SuaraJogja.id - Sambil duduk bersandar, seorang pria 40 tahunan mengecek beberapa unggahan di media sosial lewat gawainya. Sesekali, pria berpakaian surjan dengan blangkon khas Jogja ini menawarkan perjalanan menggunakan andong bercat hitam-emasnya yang diparkir di Malioboro, Kota Jogja itu.
Pelanggan tak begitu tertarik, mereka hanya melintas dan si kusir kembali bermain dengan gawainya. Meski obyek wisata tersebut penuh dengan wisatawan, pria bernama Puji Dalminto itu tidak banyak mendapat pelanggan.
Menjadi kusir di Malioboro memang cukup duduk di atas andong miliknya. Bekerja secara pasif, namun sekali trip bisa mengantongi ratusan ribu rupiah.
"Hari ini saja baru sekali mendapatkan pelanggan (trip). Memang kalau menawarkan jasa andong untung-untungan," terang Dalminto ditemui SuaraJogja.id di Malioboro, Minggu (31/10/2021).
Baca Juga:12 Tempat Wisata di Jogja Paling Terkenal, Bisa Jadi Rekomendasli Liburan
Berbincang santai atau bermain gawai, adalah aktivitas Dalminto saat menunggu pelanggan. Pria asal Bantul ini mengaku jika kusir andong tak bergerak menawarkan jasa secara aktif seperti pengayuh becak.
"Kalau ada yang melintas, ya kami tawarkan. Lalu ada negosiasi harga. Jika sudah sepakat langsung kami antar mengitari malioboro," terang Dalminto.
Namun negosiasi yang diharapkan setelah pemerintah menurunkan PPKM ke Level 2 tidak sesuai ekspektasi. Pasalnya memang belum banyak pelanggan yang tertarik menaiki andong.
Bagi Dalminto hal itu tergantung keberuntungan yang didapat para kusir. Sejauh mereka sabar menanti, setidaknya ada satu pelanggan yang berkenan mengisi kantong pribadi si kusir.
"Saya datang mulai pukul 12.00 WIB. Biasanya pulang pukul 21.00 WIB. Jadi selama 10 jam itu tergantung untungnya seperti apa. Tapi kami juga menawarkan ke keluarga yang melintas. Karena segmentasi andong keluarga," katanya.
Baca Juga:Prakiraan Cuaca Jogja Hari Ini, Minggu 31 Oktober 2021
Dalam sekali trip Dalminto mematok tarif sebesar Rp100 ribu. Jumlah itu sudah bisa mengitari Malioboro hingga kembali ke titik semula. Rata-rata pelanggan diajak berputar sekitar 10-13 menit.
Dalam sekali trip, ia membatasi penumpang hingga lima orang. Jika ada lebih, ia membebankan Rp10 ribu per orangnya.
"Kadang mereka juga menawar, kalau masih masuk akal ya saya terima," ujar Dalminto yang tiap hari menawarkan jasa andongnya.
Menjadi kusir sejak tahun 2000-an, Dalminto hanya bergantung dengan kuda jenis Lokal Sumbawa miliknya. Kuda yang dibeli pada tahun yang sama itu menjadi penggerak ekonominya selama hampir 21 tahun.
"Ini yang menjadi pokok pendapatan saya. Kalau kemarin Covid-19 dan sepi pengunjung saya tidak bekerja. Hanya bergantung dari uang tabungan dan jualan makanan kecil istri," ungkap dia.
Dibukanya obyek wisata lantaran PPKM Level 2, memang menjadi harapan bagi pelaku usaha dan jasa andong seperti Dalminto. Namun begitu, pendapatan yang dia harapkan masih jauh dari kata stabil.
"Berbeda sebelum ada Covid-19, kami menunggu di atas andong dalam sehari bisa 5-8 kali trip. Biasanya memang malam yang ramai dan di akhir pekan. Tapi setelah Covid-19 kondisinya beda," ujar dia.
Tak hanya Dalminto, kusir andong lainnya, Hadi Nurmanto (60) mengaku sejak pukul 14.00 WIB menunggu pelanggan, belum mendapatkan 1 kali trip hingga pukul 17.15 WIB. Muka frustasinya sempat ditunjukkan dan hanya bisa berceloteh.
"Ya kalau seperti ini kan tergantung pelanggan. Kadang lewat, kami tawarkan, tidak merespon. Ya sudah, nerimo (menerima), tidak perlu sampai mengejar," ujar dia.
Hadi baru saja beraktivitas dengan kudanya pada Minggu (31/10/2021), sehingga hanya bisa menunggu momen atau keberuntungan yang dia harapkan di hari-hari selanjutnya.
Munculnya Covid-19, memaksa kakek 1 cucu itu beralih dengan pekerjaan lain yaitu menjadi sopir truk. Namun pekerjaan itu hanya sebentar karena tidak serius dilakukan.
"Kemarin jadi sopir truk tapi menunggu pesanan atau panggilan dari teman. Waktu itu hanya lima kalo diminta jadi sopir. Sekarang sudah tidak lagi ya menjadi kusir lagi sekarang," ujar Hadi.
Meski sempat frustasi, Hadi meyakini, jika hari ini bukan rezekinya, masih ada hari lain untuk memenuhi meja makannya dengan lauk dan nasi.
"Sekarang saya bertahan saja, kalau saya tetap di sini, pasti ada pelanggan. Atau memang butuh waktu lagi karena kan baru hari ini saya beraktivitas di Malioboro," kata dia.
Bagi Hadi dan Dalminto, dibukanya tempat wisata sudah bisa menghilangkan keresahan mereka dalam menyambung hidup. Harapannya kondisi ini bisa bertahan.
"Jadi kan kami mulai lagi dari nol. Ya tetap harus bersabar dulu. Mungkin pekan depan mulai terlihat lagi hasilnya. Semoga pendapatan bisa lebih baik lagi," ujar Hadi.