SuaraJogja.id - Lewat tengah hari, Rabu (12/1/2022) lalu suasana mendung menggelayuti sebagian wilayah Sleman. Tak berapa lama hujan deras disertai angin kencang menghembus.
Bruukkk...suara benturan keras mengagetkan warga yang tengah berteduh di sekitar simpang empat Gejayan. Sebuah baliho raksasa roboh usai dihempas angin yang datang bersamaan hujan deras.
Baliho yang melintang di sisi Barat simpang empat Gejayan membuat arus lalu lintas di kawasan tersebut sempat tersendat sebelum kemudian petugas polisi secara perlahan mengurai kemacetan.
Belakangan diketahui dari hasil penyelidikan, baliho yang ambruk tersebut urung mengantongi izin pendiriannya, alias ilegal.
Baca Juga:Buntut Baliho Ambruk di Concat, Pemkab Tambah Personel Pengawas
Lantas bagaimana sebetulnya prosedur pendirian baliho di Jogja serta bagaimana mereka bisa luput mengawasi pendirian baliho yang ilegal tersebut?
Berdasarkan catatan dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sleman setidaknya ada ratusan baliho yang berdiri di Bumi Sembada. Jumlah ini hanya khusus dicatat dari baliho yang memiliki izin saja.
"Hingga saat ini ada 394 baliho yang masih berlaku izinnya di Sleman," kata Kepala Seksi Bangunan Gedung DPMPTSP Sleman Faisal Rahadian saat ditemui, Jumat (28/1/2022).
Faisal menjelaskan pendirian baliho sendiri sudah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) nomor 50 tahun 2020 tentang penyelenggaraan reklame. Di sana tertuang berbagai macam aturan dan ketentuan yang perlu dipahami sebelum mendirikan sebuah baliho.
Di dalam Perbup itu juga dibedakan jenis dari reklame yakni dari sisi konstruksi dan yang tidak berkonstruksi. Contoh reklame berkonstruksi adalah billboard, neon board, baliho, papan nama usaha yang ada di depan toko atau pusat perbelanjaan hingga videotron.
Baca Juga:Baliho Ambruk di Simpang Empat Gejayan, Lalu Lintas Terganggu
"Kalau reklame tidak berkonstruksi itu ada spanduk, rontek, banner, reklame kain dan lain-lain," ucapnya.
Dari sisi perizinannya ada dua macam, kata Faisal yang paling pokok adalah izin konstruksi reklame itu sendiri. Kemudian disusul dengan izin materi reklame.
"Jadi setiap orang yang memasang konstruksi reklame itu secara aturan di Perbup memang harus memiliki izin konstruksi reklame. Setelah ada izin konstruksi reklame kalau dia mau masang materi atau isi iklannya ada lagi izin materi reklame," terangnya.
Disampaikan Faisal, segala perizinan tentang reklame itu sebelum September 2021 lalu masih berada di DMPTSP. Namun kemudian Pemkab Sleman telah melakukan penghapusan status Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diganti dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Perubahan status IMB menjadi PBG tersebut diberlakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Perubahan itu telah secara resmi melaksanakan proses perubahan sejak 1 September 2021 kemarin. Jadi secara teknis perizinan itu dilaksanakan di Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPUPKP) Sleman namun kemudian SK tetap dihasilkan di DMPTSP.
"Kasus terakhir (baliho ambruk di Condongcatur), dia sama sekali belum mengajukan izin. Kebetulan itu kan peristiwanya setelah September sehingga seharusnya pada saat dia harus mengurus izin ya sudah melalui SIMBG yang online," ungkapnya.
Rekomendasi Perizinan Bisa Berbulan-bulan
Faisal menegaskan bahwa secara aturan sebelum mendirikan baliho tetap diwajibkan untuk mengurus izin terlebih dahulu. Namun tidak dimungkiri pengurusan izin tersebut tetap membutuhkan waktu.
Sebenarnya secara normatif standar operasional prosedur (SOP), disebutkan Faisal, dalam pelayanan maksimal dilakukan selama 30 hari kerja. Terhitung pada saat berkas dimasukkan secara lengkap oleh pemilik atau pemohon izin.
"Cuma biasanya persyaratan itu yang kadang belum lengkap karena itu sangat tergantung dari kesiapan dari pemohon sendiri untuk melengkapi persyaratan," tuturnya.
Secara umum, diterangkan Faisal persyaratan yang sering menyebabkan perizinan itu terhambat adalah rekomendasi dari yang empunya jalan. Dalam artian, mereka pemilik usaha reklame tidak jarang mendirikan baliho itu di bahu jalan bukan di tanah persil.
"Nah itu kan harus punya rekomendasi dari yang mengampu jalan. Kalau contoh yang di Condongcatur itu kalau itu kan jalan negara, itu harus izin dari Kementerian untuk boleh memasang di situ. Rekomendasi kami boleh mengizinkan reklamenya kalau ada rekomendasi dari yang punya jalan. Kalau di jalan Kabupaten ya nanti dari Dinas PU Sleman yang mengeluarkan rekomendasi. Kalau jalan provinsi ya dari provinsi," urainya.
"Itu biasanya ngurus rekomendasi yang lama. Jadi kadang-kadang pemilik iklan tidak mau menunggu lagi masang dulu baru ngurus izin, seringnya begitu. Ya kayak rumah-rumah kita di kampung gitu kan juga bangun dulu ngurus IMB-nya belakangan," imbuhnya.
Faisal menuturkan bahwa keluarnya rekomendasi izin pendirian baliho itu bahkan bisa berbulan-bulan, terkhusus bagi perizinan saat hendak memanfaatkan jalan nasional atau negara. Terlebih rata-rata baliho itu dipasang di jalan negara dan provinsi. Sebab dianggap titik-titik strategis keramaian dan tidak luput juga di sejumlah simpul perempatan besar.
"Kalau di pusat, di kementerian itu bisa sampai berbulan-bulan. Karena kan dia harus paparan, sementara kantor perwakilan di Semarang, kemudian nanti diserahkan ke Kementerian untuk bayar pajak penggunaan dan sebagainya sampai harus berbulan-bulan," terangnya.
"Kalau hanya di Jalan Kabupaten di PU saja sebulan mungkin sudah bisa keluar rekomendasinya. Tapi kan jalan Kabupaten tidak begitu laku untuk dipasangi iklan," sambungnya.
Setelah pendirian baliho pun, pemilik harus senantiasa memperbarui masa berlakunya. Sebab sesuai aturan setiap baliho yang sudah berhasil berdiri itu juga memiliki masa berlaku masing-masing.
"Izin reklame konstruksi itu kan ada masa berlakunya, maksimal lima tahun, ada yang dua tahun ada yang lima tahun. Kalau yang gede-gede itu bisa sampai lima tahun, kecil-kecil di bawah 24 meter persegi itu dua tahun," ucapnya.
Baliho Ilegal Mayoritas Reklame Usaha
Disampaikan Faisal, sejauh ini banyaknya jumlah baliho yang tidak berizin itu mayoritas merupakan jenis reklame usaha. Padahal memang secara aturan baliho usaha pun tetap harus berizin.
Namun kadang memang diakui ada sejumlah pemilik usaha yang tidak terlalu paham terkait dengan perizinan itu. Sehingga diperlukan sosialisasi lebih mengenai pendirian baliho tersebut.
"Kalau dari sisi jumlah yang tidak berizin itu mayoritas malah yang punyanya papan reklame usaha itu. Itu kan secara aturan memang harus berizin cuma mereka kalau tidak kita sosialisasikan itu tidak tahu kalau masang reklame itu harus ada izinnya," tuturnya.
Berbeda dengan biro-biro iklan yang sudah lebih paham terkait dengan izin pendirian baliho tersebut. Walaupun dari sisi rekomendasi juga tetap akan membutuhkan waktu lebih.
"Kalau yang punya biro-biro iklan itu justru mereka tahu kalau ada izinnya. Cuma karena itu tadi terkendala rekomendasi dari jalannya lama sehingga dia masang dulu sebelum ada izinnya," tambahnya.
Tidak Ada Baliho Berizin yang Ambruk
Perizinan pendirian baliho tidak bisa dianggap sepele. Selain sebagai kewajiban melaksanakan aturan dari Perbup yang berlaku tapi juga dari sisi keamanan sendiri.
Pasalnya, saat perizinan itu dilakukan secara resmi maka jajaran dinas terkait dalam hal ini DPUPKP akan turut melakukan pengawasan konstruksi pada saat pembangunan. Berbeda jika perizinan itu diabaikan, maka segala aturan atau ketentuan konstruksi pun juga tidak akan terpantau.
Hal itu kemudian berpotensi menyebabkan terjadinya baliho yang ambruk akibat nihilnya pengawasan dari sisi konstruksi.
Dalam kesempatan ini, Faisal memastikan bahwa selama kurang lebih empat tahun ia bertugas belum ada peristiwa ambruknya reklame yang sudah berizin. Seluruh kejadian baliho ambruk itu dipastikan dari mereka yang mengabaikan izin.
"Sepengetahuan saya, saya di sini sekitar 4 tahun, itu baliho ambruk selama itu belum lebih dari lima paling hanya dua. Tapi ya memang saru kalau sampai ambruk itu, mengganggu dan membahayakan terutama," ungkapnya.
Diungkapkan bahwa saat perizinan masih di DPMPTSP, salah satu persyaratan pendirian baliho adalah perhitungan konstruksi. Perhitungan itu dihitung oleh pemohon dan kemudian mereka juga membuat pernyataan agar bertanggungjawab terhadap kekuatan struktur dan sebagainya.
Diakui Faisal, memang jawatannya tidak memiliki data pasti terkait dengan baliho ilegal alias tidak berizin yang roboh. Namun ia kembali menegaskan belum ada kasus baliho berizin yang pernah roboh di wilayahnya.
"Kalau saya bisa meyakinkan bahwa yang berizin itu belum pernah ada yang roboh. Kalau yang sudah berizin kami bisa menjamin," tegasnya.
"Tapi kalau statistik itu mungkin nggak lebih dari lima yang baliho pernah roboh itu. Kewenangan kita itu, tupoksi kami adalah memberikan izin waktu itu sebelum ini. Jadi tidak kami tidak ada ketugasan untuk pengawasan. Jadi ya ketugasan pengawasan ada di PU," sambungnya.
Ia menilai proses perizinan teknis yang kemudian sekarang dipindahkan ke DPUPKP membuat sinkronisasi lebih baik. Sebab dari sisi pengawasan dan perizinan akhirnya juga dilakukan di satu dinas. Diharapkan dengan aturan yang baru setelah semua di DPUPKP pendirian reklame bisa lebih terkontrol.
"Jadi bisa sejalan. Kalau kemarin kan jadi kayak putus, sana mengawasi sini mengizinkan, ya kita sering berkoordinasi tapi namanya beda dinas koordinasi tidak bisa semaksimal kalau masih satu dinas," ungkapnya.
Reklame Berizin akan Diberi Tanda
Faisal mengungkapkan sebelumnya masyarakat tidak bisa membedakan secara langsung sebuah baliho itu berizin atau tidak. Sehingga pengawasan sepenuhnya sejauh ini hanya dilakukan oleh dinas-dinas terkait saja.
Namun ke depan, pihaknya sudah merencanakan untuk memberikan sebuah tanda untuk baliho yang berizin. Agar pengawasan juga dapat dilaksanakan secara lebih maksimal.
"Kita yang kemarin-kemarin belum memberikan tanda. Cuma sekarang kami sudah membuat tanda stiker gitu. Nanti yang berizin itu akan kita kasih stiker bahwa baliho ini sudah berizin. Kemudian ditempelkan di tiangnya," ujarnya.
Nantinya, Faisal berujar bahwa pihaknya sendiri yang akan memasang tanda baliho berizin tersebut. Guna memastikan bahwa pemasangan tanda itu benar-benar dilakukan.
"Khusus untuk baliho kita yang akan pasang tanda itu, jadi pada saat kita menerbitkan IMB kita akan datang lokasi kita pasang penanda bahwa sudah berizin. Karena pengalaman untuk rumah tinggal kita kasih plat IMB yang seharusnya dipasang di gedungnya itu banyak yang tidak dipasang," urainya.
Ia memastikan tahun ini pengadaan stiker penanda baliho berizin itu sudah dianggarkan dan akan segera diterapkan untuk PBG reklame yang terbit di tahun 2022 ini.
"Kalau izin sudah habis dia memperpanjang terbit nanti kita kasih tanda. PU juga akan menggalakkan penertiban di ruas-ruas itu dikasih peringatan untuk mengurus izin juga," sebutnya.
Penataan Dilakukan Secara Bertahap
Faisal tidak memungkiri bahwa pemilik papan reklame sering menempatkan balihonya di lokasi atau titik yang sebenarnya sudah penuh. Bahkan tidak jarang ada yang kemudian melanggara aturan hanya untuk kepentingan agar terlihat saja.
"Kemudian kadang-kadang untuk kepentingan biar kelihatan dan sebagainya, membangunnya jadi melanggar. Lalu titik tertentu yang dianggap strategis, sudah penuh tetap dipaksakan dipasang di situ juga. Jadi terlihat jelek. Di simpang-simpang ring road itu kan juga kayak banyak banget," ungkapnya.
Melihat kondisi itu, pihaknya tidak akan tinggal diam begitu saja. Rencana penataan dan penrertiban tiap ruas juga sudah direncanakan secara bertahap.
Sebenarnya, kata Faisal, DPUPKP beberapa tahun lalu sudah menggalakkan program penertiban tiap tahun yang menyasarnya ke ruas jalan. Contohnya saja tahun 2018 silam dengan menyasar ruas Jalan Kaliurang tepatnya di ringroad ke arah selatan.
Selain itu juga memang diperlukan sosialisasi kembali bagi para pemilik reklame khususnya di toko-toko yang ada. Sebab memang belum semua paham dengan aturan tersebut berbeda dengan sejumlah biro besar yang sudah lebih mengerti.
"Penertiban di tiap ruas yang mau kita laksanakan ini dalam rangka menata. Jadi memang bertahap. Jalan Kaliurang, ring road sisi utara yang dulu banyak itu kan mulai agak berkurang itu," tuturnya.
"Memang untuk simpul strategis di Perbup nomor 50 tadi diatur minimal ukuran 50 meter persegi. Justru gede boleh, biar tidak banyak banget kecil-kecil. Jadi biar yang gede sekalian tapi hanya boleh satu atau dua," paparnya.
Penataan itu akan dilakukan secara bertahap dengan tentunya berkoordinasi dengan sejumlah dinas terkait. Namun memang, ia menegaskan hal itu menjadi komitmen dari pemerintah daerah untuk menertibkan lagi terutama yang titik-titik reklame sudah terlalu ramai.
"Itu nanti pelan-pelan penertibannya, sedikit-sedikit, penataannya peruas, pertitik seperti itu, kalau langsung tebang semua juga tidak mungkin. Jadi memang ada upaya penertiban tapi pelan-pelan dan itu butuh waktu menurut saya tidak bisa langsung," tandasnya.
SuaraJogja.id mencoba mencari keterangan lebih jauh dari para pemilik usaha reklame yang ada di Yogyakarta. Namun hingga berita ini ditulis tidak ada respon dari sejumlah pihak yang telah dihubungi.
Saat berkunjung ke kantor beberapa biro iklan khususnya yang berkecimpung di bidang periklanan outdoor atau reklame, hanya ditemui perwakilan dari karyawan saja. Ketika ditanya pemilik langsung atau dari pihak manajemen, mereka berkilah yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat.
"Kami sampaikan ke managemen dulu ya," ujar seorang petugas di salah satu biro iklan di Yogyakarta.
Tidak berbeda, biro iklan lainnya juga belum bersedia untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Termasuk dengan mitra yang biasa diajak bekerja sama khususnya dalam pemasangan reklame.
"Untuk pembuatan reklame, kami bekerja sama dengan mitra reklame. Namun maaf untuk saat ini mitra kami belum berkenan untuk diwawancarai," terangnya.
Terpisah, Kabid Pendataan Pembinaan dan Pengawasan Bangunan DPUPKP Sleman Rochwidayati Ningrum memastikan bahwa pendirian baliho tetap perlu sebuah izin. Bukan justru dibangun terlebih dulu lalu meminta izin.
"Namanya izin mendirikan itu mesti izin dulu baru dibangun. Nah kalau sudah ada izinnya baru dibangun," kata Ningrum.
Perempuan yang akrab disapa Ning tersebut menuturkan dari sisi pengawasan sendiri sudah dilakukan pihaknya secara rutin. Selain secara rutin berkeliling ke seluruh penjuru Bumi Sembada untuk melakukan pengecekan tersebut.
DPUPKP juga menerima aduan atau laporan dari masyarakat jika memang ada dugaan pelanggaran dari reklame yang berdiri. Sehingga akan lebih memudahkan jawatannya untuk bergerak melakukan pengawasan dan penindakan.
"Pengawasan kita itu 5 hari kerja, seminggu itu bisa 3-4 kali, yang satu hari itu untuk entry data. Jadi rutin itu. Belum lagi kalau ada aduan ke masyarakat akan langsung ke lokasi. Kalau yang rutin memang sudah terjadwal," terangnya.
Ketika sudah ditemukan sejumlah titik atau lokasi pelanggaran reklame itu berdiri, kata Ning, penindakan akan segera dilakukan. Langkah pertama yang dilakukan adalah memerikan sebuah surat peringatan (SP) pertama.
"Biasanya ada aduan dari masyarakat atau memang kita tahu kalau itu belum berizin. Itu kita menyurati memberikan surat peringatan," ucapnya.
Ada tiga tahapan dalam pemberian surat peringatan tersebut. Dengan setiap pemberian surat peringatan juga terdapat tenggat waktu masing-masing.
Pertama saat ditemukan oleh petugas jika memang melanggar, kemudian SP kedua akan diberikan lagi kepada yang bersangkutan jika dalam rentan waktu tujuh hari tidak ada tindaklanjut. Kemudian kalau memang hingga SP kedua tidak diindahkan maka pihaknya akan memberika SP ketiga atau terakhir.
"Kalau tidak diindahkan lagi saat diberikan SP 2, ada SP 3, tidak diindahkan lagi perintah bongkar dan yang eksekusi pembongkaran ada di Satpol-PP," ungkapnya.
Berdasarkan catatan yang dimiliki DPUPKP sepanjang tahun 2021 tidak ada bangunan gedung dan prasarana bangunan atau dalam hal ini adalah reklame yang kemudian diberikan SP ketiga hingga pembongkaran.
Ning memaparkan tidak hanya data khusus untuk prasarana bangunan atau reklame tadi tetapi juga data untuk bangunan gedung. Dari data itu menunjukkan bahwa ada 85 objek sepanjang tahun lalu yang menerima SP 1, lima objek menerima SP 2 dan untuk SP 3 tidak ada.
"Kalau untuk baliho sendiri ada sekitar 30an (yang diberi SP). Sesuai tupoksi kita memberikan surat peringatan bagi yang melanggar maupun yang belum berizin. Belum ada yang di SP 3, biasanya SP 1 terus ditindaklanjuti dengan pemilik," paparnya.
Disebutkan Ning bahwa pemberian SP tadi tidak hanya dilakukan untuk reklame-reklame yang tidak mempunyai izin saja. Melainkan diberikan juga kepada reklame yang kemudian sudah memiliki izin namun tidak mengindahkan aturan.
Dalam hal ini aturan yang dimaksud adalah terkait dengan konstruksi pembangunan reklame. Ketentuan itu sebelumnya juga sudah tertuang di Peraturan Bupati (Perbup) nomor 50 tahun 2020 tentang penyelenggaraan reklame.
"Tidak hanya soal izin tapi konstruksi juga diperhatikan. Misalnya tidak boleh menjorok ke jalan dan lain-lain tapi mungkin ya itu tidak diindahkan, banyak to yang seperti itu. Kalau yang tidak diindahkan itu ya kita SP meskipun sudah ada izinnya kalau memang melanggar kita SP juga. Dimohon untuk mematuhi aturan," tegasnya.
Ning menjelaskan saat ini perizinan memang sudah dilakukan di DPUPKP dengan menggunakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Dalam proses PBG tersebut semua proses dilaksanakan secara online.
Didukung dengan sistem yang telah diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) yakni Sistem Informasi Bangunan Gedung (SIMBG).
"Melalui SIMBG secara online. Kalau itu kan lama atau tidaknya tergantung pemohon karena pemohon mengurus sendiri. Sudah dimudahkan. Namun kebetulan saat ini belum ada yang (mengurus perizinan) khusus reklame," ungkapnya.
Keterbatasan Personel Jadi Kendala
Merujuk pada luputnya kasus baliho tak berizin di simpang empat Gejayan yang kemudian roboh, lalu bagaimana sebetulnya pengawasan DPUPKP berkaitan hal ini?
Ning mengungkapkan keterbatasan personel di lapangan jadi alasan utama pihaknya kecolongan tentang baliho yang berdiri tanpa izin tersebut. Minimnya jumlah personel tidak diimbangi dengan pertumbuhan baliho yang cepat.
"Itu kan baru (baliho yang ambruk), makanya saya bilang tumbuhnya vendor-vendor baliho itu cepet dan itu biasanya dikerjakan di luar jam kerja, misalnya sabtu minggu atau malam," ujarnya.
"Kan enggak mungkin yang namanya itu (pengawasan) sekarang ke sini nanti besok ke situ lagi. Karena muter kan satu kabupaten dan tenaga juga hanya berapa orang. Kembalinya ke situ juga tidak mungkin satu dua hari, mungkin satu minggu atau lebih baru bisa ke sana lagu. Tahu-tahu sudah berdiri," tambahnya.
Ning berujar jika memang petugas mendapati ada pekerja yang menggali lubang untuk mendirikan baliho ketika ditanya pun mereka tidak tahu menahu. Mereka, para pekerja itu hanya diminta untuk mendirikan baliho tersebut.
"Dan kasus terakhir itu juga tertutup, petugas kita mau masuk juga tidak bisa, kalau di jalan atau di apa itu kan tahu, kalau itu memang tertutup," ucapnya.
Ia menyebut tidak adanya perizinan yang jelas membuat pihaknya kesulitan untuk mencari data siapa pemilik reklame.
Masyarakat sendiri biasanya datang langsung ke kantor DPUPKP untuk melayangkan aduan terkait persoalan reklame atau bangunan yang lain. Dari aduan masyarakat itu kemudian langsung tindaklanjut ke lokasi.
"Karena di lapangan tidak semudah itu, yang jelas kesulitan data itu kalau tidak berizin. Kalau sudah berizin kan memang sudah ada datanya. Ya memang kendala di lapangan itu sekarang baliho itu munculnya kan cepat terus biasanya mengerjakannya pas hari libur," sebutnya.
Ning tidak memungkiri bahwa pemasangan reklame akan selalu memilih tempat-tempat strategis. Walaupun tak jarang titik tersebut sebenarnya sudah terlalu penuh.
Dalam hal ini, pihaknya menyebut sudah melakukan berbagai sosialisasi khususnya kepada pemilik reklame yang berada di ruas-ruas jalan. Para pemilik reklame itu diundang untuk secara jelas disosialisasikan terkait dengan segala aturan yang berlaku.
"Sosialisasi kita itu tidak hanya sekali, biar mereka tahu aturannya. Harus dibenahi juga," ujarnya.
Di samping sosialisasi yang terus dilakukan, kata Ning, penambahan jumlah personel juga sudah masuk dalam rencana. Jika selama ini hanya ada tiga orang saja yang bertugas melakukan pengawasan di seluruh titik di Sleman.
"Karena kan dengan personel tiga orang ini kan kesulitan harus sekabupaten. Itupun kadang hanya dua orang. Kita berusaha terus untuk mengoptimalkan tenaga, jadi hampir setiap hari," jelasnya.
"Personel belum ditambah, baru mengajukan perubahan. Rencana kita tambahkan empat, itu pun satu orang admin, tiga orang pendataan ke beberapa ruas jalan. Di samping tenaga kita yang rutin itu, itu nanti di perubahan. Rencana masih kita ajukan. Memang ada keterbatasan tenaga, alat dan anggaran," tambahnya.
Koordinasi dengan lintas sektor turut senantiasa dilakukan untuk pengawasan dan penindakan yang lebih maksimal. Selain meminta peran aktif masyarakat untuk bisa melaporkan temuan-temuan yang diduga melanggar aturan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Sleman, Taufiq Wahyudi mengatakan, DPUPKP Sleman memang akan menambah personel pengawasan baliho sebanyak lima orang.
Hal itu merupakan imbas dari peristiwa robohnya baliho raksasa di simpang empat Gejayan, Condongcatur, Depok beberapa waktu lalu.
Diketahui, baliho yang roboh diterpa angin kencang dan hujan tersebut telah berdiri selama dua bulan dengan status belum mengantongi izin.
"Itu saja yang sudah dua bulan berdiri, kami baru tahu kalau belum berizin," sesalnya.
Menurut Taufiq, jumlah sumber daya manusia yang minim menjadi kendala DPU PKP dalam pengawasan baliho di lapangan.
"Kami sudah mengajukan lewat Sekretaris Daerah, dalam waktu dekat pengawas personel yang di lapangan akan ditambah lima orang. Sehingga totalnya menjadi delapan orang," tuturnya.
Pihaknya juga meminta partisipasi masyarakat agar melapor, bila ada reklame melanggar aturan dan telah terpasang.
"Silakan difoto dan lapor. Lalu nanti kami cek ke lapangan," kata dia.
Pendapatan Pajak Berkurang
Baliho yang berdiri tanpa izin tidak hanya membahayakan dari sisi konstruksi dan melanggar aturan, tetapi berpotensi juga berkurangnya pendapatan dari pajak reklame. Sebab sulitnya pemerintah untuk menarik pajak dari yang bersangkutan.
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Sleman, Haris Sutarta menuturkan bahwa penarikan pajak reklame sudah diatur dalam Perda Kabupaten Sleman nomor 4 tahun 2011 tentang pajak reklame. Aturan itu memang kemudian berbeda dengan perizinan pendirian reklame.
"Kalau dari aturannya, pajak reklame itu didasarkan pada transaksi. Jadi kalau sudah berdiri dan sudah ada yang terpasang (iklan), ya kami menagih (pajaknya)," kata Haris, ditemui di kantornya.
"Kemudian kalau itu terkait dengan perizinan, itu memang beda ya. Karena dasarnya saya pemasangan, seperti halnya restoran. Kalau restoran itu baik izin atau tidak kalau dia berjualan ditarik pajak," terangnya.
Diterangkan Haris, pajak reklame di Kabupaten Sleman sendiri tergolong cukup besar. Berdasarkan catatan BKAD Sleman dari tahun 2019 lalu realisasi pajak reklame di Bumi Sembada selalu melebihi target.
Di tahun 2019 target yang ditetapkan sendiri adalah sebesar Rp9,5 miliar kemudian berhasil terealisasi hingga Rp10,4 miliar dari jumlah wajib pajak sebanyak 3474.
Lalu di tahun 2020 targetnya menurun cukup banyak akibat diterpa pandemi Covid-19 menjadi Rp6 miliar saja. Namun tetap dapat terelalisasi lebih tinggi yakni menembus angka Rp7,99 miliar dari wajib pajak yang juga bertambah jumlahnya menjadi 3588.
Kemudian di tahun 2021 kemarin target pajak kembali naik cukup banyak menjadi Rp9,29 miliar. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya realisasinya pun tetap lebih tinggi yakni Rp9,88 miliar yang didapat dari 3708 wajib pajak.
Pada tahun 2022 ini, BKAD Sleman kembali menaikkan target capaian pajak dari reklame di wilayahnya menjadi Rp10 miliar.
Realisasi pajak reklame yang selalu melebihi target tersebut tidak lepas dari peran aktif jawatannya melakukan pengecekan terhadap reklame-reklame yang ada. Sebab tidak jarang ditemui ada pemilik yang memang sengaja tidak melaporkan reklamenya untuk membayar pajak.
"Memang proses karena kadang mereka pasang ada yang kalau yang udah besar-besar mereka langsung ke sini bayar tapi ada yang pasang diam aja juga ada. Nah kami kalau itu teman-teman di lapangan tahu, lalu dicek terus kita tagih," ungkapnya.
Sebenarnya, kata Haris tidak ada kendala yang cukup menghambat proses penarikan pajak reklame. Namun memang terkadang proses di lapangan yang tadi disebutkan ada beberapa oknum yang tidak tertib.
"Kendala sebenarnya tidak ada, cuma karena proses kan di lapangan ya berkembang, itu kan kita cek kadang ketemu sudah sebulan dua bulan baru ketemu, tapi kalau yang bagus biro-biro itu pasang langsung ke sini. Tapi ada satu dua yang sifatnya entah pribadi kadang-kadang yang enggak terpantau atau agak lambat," terangnya.
Biasanya, pemilik melaporkan sendiri reklame yang telah dipasang ke BKAD Sleman untuk diurus pajaknya. Namun tak jarang ada juga pihak ketiga yang hanya bertugas memasangkan reklame itu sesuai pesanan.
Dari situ kadang ada beberapa yang tidak sekaligus mengurus pajaknya. Hanya sebatas membangun atau mendirikan reklame saja.
Kendati begitu, ditegaskan Haris, petugas di lapangan tetap akan melakukan pemantauan kepada sejumlah reklame yang sudah berdiri. Termasuk untuk mengecek lebih lanjut reklame yang telah terpasang materi iklan di dalamnya.
"Petugas tetap ke lapangan, usaha kita tetap kita tagih dulu. Biasanya mereka kita tagih mereka terus bayar. Kalau ada ngeyel habis tidak ditindaklanjuti ya kita tutup kalau dulu. Tapi sekarang jarang, kita tagih terus bayar sekarang. Tindakan tegas penutupan atau dicopot kalau memang ngeyel," paparnya.
Perizinan khususnya rekomendasi dari pemilik jalan memang kadang yang menghambat lengkapnya syarat izin tersebut. Sebab mengurus atau mendapatkan rekomendasi pun memerlukan waktu yanga tidak sebentar.
"Ini yang memperpanjang, karena prosesnya jadi panjang di sini. Namun tetap harusnya ya izin dulu. Karena setelah izin keluar umpama rekom dan lain sebagainya itu keluar kalau sekarang PBG-nya keluar proses pemasangan kan harus diawasi oleh PU," ungkapnya.
"Mulai dari spesifikasi, teknisnya konstruksi kemudian hingga ke kedalaman dia menanam sekian, ketinggian sekian berapa yang harus ditanam itu kan ada spesifikasinya. Nah waktu gali juga harus ada pemberitahuan ke PU mau gali ya dicek," tandasnya.
Ribuan Baliho di DIY Tak Berizin dan Langgar Aturan
Munculnya baliho ilegal alias tak berizin nyatanya tidak hanya terjadi di Kabupaten Sleman. Catatan memprihatinkan dihimpun Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari pendataan yang sudah dilakukan selama satu tahun terakhir tepatnya pada 2021 kemarin ada ribuan baliho yang tidak berizin.
"Kalau yang kami lakukan pendataan sampai di akhir tahun 2021 kemarin. Lebih kurang ada 1.500 baliho yang sebenarnya tidak ada izinnya," kata Kepala Satpol PP DIY Noviar Rahmad kepada SuaraJogja.id.
Ada berbagai macam indikasi pelanggaran dari temuan ribuan baliho itu. Selain tidak memiliki izin sama sekali, ada pula baliho yang ternyata izinnya telah habis serta menyalahi izin baik dari segi konstruksi dan lain sebagainya.
"Ada indikasi yang izinnya sudah habis, ada yang menyalahi izin dan ada yang tidak mempunyai izin sama sekali. Memang hasil pendataan kami baliho-baliho ini banyak sekali yang tidak punya izin terutama di Jalan Nasional," terangnya.
Noviar menuturkan bahwa pendirian baliho sendiri sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketentraman, Ketertibam Umum dan Perlindungan Masyarakat. Salah satu yang tercantum di sana berkaitan dengan tertib jalan.
Di dalam tertib jalan itu kemudian ada aturan lebih lanjut memgenai pemasangan berbagai iklan outdoor tersebut. Mulai dari baliho, spanduk, banner dan lain sebagainya yang dalam hal ini dilaksanakan di pinggir jalan.
Disampaikan Noviar, total 1.500 reklame tidak berizin tadi adalah reklame yang berkonstruksi. Tidak mencakup dengan reklame tidak berkonstruksi.
"Untuk 1.500 itu yang berkonstruksi saja. Kalau yang kecil-kecil banyak sekali," ucapnya.
Dalam pengawasan dan pendataan yang sudah sering dilakukan Satpol PP DIY ada beberapa tanda atau ciri yang kemudian mengindikasikan bahwa sebuah baliho yang berdiri itu menyalahi aturan. Salah satu yang dapat diperhatikan adalah terkait dengan letak bangunan atau konstruksi reklame itu sendiri.
Noviar mengatakan jika ada sebuah baliho yang kemudian didapati letaknya melintang ke sebuah jalan hampir sudah bisa dipastikan bahwa reklame itu menyalahi izin. Bahkan dimungkinkan juga malah belum berizin sama sekali.
"Ketika dia (reklame) letaknya melintang jalan atau menyebrang jalan itu sudah pasti izinnya menyalahi. Sudah dipastikan itu," tegasnya.
Sebab, kata Noviar sudah ada aturan baku terkait dengan konstruksi reklame yang diatur dalam Perda tadi.
"Dia (reklame) tidak boleh terpasang di trotoar, tidak boleh melintang jalan, tidak boleh dipasang vertikal harus horizontal searah dengan jalan. Ketika itu ada ditemui berarti salah izin atau tidak berizin sama sekali semuanya," ungkapnya.
Tak Bisa Langsung Ditertibkan
Dengan kondisi yang ada tersebut, Satpol PP DIY sebenarnya tidak lantas tinggal diam begitu saja. Pengawasan dengan cara operasi non-yustisi juga terus dilakukan.
"Kami dari Satpol-PP melakukan pengawasan dengan cara operasi non yustisi. Dengan melakukan pemanggilan-pemanggilan terhadap pemasangan baliho yang tanpa izin," ucapnya.
Namun pengawasan itu bukan tanpa kendala sama sekali. Terlebih dari sisi penindakan atau penertiban yang akan dilakukan Satpol PP tidak bisa langsung semena-mena dilaksanakan.
Hal tersebut terkait dengan perizinan dan tempat reklame itu berdiri. Sebab sejauh ini kewenangan dari Satpol PP DIY pun hanya terbatas di Jalan Provinsi saja.
Jika memang akan dilakukan penertiban di luar wilayah kewenangan itu maka tetap harus berkoordinasi dengan pihak-pihak pengampu jalan.
Terkait dengan perizinan sendiri dikeluarkan oleh sejumlah pihak. Jika berada di Jalan Provinsi maka provinsi sendiri yang akan memberi izin, lalu Jalan Kabupaten dikeluarkan oleh kabupaten dan Jalan Nasional izinnya dikeluarkan oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalam Nasional (BBPJN).
"Nah di Jalan Nasional ini yang banyak sekali tidak memiliki izin dan itu yang sampai hari ini kami juga kesulitan dalam hal melakukan penertiban," tuturnya.
"Karena sesuai dengan ketentuan bahwa yang di Jalan Nasional yang menertibkan itu balai besar dan itu balai besar di Semarang. Jadi tidak mungkin mau menertibkan di Jogja," sambungnya.
Noviar mengaku penertiban baliho yang ada di Jalan Nasional itu tidak bisa secepat itu dilaksanakan. Perlu proses panjang terkait dengan koordinasi dalam hal ini dengan Satker dari balai besar tadi.
"Nah itu kami harus berkoordinasi dulu kepada mereka kerena untuk melihat izinnya ada atau tidak, lalu pemasangan sesuai dengan teknis atau tidak, itukan harus memenuhi spek-speknya dulu," ujarnya.
"Ya kalau sesuai dengan kewenangan kami, sesuai dengan Perda itu kan hanya ada di Jalan-jalan provinsi," tambahnya.
Disebutkan Noviar, kesulitan yang kerap kali ditemui jawatannya adalah tidak diketahuinya pemilik dari sebuah reklame atau baliho itu sendiri. Sebab materi muatan yang ada di dalamnya belum tentu milik dari si empunya asli.
Bisa jadi reklame tersebut milik sebuah vendor yang pihaknya pun tidak tahu ada dimana. Pasalnya tidak disetiap reklame itu tertera nomor yang bisa dihubungi secara langsung.
"Kesulitan kami gini, ketika mendatangi suatu baliho kami tidak tahu siapa pemiliknya. Karena kalau kami misalnya melihat dari materi muatan yang ada di dalamnya itu belum tentu pemilik yang punya," paparnya.
Hal itu yang kemudian menyulitkan lagi dalam hal penindakan jika memang ditemui sebuah pelanggaran. Minimnya informasi dan data terkait pemilik itu sendiri yang sejauh ini tidak bisa ditemukan dengan mudah.
"Misalnya kami temukan di satu jalan, ada baliho besar. Dari konstruksi salah, nah kami mau datang ke siapa, mau memanggil siapa, karena kami tanya orang sebelah, tetangga sebelah tidak tahu menahu siapa yang punya. Kesulitan di situ," urainya.
Selain itu, pandemi Covid-19 yang melanda membuat fokus penegakan Perda oleh Satpol PP DIY bergeser. Terbukti dengan minimnya penindakan dalam hal ini pembongkaran di sepanjang tahun lalu.
"Dari tahun kemarin memang kita hanya dua (baliho yang dibongkar) karena kita fokus di Covid-19. Tahun ini belum mulai kita," jelasnya.
Melanggar Aturan Tetap Dipungut Pajak
Persoalan data yang minim tadi kemudian disiasati oleh Satpol PP DIY dengan meminta sejumlah dinas terkait di wilayah masing-masing. Baik dari PU hingga ke urusan perpajakan.
Sebab, kata Noviar, setiap reklame yang sudah mengajukan izin pasti akan tercatat di dinas tersebut. Bahkan menariknya lagi tidak jarang ditemui reklame tidak berizin atau malah melanggar aturan tetap ditarik pajak.
"Tapi kalau misalnya yang tahu persis kan (punya data) dari Dinas PU setempat atau kabupaten/kota. Karena kalau dia mengajukan izin pasti ke sana atau kalau ada pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/kota berarti kan dia bayar pajak itu. Namun izinnya kadang-kadang tetap tidak ada itu," tuturnya.
"Pajak dia bayar tapi izinnya tidak ada. Bahkan ada yang melanggar aturan tapi pajaknya tetap dipungut. Nah ini kan tidak konsisten," ujarnya.
Menurutnya akan lebih baik jika fokus utama dari persoalan reklame itu adalah penertiban terlebih dulu. Bukan justru tetap menarik pajak jika masih melanggar aturan yang ada.
Hal itu, lanjut Noviar, harus disinkronkan terlebih dulu. Sebab fokus penarikan pajak pendapatan reklame itu lantas seolah memberikan keleluasan bagi baliho-baliho yang dilihat dari realitanya sebenarnya melanggar ketentuan.
Padahal jika dibiarkan maka dari segi keselamatan juga akan sangat membahayakan. Mengingat konstruksi yang belum diperhatikan atau diawasi secara maksimal saat pembangunan.
"Kayak kemarin yang sampai roboh di Condongcatur itu, kan memang ternyata tidak berizin sehingga konstruksinya juga menyalahi. Itu karena izinnya tidak ada," tuturnya.
"Jadi seharusnya ketika dia tidak atau melanggar aturan maka dia tertibkan dulu jangan dipungut pajak dulu. Ini yang harusnya disinkronkan terlebih dahulu bahwa kalau misalnya dia mempunyai izin baru dia dipungut pajaknya, tetapi kalau dia tidak mempunyai izin ya izinnya dulu dibereskan baru pajaknya," sarannya.
Kendati demikian, Noviar memastikan tetap akan menindaklanjuti segala bentuk pelanggaran yang ditemui. Termasuk dengan terus mencari dan memanggil pemilik yang bersangkutan jika memang melanggar atau tidak berizin.
"Penindakan kita misal dia tidak berizin nanti kita suruh bongkar sendiri dalam waktu 15 hari, kemudian juga kita berikan peringatan kedua, lalu peringatan ke satu, baru kita lakukan pembongkaran," pungkasnya.