Hidup dengan Cerebral Palsy, Pemuda Ini Jadi Pahlawan Bagi Keluarganya

Andika berharap pandemi segera usai agar bisa berjualan lancar seperti sedia kala

Galih Priatmojo
Selasa, 09 November 2021 | 13:40 WIB
Hidup dengan Cerebral Palsy, Pemuda Ini Jadi Pahlawan Bagi Keluarganya
Sosok Andika Indra Saputra. [solider.id]

SuaraJogja.id - Berusaha untuk tak jadi beban bagi banyak orang tampaknya begitu kuat tertanam di hati Andika Indra Saputra (34). Meski hidup dengan cerebral palsy, tampaknya hal tersebut tak menyurutkan semangat Andika untuk melanjutkan hidup.

 Andika, nama panggilan dia, sehari-hari dia menjual makanan mentah, yaitu karak (kerupuk berbahan beras), rengginan (kerupuk berbahan beras ketan), juga tisu. Dengan motor roda tiga, Andika berkeliling menawarkan dagangannya. Mengoptimalkan media online whatsapp juga facebook, strategi lain yang dibangunnya. Berapapun pesanan (order) yang diterima, Andika akan mengantarkan (delivery) hingga alamat pemesan, tanpa meminta ongkos kirim.

Berjualan makanan mentah dan tisu telah dilakoni Andika, sebelum pandemi. Bersama sang istri Yuni Lestari (31), Andika menjalankan usaha berdagang makanan mentah sejak 2018 silam.

Dikutip dari Solider.id, Andika, dengan kondisi yang menyertai, dia adalah pahlawan bagi keluarga. Selain menafkahi istri dan anaknya, Andika juga harus menanggung biaya rumah tangga mertuanya. Membayar listrik, membantu kebutuhan sehari-hari. Sekuat tenaga, tanggung jawab itu dipikulnya. Tanpa pernah mengeluh. Andika mengaku justru bahagia bisa melakukannya.

Baca Juga:4 Penyebab Setelah Menikah Teman Menjadi Sedikit, Sadar Tidak?

Mengapa harus Andika? Menurut penuturan Andika, mertuanya tidak bekerja. Usia ibu (60), sedang ayah (80). Yuni anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kehidupan kakak-kakaknya tak lebih baik dari keluarga Andika. Karenanya,  Andika merasa harus bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang tua dari istrinya itu. Sejak menikah hingga tulisan ini dilansir, Andika tinggal di rumah keluarga istrinya, di Kongklangan, Tawangsari Teras, Boyolali, Jawa Tengah.

Andika juga menuturkan, bahwa dia mendapatkan dagangannya di Boyolali. Sedang Yogyakarta, ialah wilayah dia menjual barang dagangannya. Dengan motor roda tiganya, dua minggu satu kali, Andika ke Boyolali. Selain mengunjungi keluarga, dia juga kulakan. Dagangan dibayar saat terjual. Andika mengaku terbantu dengan sistem itu. Berat, kata dia, jika kulakan langsung membayar. Dan dengan bawa barang dulu itu, Andika mengaku bersemangat berjualan. Selain harus segera bisa membayar dagangan yang di bawa, juga bisa membelikan susu anak balitanya.

Jauh ke belakang sebelum dia berjualan bahan makanan mentah, Andika sudah berjualan puzzle. Permainan edukatif menggabungkan potongan-potongan bentuk menjadi sebuah pola atau gambar.  Dia menjual puzzle dengan berkeliling sekolah-sekolah PAUD maupun TK di Wilayah Yogyakarta. Pada hari-hari tertentu, yaitu Sabtu dan Minggu, Andika berjualan puzzle di taman bermain anak-anak Denggung, Sleman.

Dari berjualan sebelum masa pandemi, Andika bisa mendapatkan keuntungan bersih antara Rp500 ribu sampai dengan Rp1,5 juta per bulan. Penghasilan yang cukup untuk menafkahi istri, anak, juga mertuanya.

Namun, pada masa pandemi, Andika mengaku penghasilannya menurun drastis hanya Rp200 – Rp300 ribu per bulan. Dengan pendapatan yang turun drastis, Andika tetap berusaha membantu keluarganya. 

Baca Juga:Apa Makna Serangan terhadap Keluarga Veronica Koman?

Kebijakan pembatasan sosial yang beberapa waktu lalu diberlakukan di Yogyakarta, membuat Andika tak bisa bertransaksi atau bertemu langsung dengan pembeli. Ia pun hanya mengandalkan whatsapp. Jika order datang Andika akan mengantar pesanan, meletakkannya pada pagar rumah pemesan. Selanjutnya mengirim pesan, memberi kabar bahwa dagangan sudah ditaruh. Pembayaran dilakukan dengan cara transfer.

“Kalau ada pesanan, saya mengantar sampai pagar. Tidak masuk ke dalam rumah. Pesanan saya centelkan di pagar, lalu saya memberi tahu melalui whatsapp. Pembayaran ditransfer. Ada yang transfer sebelum pesanan diterima, ada juga setelah pesenan diterima,” ujar Andika.

Menjaga asa

Anak pertama dari tiga bersaudara ini, lahir di Cirebon, 5 Oktober 1987. Menjadi difabel tidak dari lahir melainkan pada usia balita, 3 tahun, dimana saat itu iba-tiba badan panas tinggi lalu kejang-kejang. Andika kecil tidak pernah dibawa ke dokter. Orang tuanya  menganggap bahwa anaknya hanya butuh dibawa ke dukun diurut atau dijampi-jampi. Dengan kondisi yang sesungguhnya cerebral palsy, Andika juga tidak pernah mengenal terapi hanya dipijit oleh tukang urut.

Alhasil tangan dan kaki Andika semakin kaku, berbicara juga tidak begitu jelas. Demikian, Andika mengulang penuturan ibunya tentang kisah kedifabilitasannya. Namun Andika tak pernah menyalahkan keadaan. Dia bahkan merasa bersyukur, hingga di usia 34 tahun ini, dirinya masih sanggup berjuang dan berusaha.

Meski pendapatannya turun drastis, sementara 1 kilo gram susu harus dibeli untuk putrinya. Andika terus menyalakan asa. Untuk menambah penghasilan, Andika mengikuti sahabatnya, bernama Joko berkeling dari TK ke TK.

“Sudah enam bulan ini, saya ikut sahabat saya, Joko berkeling di sekolah-sekolah TK yang berada di wilayah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Jika Joko menjual mainan dan alat peraga edukatif, saya menawarkan dagangan saya. Lumayan. Berkat Joko, saya bisa bertahan hidup di masa pandemi,” terang Andika. 

Saat ini, Andika mengikuti pelatihan menjahit. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Boyolali, dan dipusatkan di Semarang. Pelatihan ini berlangsung selama satu minggu, harus tinggal di asrama.

"Dengan keterampian menjahit, aku yakin bisa meningkatkan pendapatan. Saya pengin pandemi ini cepat usai, cepat berakhir. Difabel yang punya usaha bisa bangkit dan berkarya lagi. Karya-karyanya dipasarkan bersama-sama para pengusaha lain. Jadi bisa saling belajar dan sharing,” ujarnya.

Andika pun menitip pesan bagi para difabel lainnya agar jangan merasa lelah, apalagi putus asa. Tetap semangat! Pandemi pasti akan berakhir, kita semua cepat bangkit meraih kesuksesan.

Di akhir perbincangan, Andika membagikan cerita bahagianya yang lain dimana ia kini telah memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah berukuran 6 x 10 meter. Di bangun di pekarangan mertua. Rumah tersebut adalah bantuan dari Komunitas Masyarakat Tawangsari (Komasta).

“Alhamdulillah, kami sudah dibuatkan rumah oleh warga desa. Komasta, mereka yang membantu ide dan mewujudkannya. Rumah kami berbahan batako, genteng, lantai semen. Ada 3 kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan ruang keluarga. Sekarang tinggal pasang listrik, jendela dan daun pintu. Alhamdulillah, kami juga mulai dapat bantuan langsung tunai (BLT). Berupa uang sebesar Rp600 ribu per bulan, diterima tiap tiga bulan satu kali,” pungkas Andika.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini