya Kipper hanya memberikan wadah bagi para penyintas yang ada di Kota Yogyakarta. Namun tidak berlanjutnya program serupa oleh Syarikat Indonesia di kabupaten lain maka mereka ikut masuk di dalamnya.
"Jadi mereka kita tarik aja ke Kota Jogja. Jadi kemudian Kipper ini menampung ibu-ibu yang ada di Bantul pinggiran Sleman pinggiran dan Kulon Progo yang mau ikut bergabung. Bisa dibilang se-DIY tapi memang hanya cuplikan-cuplikan ya tidak banyak yang paling banyak ya Kota Jogja," jelasnya.
Pipit menuturkan bahwa saat ini sudah banyak dari para penyintas G30S yang meninggal dunia. Kemudian juga sudah hampir 2 tahun ini tidak bisa bertemu akibat pandemi Covid-19.
"Sudah banyak yang meninggal, sekarang tinggal belasan, itu pun kalau dikumpulkan mungkin enggak sampai segitu sekarang. Bisa belasan paling ini aja yang sudah masih sehat itu hanya sedikit, paling puluhan sih," terangnya.
Saat ini Pipit sudah menikah dengan Supriyadi yang juga merupakan salah satu anak penyintas G30S. Mereka berkenalan juga saat bersama-sama melakukan berbagai kegiatan terkait penyintas tragedi G30S salah satunya dalam membentuk Kipper.
Mereka telah dikaruniai dua orang anak, yang pertama laki-laki berusia 10 tahun dan kedua perempuan berusia 9 tahun.
Ditanya apakah sudah mulai menjelaskan latar belakang keluarga ke anak-anak, Pipit menyebut sebenarnya tidak menjelaskan. Lebih kepada mengajak anak-anaknya untuk ikut dalam setiap pertemuan rutin yang dilakukan oleh Kipper.
"Nah mereka tidak pernah absen, mereka selalu ikut ketika ada pertemuan itu. Jadi simbah-simbah itu mereka kenal, mereka tahu simbahnya banyak. Aku lebih mengajak mereka untuk mengenal temannya simbah-simbahnya," ujarnya.
Dari situ anak-anaknya mulai mendengar cerita-cerita yang disampaikan oleh para penyintas termasuk kakek dan neneknya. Jadi memang mereka sudah tahu kalau simbah-simbahnya dulu pernah dipenjara.
"Ketika bapakku diwawancara kemudian anak-anak mendengar, kemudian dia tanya simbah dulu sempat dipenjara to bu? Cuma memang belum tahu secara detail ya tapi minimal dia sudah tahu latar belakangnya. Sudah tahu tentang simbah kakung dan simbah putrinya," jelasnya.
Jalan Panjang Rekonsiliasi
Menurut Pipit, masih membutuhkan proses yang panjang dan tidak bisa terburu-buru dalam mengurai persoalan ini. Sebab diperlukan pihak-pihak yang bisa membahas tragedi berdarah ini secara jernih.
"Menurutku memang ini masih butuh proses yang panjang untuk peristiwa ini dan kita nggak bisa terburu-buru. Aku pernah denger apa ya, emang butuh dipotong satu generasi tua dulu ini hilang semua mungkin baru bisa terjadi peristiwa itu dibahas dengan jernih," kata Pipit.
Namun tentu Pipit sendiri tidak bisa menyebut atau bahkan memastikan berapa tahun lagi itu bisa terwujud. Hal yang bisa dilakukan sekarang adalah dengan terus melangkah ke depan sedikit demi sedikit.
"Tapi memang mikirnya sekarang sih apa yang bisa dilakukan kita dengan langkah-langkah kecil saat ini, apa yang bisa dilakukan itu aja. Enggak terlalu kemudian harus berharap pemerintah harus begini-begini, kayaknya terlalu jauh gitu kan, masih jauh," sebutnya.
Pipit menilai kondisi dalam beberapa tahun terakhir sudah sangat berbeda dengan dulu. Hal itu bisa dibuktukan dalam dua terakhir saja ketika memasuki September-Oktober tidak ada kegiatannya yang begitu mencolok.
"Maksudnya emang sudah enggak terlalu, udah nggak laku isunya. Udah enggak seheboh dulu. Jadi santai aja enggak terlalu ketika kemudian ada yang ayo nonton bareng (film G30S PKI) paling ya cuma jadi bahan guyonan di medsos tapi ngga terlalu ramai, biasa aja," ujar Pipit.
Menurutnya kondisi ini justru sudah bagus. Artinya, memang peristiwa itu bukan hal yang perlu diperingati khususnya ketika September-Oktober.
"Dan ini ternyata orang sudah enggak terlalu ngeh, enggak terlalu ini karena memang kayaknya mungkin engga ada yang disuruh untuk menggembar-gemborkan itu lagi," tuturnya.
Lagipula, kata Pipit, saat ini sudah sangat banyak informasi yang bisa didapatkan terkait dengan peristiwa itu. Terlebih dari berbagai versi dan itu bisa dicari bukan lagi dipaksa harus tahu. Ruang diskusi pun juga sudah terbuka secara luas.
"Informasinya sekarang juga sudah banyak itu ada podcast-podcast gitu, bagus-bagus kan itu ketika dia cerita dari versi yang lain gitu. Di medsos juga banyak juga temen-temen yang bikin film-film yang menurut kamu menarik untuk dijadikan bahan diskusi itu. Tidak lagi film yang diharuskan dan diwajibkan untuk ditonton. Ketika itu diwajibkan untuk ditonton kemudian itu disandingkan juga dengan film yang lain," paparnya.
Bantuan Pemerintah
Kendati memang tragedi kelam G30S belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Tidak lantas, kata Pipit menutup hal-hal baik yang sudah diupayakan pemerintah saat ini.
Satu contoh ketika saat pandemi ini kemudian banyak ibu-ibu dan bapak-bapak penyintas tragedi G30S mendapatkan suatu layanan yang seumur hidup mereka tidak pernah dapatkan dari pemerintah sebelumnya.
"Ibuku misalnya dia dulu tidak pernah seumur hidup pun dapat raskin misalnya bantuan untuk orang miskin, bantuan BLT selama pemerintahan yang lain-lain selain Jokowi ini ya. Kemudian di pandemi sekarang ibuku termasuk lansia yang didata untuk mendapatkan bantuan beras, bantuan langsung tunai, itu betapa bahagianya dia," terangnya.
Walaupun memang bantuan itu baru bisa didapatkan oleh para penyintas di penghujung hidupnya. Tetapi bantuan yang diberikan sekarang itu sangat bernilai harganya
Entah itu bantuan dalam bentuk uang tunai yang didapatkan setiap bulan atau sembako. Bantuan itu sangat dirasakan oleh para penyintas '65 yang khususnya berada di perkotaan dengan segala aturan pembatasan yang dilakukan selama ini.
"Itukan sangat membantu sekali mereka selama pandemi ini. Ibu-ibu Kipper ini kan tidak ada yang bekerja di sektor formal. Mereka semua informal, mereka ada yang jualan kelontong, jual keliling, jualan kue dan ketika pandemi tidak boleh keluar rumah, bayangkan mereka makan dari mana," ucapnya.
Disebutkan Pipit sebelumnya meskipun bapak-bapak dan ibu-ibu penyintas sudah masuk kategori lansia pun tetap tidak mendapatkan bantuan. Baru akhirnya kali ini lewat kategori lansia mereka mendapat bantuan itu.
"Saya juga nggak tahu kenapa gitu, Tapi selama pandemi ini mereka kemudian mendapatkan haknya meskipun kecil tapi kita berterima kasih," sambungnya.
Selain itu, lanjut Pipit, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam beberapa tahun terakhir ini juga sangat membantu. Termasuk juga ada Komnas HAM yang kemudian memberikan bantuan pengobatan, bantuan pelayanan kesehatan kepada para bapak ibu ini.
"Menurutku memang sebuah langkah yang kecil tapi itu sangat berguna meskipun belum bisa menyentuh semuanya. Tapi minimal pemerintah ada sedikit yang bisa dilakukan untuk para korban di akhir masa hidupnya," tegasnya.
Ia berharap langkah baik dari pemerintah itu tidak berhenti di situ saja untuk memberikan bantuan kepada para bapak ibu ini di masa mendatang. Termasuk bisa lebih memperluas lagi cakupan pemberian bantuan itu.