Kunjungi Sleman, Kepala BNPB Apresiasi Teknik Pengungsian Hewan Ternak di Kawasan Merapi

Ia menuturkan, ada alasan khusus yang membuat pemerintah pusat menjadikan Kabupaten Sleman sebagai tuan rumah peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2022.

Galih Priatmojo
Senin, 25 April 2022 | 13:03 WIB
Kunjungi Sleman, Kepala BNPB Apresiasi Teknik Pengungsian Hewan Ternak di Kawasan Merapi
Kepala BNPB Mayjen TNI Suharyanto [mengenakan rompi] hadir ke Pendopo Parasamya, Sekretariat Daerah Sleman, Senin (25/4/2022).(kontributor/uli febriarni)

SuaraJogja.id - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Mayjen TNI Suharyanto hadir ke Pendopo Parasamya, Sekretariat Daerah Sleman, Senin (25/4/2022). Dalam kunjungannya  itu, ia menyampaikan perihal peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2022 yang jatuh pada 26 April 2022.

Suharyanto juga mengapresiasi teknik pengungsian di kawasan Gunung Merapi, yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Sleman. 

Ia menuturkan, ada alasan khusus yang membuat pemerintah pusat menjadikan Kabupaten Sleman sebagai tuan rumah peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2022. 

"Kita harus paham, setuju dan yakin bahwa masyarakat di sekitar Merapi paling tidak sudah memahami langkah dan konsep bila terjadi bencana," ujarnya, Senin.

Baca Juga:Gunung Merapi Alami 96 Gempa Guguran, Ini Daftar Kawasan Mungkin Bisa Berdampak

Dengan pengalaman hidup bertahun-tahun di kaki Gunung Merapi, terbentuk kesadaran dan kearifan lokal langkah yang harus dilakukan bila Merapi sedang erupsi. 

Bahkan, di Merapi ada kelompok Pasak Merapi. Sehingga, saat terjadi erupsi masyarakat sudah dibagi sedemikian rupa. Mulai dari siapa saja yang memiliki kendaraan dan siapa saja yang akan menaiki kendaraan itu saat terjadi bencana.

"Tanda peringatan dini dari yang sifatnya modern dan diadakan masyarakat sendiri juga ada," tuturnya. 

Yang menarik menurut Suharyanto, Pemkab Sleman memiliki teknik pengungsian hewan ternak. Hal ini didasari kenyataan lapangan, bahwa ada orang yang enggan mengungsi bila hewan ternak milik mereka tidak ikut diungsikan. 

Dengan demikian, sebelum warga mengungsi, maka hewan peliharaan mereka akan diungsikan terlebih dahulu. 

Baca Juga:Santap Berbuka Puasa dengan Mi Ayam Brutal dan Bakso Merapi Pakde Wonogiri di Kulon Progo

"Di Merapi ada pengungsian bagi manusia dan hewan. Ini menarik," ucapnya.

Indonesia sangat banyak bencana bahkan bisa disebut sebagai supermarket bencana, imbuhnya. Segala jenis bencana ada di Indonesia. 

"Semoga [kesiapsiagaan] di Merapi bisa jadi contoh bagi daerah lain. Terutama masyarakat di daerah-daerah lain yang tinggal sekitar gunung berapi. Karena ada sekitar 127 gunung berapi di Indonesia," ucapnya.

Sementara terkait dengan Hari Kesiapsiagaan Bencana, Suharyanto menerangkan, kesiapsiagaan penting untuk dimiliki dari lingkup terkecil, yakni keluarga. 

Sifat Hari Kesiapsiagaan Bencana bukan sekadar perayaan dan seremonial, tegas Suharyanto. Pasalnya, sebagai bangsa kita semua perlu meningkatkan kesadaran dan kemampuan dalam hal kesiapsiagaan di daerah rawan bencana. 

"Masyarakat bukan hanya objek tetapi juga subjek. Karena penanggulangan dan pengurangan risiko bencana bisa dilakukan dengan keterlibatan semua pihak. Mulai dari keluarga, RT, RW dan lainnya," terangnya. 

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Prof.Dwikorita Karnawati menuturkan, salah satu upaya mengurangi risiko bencana dalam konteks korban jiwa adalah peringatan dini, terdiri dari aspek hulu dan hilir. 

Aspek hilir terdiri dari penerapan teknologi dan penyebaran informasinya. Sedangkan aspek hulu meliputi peringatan dini, pengetahuan cuaca, iklim, gelombang tinggi, tsunami, yang berada dalam ketugasan BMKG dan BPPTKG terkait erupsi gunung berapi. 

Sebaik apapun poin yang ada di aspek hulu bekerja, tidak ada arti dan lumpuh serta tidak berguna tanpa diikuti aspek hilir yang baik pula.

"Yakni aspek yang berkaitan dengan masyarakat, terutama kesiapan atau pemahaman masyarakat terhadap peringatan dini," tuturnya. 

Ada tantangan berlevel, sebutnya. Dimulai dari bagaimana memastikan peringatan dini diterima masyarakat di lokasi yang mengalami bencana.

Contohnya, ketika BMKG memberikan informasi bencana kemudian otomatis masuk ke 'mesin' Pemda, BNPB, TNI, Polri. Selanjutnya, yang akan meneruskan pesan tadi ke masyarakat adalah Pemda yang menerima pesan tadi. 

"Sehingga bila ada peringatan tapi sistem tidak berjalan baik, --karena penyebab tertentu--, dan masyarakat tidak siaga, maka korban berjatuhan," kata dia. 

Berikutnya menurut Korita, Indonesia memerlukan sistem khusus bencana yang terkoneksi dengan satelit, untuk menjaga agar info dari BMKG, Badan Geologi dan pihak lain terkait bisa tersebar sampai pelosok.

Tantangan lainnya, meskipun informasi sampai diterima masyarakat, masyarakat belum tentu paham dengan informasi tersebut. 

Dengan demikian, maka diperlukan edukasi, literasi bagaimana masyarakat bisa menggali informasi dengan mudah. 

"Selanjutnya, setelah menerima dan paham, belum menjamin mau 'action' melangkah melakukan hal yang direkomendasikan," terangnya. 

"Inilah perlunya kesiapsiagaan bencana terutama dalam hal reaction. Aksi lanjut setelah menerima informasi. Siap bertindak segera, misalnya menyelamatkan diri," ungkap eks rektor Universitas Gadjah Mada. 

Korita memandang, apa yang ia sebutkan tadi adalah tantangan-tantangan yang selanjutnya menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh pihak. 

"Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah bekerja sama dengan BMKG untuk mewujudkan info bencana diterima, dipahami, lalu dilanjutkan aksi," kata dia. 

Senada dengan Kepala BNPB, Korita setuju bahwa keluarga adalah pilar terpenting dan terdepan dalam hal kesiapsiagaan bencana. 

"Kalau keluarga sudah mampu, insya Allah masyarakat tangguh," tandasnya.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini