SuaraJogja.id - Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menyoroti maraknya kejadian kejahatan jalanan yang kembali muncul. Menurutnya ada kesalahan dari sistem di masyarakat itu sendiri jika kejadian meresahkan itu tidak berkurang.
"Jika kejadian makin banyak, maka kesalahannya adalah di sistem. Berarti selain pemidanaan, juga dipikirkan sistem," kata Akbar saat dikonfirmasi awak media, Rabu (6/4/2022).
Sistem dalam hal ini adalah terkait dengan aturan-aturan yang perlu ada di tengah masyarakat. Misalnya saja terkait dengan aturan yang ditujukan kepada anak-anak di bawah umur dalam beraktivitas khususnya pada malam hari.
"Misalkan anak di bawah 18 tahun tidak boleh keluar rumah tanpa izin ortu dan alasan keluar harus masuk akal. Jika tidak, orang tua wajib bertanggungjawab juga. Misal dengan membayar denda dan sebagainya," ujarnya.
Baca Juga:Polda DIY Giatkan Razia di Jalanan, Kabid Humas: Mohon Maaf Kalau Diperiksa Malam Hari
Belum lagi, ditambahkan Akbar terkait dengan perlu adanya pemeriksaan rutin mengenai senjata tajam. Di samping juga diperlukannya pemberian sanksi tegas terhadap hal-hal yang berkaitan dengan itu.
"Perlu ada pemeriksaan rutin mengenai senjata tajam. Sebenarnya kasus di Jogja yang diproses karena senjata tajam sudah banyak, perlu pemberian sanksi tegas," tuturnya.
Terkait dengan hukum pidana sendiri, kata Akbar saat ini memang hanya mengenal pertanggungjawaban secara individu saja. Terkhusus dalam konteks ini adalah tindak kekerasan yang dilakukan.
Sehingga orang tua tidak terkena pidana jika seandainya anaknya kedapatan melakukan kejahatan jalanan. Walaupun orang tua bisa memberikan pertanggungjawaban dan memang sudah banyak juga dilakukan.
"Dalam konteks hukum pidana positif kita saat ini memang mengenal hanya pertanggungjawaban individu dalam kekerasan. Namun pertanggungjawaban orang tua sudah ada di banyak negara, misal seperti narkotika," jelasnya.
Baca Juga:Sejarah Klitih: Asal-Usul, Arti Istilah dan Aksi Kejahatan Jalanan yang Kerap Terjadi di Jogja
Ia menilai bahwa sebenarnya Pemerintah Daerah (Pemda) dapat menuangkan aturan itu ke dalam Peraturan Daerah (Perda). Sehingga dalam hal ini bisa mengatur pertanggungjawaban oleh orang tua jika memang kejahatan jalanan itu dilakukan oleh anaknya.
"Perda DIY saya rasa bisa mengatur, jika kejahatannya di malam hari dan orang tua memiliki kontrol penuh. Maka bisa bertanggungjawab. Namun sanksinya hanya Perda maksimal 6 bulan atau denda," ungkapnya.
Namun diakui Akbar memang hingga saat ini Perda tersebut masih belum ada. Sehingga harus disusun terlebih dulu oleh DPRD DIY.
"Saat ini belim ada. Harus disusun dulu oleh DPRD DIY. Kalau di UU Pemda maksimal 6 bulan untuk Perda dan denda maksimal Rp50 juta," tandasnya.
Sementara itu Kriminolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto menyebut masih kurangnya integrasi antar lembaga terkait khususnya peran keluarga itu sendiri dalam upaya menangani kejahatan jalanan. Upaya yang dilakukan kepolisian hingga pemerintah daerah akan sia-sia jika tidak didukung oleh peran keluarga itu sendiri.
"Sebetulnya kalau pemerintah daerah maupun aparat keamanan sudah enggak kurang di dalam menangani klitih ini. Tetapi tidak ada integrasi, tidak ada kerja sama antar lembaga yang lain terutama lembaga keluarga," kata Suprapto.
Misalnya saja, kata Suprapto, keluarga dalam hal ini disebut tidak pernah mempertanyakan ketika anak-anaknya tidak berada di rumah lewat jam 10 malam. Padahal semua kejadian kejahatan jalanan itu selalu terjadi di malam hari.
"Kalau saja para orang tua itu mengontrol anaknya itu berada dimana, dengan siapa, ngapain. Saya yakin bahwa itu bisa diminimalkan. Tetapi kenapa misalnya orang tua tidak pernah mempertanyakan, tidak pernah mencari di saat anaknya itu tidak di rumah pada saat jam-jam tersebut," tuturnya.