Memahami Lika-liku Generasi Geprek: Digencet Upah Cekak, Berbagi Pengeluaran dengan Ortu

Penghasilan yang rendah membuat sejumlah pekerja di Jogja terpaksa tinggal di rumah orangtua hingga harus kerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan.

Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 30 November 2021 | 13:30 WIB
Memahami Lika-liku Generasi Geprek: Digencet Upah Cekak, Berbagi Pengeluaran dengan Ortu
Ilustrasi pekerja. (Pixabay/kaboompics)

SuaraJogja.id - Disclaimer: Penyebutan geprek di dalam konten ini sama sekali tidak bermaksud untuk menyamakan atau memberikan konotasi buruk terhadap kuliner berjenis geprek. Istilah generasi geprek muncul dari kicauan salah seorang netizen saat mengomentari hasil UMP Jogja 2022 sekaligus membandingkan dengan ulasan generasi sandwich berpenghasilan Rp40 juta yang sempat viral beberapa waktu sebelumnya. Upaya menyebut istilah generasi geprek untuk menggambarkan situasi yang dihadapi para kelas menengah ke bawah berpenghasilan rendah yang tak sebanding dengan jumlah pengeluaran yang ditanggung.

Setumpuk berkas lengkap dengan materai Rp10 ribu diletakkannya di meja kantor Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Korwil DIY. Sambil menunggu orang yang akan menerima berkasnya, perempuan 26 tahun ini mengecek pesan masuk pada gawainya.

Datang seorang diri, perempuan berinisial DG tersebut tidak lain ingin mengadukan permasalahan yang didapatkan dari perusahaan tempatnya bekerja. Warga asal Kapanewon Turi, Kabupaten Sleman ini di PHK secara sepihak oleh perusahaan dengan alasan yang kurang masuk akal.

Sekitar 10 menit menunggu, DG ditemui oleh satu pengurus SBSI Korwil DIY. Selanjutnya ia memberikan berkas sekaligus menceritakan bagaimana dirinya dipecat pada Selasa (23/11/2021).

Baca Juga:Potensi Bencana Masih Mengancam di Jogja, Pemkot Siapkan Anggaran Rp1,8 M

"Pada bulan Oktober itu saya sudah dipanggil oleh atasan yang ada di Jogja. Rencananya ada pengurangan pegawai dari posisi supervisor karena perusahaan yang ada di Jakarta tidak bisa menggaji," buka DG kepada SuaraJogja.id ditemui di kantor SBSI, Sleman, DIY, Jumat (26/11/2021).

Mendapat pemberitahuan itu, DG mulanya masih tenang mengingat kondisi keuangan perusahaan yang bergerak di bidang jaringan telekomunikasi area Jogja masih cukup stabil dibanding area lain. DG menduga ada dua area yakni Purwokerto dan Kebumen yang rencananya akan ditutup oleh pusat karena tidak mencapai target pendapatan.

Perempuan yang memegang jabatan sebagai supervisor area Jogja tersebut kemudian kembali dipanggil oleh atasannya pada 23 November 2021. Atasan DG, secara lisan memintanya untuk berhenti bekerja dari perusahaan itu.

"Tidak ada surat peringatan atau pemberitahuan dulu kalau saya yang diberhentikan, saya minta surat pemberhentian dari pusat juga tidak diberikan, katanya hanya secara lisan. Alasannya karena pusat tidak bisa menggaji supervisor, akhirnya beberapa area diberhentikan. Tetapi setelah saya dapat informasi, hanya saya saja yang dipecat, sedangkan wilayah lain yang memang kondisi keuangan tidak baik tidak ada pengurangan supervisor, jelas ada yang tidak beres kan?," keluh dia.

DG bekerja sejak tahun 2018 pada bulan April dan dikontrak hingga 2019. Ketika durasi kontraknya habis, DG tidak diberikan surat perpanjangan kontrak meskipun sudah meminta ke atasan.

Baca Juga:Temukan 26 Siswa Terpapar Covid-19, Pemkot Jogja Tak Mau Langsung Tutup PTM

Sementara tak ada lagi perpanjangan kontrak, ia tetap mendedikasikan diri hingga tahun 2021. Statusnya sebagai pegawai dengan jabatan supervisor menggantung. Bukan pegawai kontrak apalagi pegawai tetap.

Padahal bila mengikuti Pasal 59 ayat 3, UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan, perusahaan yang mempekerjakan pegawai selama dua tahun dengan status kontrak, berkewajiban menaikkan status pegawai menjadi tetap jika di tahun selanjutnya masih bekerja.

Dengan demikian DG seharusnya memiliki hak mendapatkan surat menjadi karyawan tetap. Namun tidak demikian dengan faktanya.

Ketidakadilan di perusahaan tersebut mendorong DG mengadukan kasus pemberhentiannya itu ke serikat buruh. Kondisi saat dirinya dikeluarkan perusahaan, tidak ada sama sekali pesangon. DG keluar dengan tangan kosong.

"Kalau memang bisa kembali ke kantor itu ya alhamdulillah. Kalau tidak, seharusnya perusahaan memberikan pesangon karena saat PHK tidak ada sama sekali, hanya diminta keluar," kata dia.

DG mengaku sangat berharap bisa mendapat uang pesangon, sebab ia yang tinggal bersama orang tua dan suaminya di wilayah Turi ini tidak bisa berbuat banyak tanpa adanya pemasukan. 

Upah atau gaji yang diterima sebesar Rp2,3 juta sebelumnya, dinilai sangat mepet. Meski lebih dari UMK di Sleman, kebutuhan lain masih sulit dipenuhi.

"Kalau UMK di Sleman kan tidak sebesar Kota Jogja. Sehingga jumlah itu memang cukup besar kalau mengacu pada UMK. Tetapi kebutuhan lain harus benar-benar ditekan," kata dia.

DG merinci gaji Rp2,3 juta yang didapatnya setiap bulan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah, makan, membayar arisan ibunya serta kebutuhan sekunder, jumlah itu menghabiskan sekitar Rp1,2 juta. Lantaran urung memiliki buah hati, sisa gajinya ditabung dan untuk membeli kebutuhan pribadinya serta suami.

Suaminya sendiri sebelumnya juga telah di-PHK dan kini bekerja sebagai driver ojek online.

"Pendapatan suami malah tidak menentu. Sehari bisa dapat Rp50-Rp150 ribu. Tapi tidak tiap hari segitu, bahkan sehari terkadang ngga ada pemasukan," ujarnya.

DG mengatakan bertahan di Jogja dengan upah sebesar Rp2,3 juta setiap bulan belumlah cukup. Sehingga hal yang perlu ia lakukan mencari pendapatan lain dengan berjualan online. Bahkan saat ini ia juga menjual salak di depan rumahnya.

"Jika kasus ini selesai dan saya mendapat tempat kerja yang lebih memanusiakan pegawainya, saya sudah berencana berjualan untuk menambah pemasukan. Saya sedang berjualan penyegar wajah dan buah salak di dekat rumah. Jika tidak begitu, rasanya kurang untuk kebutuhan sehari-hari," bebernya.

Hal senada juga disampaikan seorang mantan tenaga pendidikan di salah satu yayasan sekolah di Jogja. Pemuda berinisial E yang saat ini bekerja di lembaga privat, juga harus mencari pemasukan lain guna mencukupi kebutuhannya.

Setelah mendapat pekerjaan dengan upah sebesar Rp2 juta di Kota Jogja, pria 29 tahun yang sudah memiliki seorang anak itu juga membuka usaha kecil-kecilan di dekat rumahnya. 

"Istri saya yang mengelola lapak makanan yang dibuka pada pagi hari. Hanya sampai siang setelah itu dibereskan. Sampai saat ini hasilnya masih cukup, tapi ya tetep mepet," terang dia.

E diketahui saat ini masih tinggal di rumah mertuanya bersama istri dan anak. Ia tak menampik, bahwa tinggal satu rumah dengan mertua cukup meringankan pengeluaran pokok. Sehingga masih ada sisa uang yang  bisa ditabung.

"Ya sementara tinggal di rumah mertua dulu. Sebenarnya saya juga ingin punya rumah sendiri, tapi kalau gaji hanya segitu, sementara saya tunda dulu (membeli rumah)," kata dia.

Kondisi ini tidak bisa bertahan lama jika nantinya ia dikaruniai satu anak lagi, sehingga ia berharap ada kenaikan upah yang lebih layak dan tinggi untuk memenuhi keluarga kecil seperti dirinya baik dari tempatnya bekerja atau kebijakan pemerintah.

UMP Jogja Masih Jauh dari Layak

Menanggapi terkait fakta yang harus dihadapi para pekerja di Jogja yang berpenghasilan rendah, Ketua SBSI Korwil DIY, Dani Eko Wiyono menilai bahwa mengacu dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di DIY, seharusnya buruh dan pekerja bisa mendapat upah di atas Rp3 juta.

"Kalau sejauh ini kan standar KHL di Jogja itu sebesar Rp3 juta. Harusnya Pemda bisa mengimplementasikan hal itu. Sehingga ada kebijakan yang mendorong perusahaan memenuhi KHL pekerjanya," kata Dani.

Meski telah ada kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2022 sebesar 4,3 persen, jumlah itu masih terbilang kecil. SBSI cukup kecewa namun mengingat hal itu sudah ditetapkan, pihaknya akan mengawasi perusahaan untuk bertindak adil dalam pengupahan kepada pegawai.

Di sisi lain, Dani juga tak membantah kondisi saat ini masih cukup sulit bagi perusahaan untuk berjalan normal. Kendati begitu bukan berarti tidak ada upaya menyejahterakan buruh yang membantu perusahaan tetap beroperasi.

"Pengusaha perlu memberikan stimulan seperti bonus ketika mencapai target keuntungan. Itu juga sebagai pengganti kenaikan upah rendah ini," kata dia.

Dani menegaskan, Pemerintah harus ikut terjun langsung mengawasi. Pasalnya banyak ditemukan perusahaan yang menggunakan alasan pandemi Covid-19 tidak menaikkan gaji pegawainya. Tak hanya itu, mereka juga merumahkan bahkan memutus hubungan kerja karyawan tanpa pesangon.

"Nah perusahaan itu kan kadang nakal juga, di saat rugi, dia memberitahu kepada pegawai. Tapi kalau untung besar, ya tidak disampaikan. Artinya keterbukaan ini juga sangat perlu dalam mengevaluasi kesehatan perusahaan," ujar dia.

Kenaikan Upah di DIY Sudah Sesuai Regulasi

Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY Aria Nugrahadi menyebut kenaikan UMP sebesar 4,3 persen atau lebih kurang Rp75.915,53 menjadi Rp1.840.915,53, sudah sesuai regulasi. Mengacu pada UMP tahun 2021 yang sebesar Rp1.765.000, kenaikan di tahun 2022 sudah mengikuti inflasi yang ada di Yogyakarta.

Aria mengatakan bahwa kenaikan upah 2022 tidak mengacu pada nilai kecukupan bagi para pekerja. Namun disesuaikan dengan regulasi yang ada.

"Kita tidak mengacu secukup apa upah tersebut ditetapkan untuk pekerja, tapi menyesuaikan dengan regulasi yang ada di pemerintah pusat dan selanjutnya kami terapkan di daerah-daerah. Kami tidak memiliki kewenangan dalam menghitung berapa besar upahnya," terang Aria dihubungi SuaraJogja.id, Senin (29/11/2021).

Beberapa faktor yang menentukan penyesuaian upah minimum adalah tingkat indeks harga konsumen atau inflasi di daerah-daerah. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, tingkat inflasi di Yogyakarta terjadi kenaikan sebesar 0,05 persen. Dimana indeks harga konsumen pada Mei 2021 tercatat sebesar 106,99 dan naik pada Juni 2021 sebesar 107,04.

Mengacu pada data tersebut, perkembangan berbagai komoditas secara rata-rata menunjukkan kenaikan. BPS mencatat komoditas yang ikut andil mempengaruhi inflasi adalah telur ayam ras, tempe emas perhiasan serta minyak goreng termasuk jasa pembuangan sampah dan angkutan udara.

Aria tidak membeberkan secara jelas penghitungan hingga ada kenaikan UMP sebesar 4,3 persen. Kendati demikian pemerintah akan ikut mengawasi perusahaan dan juga pelaku usaha untuk menggaji para pekerja sesuai rata-rata upah yang sudah ditetapkan untuk 2022 mendatang.

Kenaikan UMP Sebagai Sebuah Kompromi

Besaran upah atau gaji yang dibayar oleh pemilik usaha atau perusahaan kepada karyawan mengikuti produktivitas perusahan masing-masing. Hal itu diungkapkan Pengamat Ekonomi asal Jogja, Ahmad Maruf.

Menurutnya Upah Minimum Rata-rata (UMR) yang ditetapkan oleh Pemda DIY saat ini adalah jumlah minimal yang dibayarkan perusahaan kepada para pekerja.

"Dalam arti, itu kan upah minimal. Sehingga itu bentuk perlindungan pemerintah kepada para pekerja agar perusahaan membayar minimal upahnya sebesar itu (RpRp1.840.915,53)," ujar Maruf kepada SuaraJogja.id, Senin (29/11/2021).

Walau begitu, Ia menyebut pengupahan di Jogja sedikit merepotkan karena terdapat perbedaan. Pasalnya jumlah yang ditetapkan akan berbeda dengan sektor pertanian, perdagangan, manufaktur atau pabrik dan lain-lain.

"Semisal kalau sektor pertanian yang ada di Jogja, tidak akan bisa juga orang menggaji buruh tani, dengan upah sebesar itu (UMR). Tapi sisi lain, dalam kondisi normal, seperti jasa, perbankan kemudian jasa terkait pariwisata, upah itu terlalu rendah," kata dia.

Maruf mengungkapkan gerakan buruh saat ini lebih kepada mendorong pekerja di sektor manufaktur atau pabrik. Sementara tidak semua sektor di Jogja memiliki produktivitas yang setara.

"Sayangnya di setiap sektor tempat buruh bekerja itu produktivitasnya berbeda-beda. Kalau manufaktur konteks DIY, hampir 95 persen pelaku usahanya adalah UMKM. Jika UMKM membayar sesuai UMR, mereka tidak mampu. Mungkin bisa tapi UMKM yang sudah ekspor ke luar negeri," kata dia.

Menurut Maruf, kondisi saat ini harus menjadi perhatian baik pengusaha, pemerintah dan juga serikat buruh. Adanya kenaikan prosentase UMP 4,3 persen dinilai sebagai sebuah kompromi.

"Saya kira itu titik kompromi dari inflasi kalau di DIY. Jadi tidak menguntungkan tinggi pada buruh, tapi tidak terlalu memberatkan pelaku usaha dengan asumsi disamaratakan," kata dia.

Kreativitas Buruh Membantu Bertahan Hidup di Jogja

Menurut Peneliti senior di Institute of Public Policy dan Economic Studies (INSPECT) ini, perlu langkah lain bagi pekerja atau buruh agar tetap bertahan hidup di Jogja dengan penghasilan rendah dibanding dengan kabupaten/kota yang lain.

Sejauh pengamatannya, banyak buruh yang akhirnya memiliki pekerjaan sampingan bahkan membuka usaha untuk menambah pendapatan mereka.

"Sebenarnya untuk income (pendapatan) dari pekerjaan utamanya tidak cocok. Maka pekerja melakukan kreativitas untuk income generated, dan itu banyak terjadi saat ini," kata Maruf.

Dalam dunia kerja di Indonesia, melakukan pekerjaan tambahan adalah hal wajar yang terjadi. Maruf mengatakan hal itu bukan karena keterpaksaan yang dilakukan masyarakat atau pekerja.

"Saya menyebutnya bukan solusi, lebih tepatnya langkah kreatif yang bisa dilakukan orang-orang. Disamping bekerja dia juga berjualan, tidak jarang saat ke tempat kerja dia menawarkan makanan atau dia menjadi reseller dan ditawarkan ke teman-teman dia," ujar Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.

Di sisi lain, tidak jarang pekerja di Jogja memilih tinggal bersama orang tua mereka. Hal itu dapat menekan pengeluaran yang lebih sedikit dan bisa menghemat tabungan lebih banyak.

Maruf menilai bahwa itu cara pekerja muda saat ini untuk memanajemen pengeluarannya. Terlebih lagi, pekerja yang telah memiliki anak tetap tinggal bersama orang tua.

"Kebanyakan fenomena ini saya perhatikan di Bantul dan Sleman. Kalau pekerja di Gunungkidul itu lebih banyak pergi ke Jakarta bahkan ke luar negeri dan hidup di sana. Menurut saya bisa dikatakan ini siasat tinggal bersama keluarganya (rumah orang tua). Bisa juga disebut zona nyaman. Dimana mereka memiliki dulu status sosial sebagai pekerja dan ikut menghidupi orang tua," kata dia.

"Artinya disamping anaknya diasuh oleh orang tua, itu juga untuk (memanajemen) ekonomi. Seharusnya mereka kan membayar pengasuh anak ya, tetapi memilih menitipkan ke orang tua, itu menjadi wajar saat ini. Jadi ada timbal balik take and give" kata Maruf.

Dirinya juga menyoroti fenomena generasi sandwich yang terjadi saat ini. Dimana seorang pekerja memenuhi kebutuhan hidup orang tua yaitu generasi di atasnya dan juga kebutuhan hidup anak atau generasi di bawahnya termasuk juga dirinya sendiri.

Meski demikian, Maruf menyebut bahwa hal itu sudah lama terjadi. Namun tidak bisa disamaratakan. Ia menyebut dalam kasus yang ditemuinya, banyak orang tua yang juga memberikan hasil tabungan atau pendapatannya ke anak mereka.

"Bisa dicek juga, kadang orang tua memberi logistik, misal beras, sayur, bahkan uang kepada cucu mereka, karena orang tua memiliki tabungan. Fenomena sandwich itu memang ditemukan biasanya di wilayah pinggiran dimana orang tua sudah pensiun tidak memiliki lahan sehingga dia menikmati masa tuanya," kata dia.

Menurut dia kondisi orang tua seperti itu menjadi sebuah kewajiban anak untuk membalas budi terhadap ayah dan ibu mereka. Fenomena itu dikembalikan kepada anak bagaimana menanggapinya.

"Apakah menjadi sebuah beban atau memang kewajiban?. Kembali bagaimana persepsi si anak menganggap kondisi tersebut. Saya rasa tidak menjadi beban, malah saat ini ketika anak sudah bekerja, mereka memiliki momen untuk berbakti pada orang tuanya," terang dia.

Hal itu dianggap berbeda jika kondisi orang tua dan anak yang sudah berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun begitu, kesempatan anak untuk menjamin kehidupan orang tua atau dirinya lebih besar lagi.

Mendapat Pekerjaan Mempengaruhi Status Sosial

Maruf mengungkapkan fenomena yang diamatinya saat ini, terutama di Yogyakarta bahkan di Indonesia, menjadi pekerja merupakan status sosial yang perlu dipertahankan. Sehingga besar kecilnya pendapatan tidak menjadi persoalan.

"Mendapat pekerjaan ini merupakan status sosial bukan untuk pendapatan. Misal akan menikah, ketika seseorang sudah bekerja menjadi nilai lebih, walaupun pendapatan mereka dari pekerjaan itu tidak seberapa. Nah pendapatan terbesarnya dari usaha lain," ujar Pembina Koperasi Simpan Pinjam Bank Difabel Sleman tersebut.

Bahkan, lanjut Maruf, penghasilan dari pekerjaan sampingan buruh ini lebih besar dibanding pekerjaan utamanya.

“Saya temukan di Sleman, terutama pekerja muda. Ada yang sore selesai bekerja dan membuka angkringan bahkan cafe-cafe yang desainnya seperti angkringan. Penghasilannya cukup besar, tapi kenapa mereka tidak keluar dari pekerjaannya?, karena karyawan atau pekerja itu menjadi status sosialnya,” ungkap dia.

Selain kuliner, pekerja juga tak jarang yang memiliki hobi seperti memelihara ikan bahkan membuat akuarium. Di tengah pandemi Covid-19, hal itu banyak dimanfaatkan masyarakat saat ini.

“Misal aquascape dan aquarium dengan ornamen unik, itu juga dijual. Hasilnya juga melebihi gaji bulanannya. Fenomena ini banyak terjadi di sejumlah daerah. Nah inilah beberapa cara mereka bertahan,” ungkap dia.

Memiliki status pekerja, sejatinya sudah lama dianggap dapat mempengaruhi status sosial kata Maruf. Namun besaran gaji atau upah pekerja dari fenomena yang dia temukan tidak menjadi permasalahan. Sehingga cara-cara kreatif pekerja ini yang menjadi penopang kebutuhan buruh atau pekerja dalam kehidupan sehari-harinya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak