Tanah Tutupan, Bukit Pertahanan Tentara Jepang yang Masih Meninggalkan Persoalan di DIY

Tak banyak masyarakat yang mengetahui apa itu tanah tutupan Jepang.

Eleonora PEW
Minggu, 06 Maret 2022 | 17:48 WIB
Tanah Tutupan, Bukit Pertahanan Tentara Jepang yang Masih Meninggalkan Persoalan di DIY
Perbukitan yang memanjang antara Jembatan Kretek hingga Pantai Parangtritis inilah yang disebut dengan Tanah Tutupan - (Kontributor SuaraJogja.id/Julianto)

SuaraJogja.id - Kepemilikan Tanah Tutupan Jepang bakal dikembalikan kepada mereka yang berhak. Sri Sultan HB X selaku Ketua Gugus Reforma Agraria DIY telah membuat kesepahaman akan mengembalikan kepemilikannya kepada yang berhak.

Tak banyak masyarakat yang mengetahui apa itu tanah tutupan Jepang. Bahkan masyarakat yang sekarang berada di seputaran tanah tersebut juga jarang mengetahui apa itu tanah tutupan Jepang, termasuk dengan sejarahnya.

Suparyanto (65), warga Pedukuhan Mancingan RT 01, Kalurahan Parangtritis, Kapanewon Kretek, adalah lelaki yang selama ini berjuang agar tanah Tutupan Jepang dikembalikan kepada warga yang berhak. Dengan mengatasnamakan Masyarakat Pengelola Tanah Tutupan Jepang, ia berjuang sejak tahun 2001 dan baru membuahkan hasil tahun 2021 akhir kemarin.

Pemilik hotel Graha di kawasan Mancingan ini menceritakan secara detail alasan mengapa area itu disebut tanah tutupan. Tanah tutupan Jepang sendiri sebenarnya adalah perbukitan yang memanjang antara jembatan Kretek hingga ke Pedukuhan Mancingan. Tanah tutupan Jepang hanya berupa hutan yang ditanami warga dengan berbagai pepohonan.

Baca Juga:FOTO: Labuhan Alit Keraton Jogja Saat Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X

"Jadi kalau orang sini menyebutnya alas (hutan)," tutur pensiunan pengajar kesenian di salah satu lembaga pendidikan seni terkemuka di DIY ini, Minggu (6/3/2022).

Tanah Tutupan Jepang memiliki luas 118 hektare. Tanah tutupan Jepang adalah area yang terlarang bagi masyarakat untuk beraktivitas pada zaman Jepang saat bangsa Asia Timur tersebut menjajah bangsa Indonesia. Sejarah panjang membuat masyarakat menyebutnya sebagai tanah tutupan.

Sebelum Jepang datang, tanah tutupan sebenarnya dimiliki oleh warga setempat. Warga masyarakat memiliki dasar hukum yang kuat berupa letter C. Hal tersebut masih tercantum jelas dalam buku Leger yang dimiliki oleh pemerintah Kalurahan Parangtritis.

"Itu sangat jelas siapa-siapa pemiliknya," tutur Suparyanto.

Tahun 1942, Belanda dan Sekutu kalah ketika berperang melawan Jepang pada saat perang dunia kedua. Jepang kemudian masuk ke Indonesia sebagai salah satu jajahannya. Di Indonesia, mereka juga ingin menguasai bangsa ini, sehingga berusaha membuat pertahanan yang kuat sebagai antisipasi perang

Baca Juga:Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X, Keraton Jogja Gelar Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo

Kala itu, Jepang kemudian membangun sebuah benteng pertahanan. Salah satunya adalah mendirikan benteng pertahanan di perbukitan di atas Pantai Parangtritis. Mereka mendirikan bunker (goa buatan) di atas perbukitan Pantai Parangtritis yang memanjang dari Sungai Opak hingga pinggir Pantai.

"Jadi mereka membangun bungker untuk mengintai kalau pasukan Sekutu datang dari laut," kata Suparyanto.

Jepang lantas melarang masyarakat untuk memasuki area bukit tersebut. Mereka membangun pagar dari besi mengelilingi perbukitan tersebut. Masyarakat dilarang masuk ke area tersebut meskipun hanya sekedar untuk menggembala ternak ataupun mencari pakan ternak.

Karena terlarang untuk aktivitas masyarakat, maka masyarakat menyebutnya ditutup (tertutup) untuk masyarakat, sehingga masyarakat kemudian menyebutnya sebagai tanah tutupan. Hingga sekarang masyarakat menyebutnya sebagai Tanah Tutupan Jepang.

Persoalan muncul ketika Jepang kalah usai dua kota mereka, Nagasaki dan Hirosima, dibom atom oleh Sekutu. Pasukan Jepang kemudian pergi meninggalkan Indonesia ketika pasukan Belanda masuk dengan membonceng Sekutu. Jepang akhirnya meninggalkan tanah tutupan begitu saja.

Suparyanto menyebut, taktik jitu kemudian dilakukan oleh Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, yang kala itu oleh Belanda disebut sebagai pemerintahan Swapraja, di mana ada Kadipaten Pakualaman dan Kerajaan Mataram. Kala itu, Sultan bersama Adipati Pakualaman menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak dikuasai oleh Belanda.

"Memang Sultan luar biasa kala itu," tandas dia.

Kala itu, semua kekayaan milik Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat disumbangkan ke NKRI untuk kepentingan bangsa ini. Namun ada satu yang lupa dibahas, yaitu Tanah Tutupan, yang merupakan tanah rampasan Jepang kala menduduki Indonesia tersebut.

Status Tanah Tutupan tersebut kemudian mengambang karena masih dalam penguasaan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Masyarakat tidak bisa memanfaatkannya secara maksimal meskipun mereka adalah keturunan dari pemilik yang asli.

Suparyanto menyebut, ada 256 bidang tanah di Tanah Tutupan tersebut dan telah memiliki Letter C. Sebanyak 256 orang yang menguasai tanah tutupan tersebut sudah meninggal. Dirinya adalah generasi ketiga dari salah satu pemilik tanah tutupan saat itu.

"Nah dari 256 orang pemilik awal tanah tutupan tersebut sudah beranak pinak dan kini sudah mencapai 1.400 orang lebih," kata dia.

Kontributor : Julianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak