SuaraJogja.id - Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) meminta presiden Republik Indonesia, untuk mengingatkan menteri serta pejabat lain di tingkat pusat. Supaya patuh kepada peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu disampaikan, menyusul adanya pernyataan Kepala Pusat Penerangan dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada 17 Mei 2022.
Dalam pernyataan itu, Kapuspen Kemendagri mengatakan, penjabat kepala daerah dapat diangkat dari unsur Tentara Republik Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
Peneliti PSHK UII Muhamad Saleh mengungkap, selain permintaan terhadap presiden agar mengingatkan menteri-menterinya tadi, PSHK UII juga merekomendasikan agar Kemendagri mengevaluasi dan mengganti Penjabat Kepala Daerah.
Baca Juga:Ini Tiga Usulan Prioritas untuk Jadi Aturan Turunan UU TPKS dari Dosen UGM
"Mengevaluasi dan mengganti penjabat kepala daerah yang telah diangkat dari prajurit TNI dan anggota POLRI, tetapi belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinasi aktif," tuturnya, Sabtu (21/5/2022).
Akan lebih baik, bila Kemendagripun terlebih dahulu memetakan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah, yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah. Termasuk juga memerhatikan kepentingan daerah.
Kemudian dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala, oleh pejabat yang berwenang sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.
"Dikarenakan pemilihan kepala daerah sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah, maka Kemendagri juga harus memperhatikan aspirasi daerah," tambahnya.
Menurut PSHK UII, berkaca pada poin di atas, maka dalam penunjukan penjabat, Kemendagri perlu mengutamakan calon penjabat yang berasal dari daerah yang bersangkutan dan paham akan persoalan daerah yang akan dipimpin.
Baca Juga:Sri Wiyanti Eddyono: Kekerasan Seksual Berbasis Online Meningkat Selama Pandemi
Di kesempatan yang sama, lanjut Saleh, PSHK UII juga punya catatan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPR sebagai lembaga pengawas eksekutif harus mengawasi pengisian penjabat kepala daerah agar berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel.
Saleh memaparkan, ada beberapa aturan mendasari pembahasan yang dibeberkan oleh PSHK UII tadi.
Misalnya, berdasarkan Pasal 201 Ayat (10) dan Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan, bahwa yang berhak menjadi penjabat kepala daerah dalam menuju transisi menuju Pilkada serentak nasional 2024, adalah pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota.
Untuk memahami apakah ketentuan pengisian penjabat kepala daerah dapat diisi dari unsur TNI dan POLRI, maka perlu merujuk Pasal 109 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Aturan lainnya yakni Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Aturan lain yang harus disimak berikutnya adalah Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
"Tiga undang-undang tersebut menegaskan, prajurit TNI dan anggota POLRI hanya dapat menduduki jabatan sipil (yakni Penjabat Kepala Daerah) setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif," ungkap Saleh.
Norma di atas ditegaskan kembali dalam pertimbangan hukum angka 3.13.3 Putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 15/PUU-XX/2022, yang menyatakan bahwa prajurit TNI dan anggota POLRI dilarang menjadi Penjabat Kepala Daerah, apabila belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinas aktif.
"Dengan ditegaskannya norma di atas dalam pertimbangan hukum Putusan MK, maka ketentuan ini mengikat disebabkan masuk dalam kategori ratio decidendi. Yang tidak dapat dipisahkan dari amar putusan bahkan menjadi mandat konstitusional," ucapnya.
Dengan demikian seluruh lembaga negara termasuk eksekutif, Kementerian Dalam Negeri ada di dalamnya, wajib melaksanakannya.
Politik hukum pembatasan hak dipilih prajurit TNI dan anggota POLRI di atas adalah konstitusional, secara historis, telah sesuai dengan amanat reformasi 1998, imbuh dia.
Salah satunya termaktub dalam Konsiderans Bagian Menimbang huruf d Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ada juga di dalam Pasal 5 Ayat (5) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Pembatasan ini bertujuan agar TNI dan POLRI tidak masuk dalam ranah politik praktis, agar tidak merusak demokratisasi dan reformasi birokrasi," tegasnya.
Kontributor : Uli Febriarni