"Dalam satu boks ini berisi 20 bakpia. Jadi 50 boks itu bisa kurang bisa lebih tergantung pesanan dari luar juga. Tapi saat ini memang orderannya sangat banyak," kata Dwi.
Setiap harinya ada 5-6 orang warga binaan yang memproduksi. Namun ketika orderannya banyak bisa sampai 7 orang dan dilembur hingga malam hari.
Dwi mengaku dengan kesempatan menjadi pembuat bakpia ini menambah ilmunya ketika keluar dari Lapas Wirogunan. Harapannya pengalaman selama di lapas, Dwi bisa lebih mandiri dan dapat memberikan stigma positif di lingkungannya.
"Saya cukup bersyukur bisa belajar di sini. Memang sebelumnya ada pengalaman membuat bakpia. Harapannya dengan banyaknya ilmu di lapas ini bisa dimanfaatkan diluar," katanya.
Baca Juga:Kasus Covid-19 Meningkat, Lapas Wirogunan Masih Terapkan Kunjungan Online
Kasi Bimbingan Kerja Lapas Kelas IIA Yogyakarta Wachid Kurniawan menjelaskan ide awal bakpia itu berawal dari iseng-iseng saja. Karena melihat kemampuan Dwi Wiranto yang bisa membuat bakpia akhirnya dikembangkan.
Saat ini, orderan bakpia masih dilakukan secara offline. Pemesanan bisa dilakukan ke nomor pihak lapas.

"Orderan banyak dari rekan pegawai kami. Namun ada juga dari warga lain yang memesan dari media sosial kami. Konsumen kami juga banyak dari Jakarta dan juga Jawa Tengah," ungkap Wachid.
Hasil penjualan bakpia juga dirasakan warga binaan. Wachid mengatakan, tiap bulannya keenam warga binaan mendapat komisi untuk kebutuhannya selama menjalani masa tahanan di lapas setempat.
Di sisi lain, Kepala Lapas Kelas IIA Yogyakarta Soleh Joko Sutopo mengatakan bahwa bakpia ini tidak ada pengawet. Sehingga masa kadaluarsa hanya bertahan 7-10 hari.
Baca Juga:Kunjungi Lapas Wirogunan Jogja, Wamenkumham Soroti Assessment Center Warga Binaan
"Maka dari itu kami menjualnya secara offline dulu. Untuk rencana ditawarkan di retail-retail yang ada di Jogja tetap ada ke sana, tapi kami lakukan secara bertahap dulu," jelas Soleh.