SuaraJogja.id - Bapas Kelas I Yogyakarta mendorong aparat penegak hukum (APH) bersama-sama mengkaji ulang penerapan diversi bagi pelaku kejahatan jalanan di bawah umur.
Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Madya Bapas Kelas I Yogyakarta Sri Akhadiyanti, pihaknya menangani kasus untuk Kabupaten Sleman, Kota Jogja dan Kabupaten Kulon Progo.
Pada 2020 ada 17 kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, di Kabupaten Sleman. Jumlah itu naik pada 2021 menjadi 42 kasus. Kemudian terus meningkat pada 2022 mencapai 40 kasus, terhitung hingga awal April.
"Yang terdata itu beragam bentuknya, namun didominasi oleh kejahatan jalanan. Salah satunya pelanggaran penggunaan senjata tajam," ungkapnya, Kamis (7/4/2022).
Menurut Yanti, peningkatan jumlah kasus itu disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya saja karena pandemi Covid-19.
Anak-anak hanya belajar di rumah dan kurang berkegiatan. Sehingga ketika sudah berkumpul dengan sebaya, mereka merasa memiliki keberanian.
"Kalau sendiri sebenarnya tidak berani. Ini umumnya dilakukan geng," kata dia.
Yanti menerangkan, geng di Kabupaten Sleman punya beberapa bentuk dan gaya perilaku. Geng sekolah dan geng luar sekolah. Selain itu ada di antara mereka yang memiliki tradisi, bila ada anggota mau masuk maka ada perpeloncoan. Tugas dalam pelonco tidak jarang harus melukai orang lain.
"Kami minta jajaran kepolisian untuk melakukan razia di tempat-tempat yang biasa digunakan anak-anak geng untuk nongkrong. Sebab, anak-anak ini biasanya menyembunyikan sajam di tempat tongkrongan itu," ungkapnya.
Baca Juga:Kembali Marak Kejahatan Jalanan, Dispar DIY Sebut Berpotensi Rugikan Sektor Pariwisata
"Terkadang ada di leadernya. Mereka punya pos-pos," ucapnya.