Bertahan Hidup dengan UMP Jogja, Lembur Bagai Kuda Hingga Pinjam Tetangga

Kenaikan UMP Jogja dinilai sebagian masyarakat urung mencukupi bahkan sesuai dengan KHL Yogyakarta.

Galih Priatmojo
Jum'at, 13 November 2020 | 14:36 WIB
Bertahan Hidup dengan UMP Jogja, Lembur Bagai Kuda Hingga Pinjam Tetangga
Ilustrasi UMP Jogja. [ Ilustrator / Ema Rohimah]

SuaraJogja.id - Pemda DIY secara resmi menaikkan Upah Minimum Provinsi atau UMP Jogja sebesar 3,5 persen menjadi Rp1.765.000 di tahun 2021. Upah Minimun (UM) tersebut naik sebesar Rp60.392 dibanding tahun 2020 yakni sebesar Rp1.704.608.

Walau mengalami kenaikan nyatanya hal tersebut tak serta merta disambut antusias masyarakat Jogja. Sebagian di antaranya menyebut bahwa angka yang sudah diketok tersebut masih jauh dari cukup untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Yogyakarta.

Sebut saja seperti yang dirasakan pekerja di salah satu pabrik sarung tangan di Bantul, Yogi (34). Ia harus mengambil lembur untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam satu bulannya. Jika hanya mengandalkan gaji pokok saja, kebutuhan lainnya tak bisa dia penuhi.

"Jika mengikuti gaji pokok atau normal yang diterima tiap bulannya itu tidak cukup. Sehingga saya harus mengambil pekerjaan lain seperti bisnis online, dan paling ambil lembur kerja," ujar Yogi dihubungi SuaraJogja.id beberapa waktu lalu.

Baca Juga:Eksperimen Sosial Hidup di Jogja dengan Rp50 Ribu, Ini yang Bisa Dibeli

Ia menambahkan dalam sebulan dirinya harus membayar kebutuhan makan sehari-hari termasuk pendidikan anaknya yang duduk di bangku TK. Di sisi lain, ia masih memiliki hutang yang harus dibayar tiap bulan kepada bank.

"Jika gaji ini untuk sebulan, mepet sekali. Apalagi dengan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, termasuk beberapa harga yang naik. Jadi hampir tidak cukup," terang ayah satu anak itu.

Bukan tanpa alasan dirinya menganggap gaji yang diterima sedikit. Dalam sebulan dirinya menerima gaji pokok sebesar Rp1,3 juta. Jumlah itu sudah dipotong dengan berbagai asuransi di pabrik yang dia tempati.

[Suara.com/Ema Rohimah]
[Suara.com/Ema Rohimah]

Meski telah dipotong dan hanya menerima gaji di bawah UMK Bantul, kehidupan Yogi harus tetap berjalan. Tak jarang dirinya harus mengambil lembur dari 8 jam kerja menjadi 9 jam kerja.

"Ya mau tidak mau ambil jam lembur. Sistem kerja di tempat saya per-shift, satu shift berdurasi 8 jam kerja. Jadi untuk memenuhi kebutuhan tiap bulan setidaknya saya harus ambil lembur," katanya.

Baca Juga:Cair Desember, 2 Wilayah Ini Dapat Prioritas Ganti Untung Proyek Tol Jogja

Tak hanya itu, meski telah membuka usaha kecil-kecilan untuk tambahan biaya hidup, warga asli Bantul ini tak jarang harus meminjam uang kepada tetangga.

"Jadi kalo sudah sangat mepet dan tak bisa mendapat tambahan uang, saya pinjam (uang) ke tetangga dan saudara. Itu keputusan paling akhir, jadi akan menjadi beban lagi," ujar Yogi.

Tidak jauh berbeda dengan Yogi, pekerja asal Sleman, Yulianti (39) mengaku harus bekerja lebih ekstra untuk memenuhi kebutuhannya dalam sebulan.

"Dibilang cukup atau tidak ya harus dicukupkan. Tetapi memang mepet, sehingga jalan lainnya ya kita bekerja lebih banyak lagi. Masalahnya ketika kita kerja di luar pekerjaan utama, tidak ada asuransi ketika terjadi hal yang tidak diinginkan," kata dia.

Ibu dua anak ini mengatakan, pengeluaran dengan jumlah yang besar tiap bulannya adalah pendidikan anak dan kebutuhan makan. Terlebih, adanya pandemi Covid-19 yang memaksa anak belajar secara daring, Yulianti harus mengalokasikan kuota internet lebih banyak.

"Pendidikan anak memang penting, tapi saya rasa makin tercekik. Dalam sebulan kuota internet cukup Rp100 ribu. Sekarang bisa sampai 2-3 kali lipatnya. Jika hanya menerima gaji pokok jelas itu tak cukup," keluhnya.

Ia berharap kenaikan UMP DIY harus sesuai dengan KHL yang ada di Kota Pelajar. Ia meminta kebijakan Pemda untuk menyesuaikan UMP menjadi dorongan pemilik perusahaan menaikkan gaji kepada pekerjanya.

"Jika bisa menyentuh angka Rp3 juta, saya rasa itu sudah cukup aman bagi kami. Tentu saya tidak perlu bingung untuk menambah pendapatan dan membayar biaya sekolah anak," kata dia.

Pekerja lainnya, Agus Setiawan tak menyangka kenaikan UMP yang diputuskan hanya berkisar Rp60 ribu saja.

"Berat rasanya, naik cuma Rp.60 ribu," kata Warga Sewon tersebut saat dihubungi, Rabu (11/11/2020).

Agus tidak mengeluh tanpa dasar, pasalnya dia adalah tulang punggung di keluarganya. Di sisi lain kenaikan minim itu akan terus dibayangi oleh kebutuhan pokok yang juga terus naik.

Diungkapkan Agus, saat ini gajinya hanya berada dikisaran Rp1.795.000 per bulan. Menurutnya itu belum standar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Alhasil sebisa mungkin ia harus menghemat pengeluaran yang ada.

"Gaji itu minimal ya Rp2,5 juta. Itu saja juga masih ngepres kalau memang buat seseorang yang menjadi tulang punggung dalam keluarganya," ungkapnya.

Pekerja lain yang juga mengeluhkan minimnya kenaikan UMP di DIY, adalah Wulan Andrian. Walaupun tidak sama dengan Agus yang menjadi tulang keluarga, namun perempuan 24 tahun ini mengaku masih memiliki beberapa tanggungan bank yang perlu untuk diselesaikan.

"Jadi ya gimana, pasti kurang kalau mengikuti kebutuhan sehari-hari. Apalagi ada tanggungan bank," ucap Wulan.

Namun berbeda dengan respon yang diutarakan oleh Anggraena Pika Pramudita. Rena panggilan akrabnya, mengatakan secara pribadi tidak begitu mempermasalahkan minimnya kenaikan UMP DIY.

Rena sendiri pada tahun 2019 memasuki 2020 juga sudah mendapat kenaikan upah sebesar Rp100 ribu di tempatnya bekerja. Hal itu membuat gajinya kini sudah menyentuh nominal Rp2 juta. Menurutnya dengan angka yang didapatnya itu, ia sudah bisa membantu mencukupi kebutuhan keluarga.

"Aku sih ngga masalah sama sekali, dengan gaji Rp2 juta sudah lebih dari cukup. Sudah bisa untuk membantu orang tua juga," ujar perempuan lajang 19 tahun itu.

Kenaikan UMP Jogja rekomendasi dari Dewan Pengupahan DIY

Sebelumnya, meski pemerintah pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menetapkan tidak ada kenaikan upah, pemerintah DIY memilih kebijakan lain yakni tetap menaikkan UMP 2021. 

Kebijakan ini dibuat Gubernur DIY melalui Surat Keputusan Gubernur DIY nomor 319/KEP/2020 tentang Penetapan UMP DIY 2021, tanggal 31 Oktober 2020.

UMP DIY untuk tahun 2021 ditetapkan sebesar Rp1.765.000, atau naik sebesar 3,54 persen dan bertambah Rp60.392 dari upah minimum yang berlaku pada tahun ini, Rp1.704.608.

"Hari ini sudah ditandatangani Gubernur," ujar Ketua Dewan Pengupahan Provinsi DIY Aria Nugrahadi, Sabtu (31/10/2020).

Menurut Aria, keputusan Gubernur DIY untuk menaikkan UMP 2021 berdasarkan beberapa pertimbangan. Di antaranya rekomendasi dari Dewan Pengupahan DIY yang disampaikan pada Jumat (30/10/2020).

Puluhan pekerja yang tergabung dalam aliansi buruh di Yogyakarta menggelar topo pepe sebagai aksi protes terkait kenaikan UMP kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Senin (2/11/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)
Puluhan pekerja yang tergabung dalam aliansi buruh di Yogyakarta menggelar topo pepe sebagai aksi protes terkait kenaikan UMP kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Senin (2/11/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

Rekomendasi Dewan Pengupahan DIY tersebut merupakan hasil Sidang Pleno Dewan Pengupahan DIY.

Sidang pleno dihadiri ketiga unsur Dewan Pengupahan, seperti pemerintah, unsur pekerja atau buruh, serta para pengusaha.

Dalam rapat tersebut dihasilkan rekomendasi peningkatan perekonomian bagi pekerja dan kelangsungan usaha pada saat pandemi COVID-19 melalui kenaikan UMP. Selain itu, juga untuk menjaga stabilitas dan menciptakan suasana hubungan industrial yang kondusif.

Dari hasil kajian tenaga ahli yang menggunakan data BPS, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun inflasi nasional, diusulkan kenaikan UMP sebesar 3,33 persen.

Berdasarkan permintaan dari unsur pekerja/buruh, kenaikan UMP sebesar 4 persen. Sedangkan unsur pengusaha tidak berkeberatan atas kajian ahli untuk menaikkan UMP 2021 sebesar 3,33 persen.

"Berdasarkan pertimbangan rekomendasi itu, Gubernur DIY menetapkan UMP tahun 2021 sebesar Rp1.765.000 dan berlaku mulai 1 Januari 2021," jelasnya.

Keputusan besaran kenaikan UMP Jogja itu pun segera mendapat reaksi dari masyarakat. Sejumlah elemen masyarakat pun kemudian menggelar demo memprotes bahwa kenaikan UMP Jogja 2021 itu tak sejurus dengan KHL. 

Sekjen DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Irsyad Ade Irawan menilai bahwa kenaikan yang jika dirupiahkan berkisar Rp1,7 juta itu belum bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja di tiap kabupaten/kota.

"Kemarin itu baru naik 3,5 persen. Padahal harapan buruh bisa naik di atas 4 persen. Jadi kami meminta agar kenaikan UMP di 2021 harus sesuai KHL, yaitu rata-rata Rp3 juta," ujar Irsyad.

UMP Rp5 Juta pun belum tentu layak

Menanggapi sejumlah protes dari elemen masyarakat terkait minimnya kenaikan UMP Jogja 2021, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X angkat bicara.

Ia mengatakan bahkan Rp5 juta pun belum layak jika kebutuhannya Rp10 juta.

"Rp5 juta pun belum layak, kalau butuhnya Rp10 juta. Tapi bagaimana akan menaikkan? Itu kan juga tergantung negosiasinya dengan Apindo [Asosiasi Pengusaha Indonesia]," ungkapnya.

Sri Sultan Hamengku Buwono X (YouTube DINAS KEBUDAYAAN KOTA YOGYAKARTA)
Sri Sultan Hamengku Buwono X (YouTube DINAS KEBUDAYAAN KOTA YOGYAKARTA)

Menurutnya, pengusaha maunya upah serendah mungkin, sementara pekerja maunya upah setinggi mungkin. Pemda DIY kata dia, posisinya hanya memfasilitasi, kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.

Ia pun mengingatkan UMP hanya diterapkan untuk pekerja baru yang memiliki masa kerja belum sampai setahun. Setelah setahun bekerja, para pekerja diharapkan sudah mendapat upah lebih besar.

Terpisah, Sekretaris Disnakertrans Bantul Istirul Widiastuti menyebut, pihaknya belum melakukan finalisasi terkait kenaikan UMP itu. Agenda terdekat sejauh ini yakni baru merencanakan rapat pleno.

Dalam rapat pleno itu nantinya akan membahas terkait Dana Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (DPKP). Nantinya juga akan dihadirkan juga untuk dudku bersama mulai dari asosiasi pengusaha, serikat pekerja, praktisi hukum, dan dinas terkait.

"Sebisa mungkin, kami lakukan musyawarah dengan mempertimbangkan berbagai kondisi dan situasi yang terjadi. Kami sifatnya adalah wasit. Harus bisa berada di tengah, untuk menjembatani kepentingan pengusaha dan pekerja. Jadi kami harus adil memberikan masukan. Jangan sampai berat sebelah," pungkasnya. 

Liputan khas ini dikerjakan bersama reporter SuaraJogja.id Hiskia Andika Weadcaksana dan Muhammad Ilham Baktora

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini