SuaraJogja.id - Dalam beberapa waktu belakangan nama Babarsari awet memuncaki trending di media sosial Twitter. Musababnya tak lain lantaran kerusuhan yang pecah di kawasan tersebut pada Senin (4/7/2022) lalu.
Lokasi yang kerap jadi mandala pertempuran antarkelompok itu sampai-sampai dijuluki publik dengan nama Gotham City - sebuah kota imajiner tempat superhero Batman tinggal yang nyaris tiap hari selalu diwarnai aksi kejahatan hingga bentrok antarkelompok.
Nah, sebelum identik dengan Gotham City yang akrab dengan tindak kekerasan dan kejahatan, Babarsari berdasarkan riwayatnya dahulu merupakan alas atau hutan. Hal itu setidaknya diungkap oleh salah seorang sesepuh di kawasan tersebut bernama Suwandi.
Pria yang bertugas sebagai penjaga bumi perkemahan Tunas Wiguna tersebut mengungkapkan beberapa tempat di Babarsari dulunya adalah kawasan tegalan yang kering dan ladang tebu. Sementara di area dekat STIE YKPN merupakan lapangan tembak.
Baca Juga:Polisi Tetapkan Dua Tersangka Dalam Kasus Penganiayaan di Jambusari, Semua DPO
Babarsari dulu menjadi wilayah pengungsian bagi warga Wonosari, Gunungkidul yang lari dari pagebluk pes.
Sekitar tahun 1965, Wonosari dilanda wabah tikus dan warga setempat banyak lari ke kawasan Babarsari. Pasalnya, wabah membuat warga tak bisa bercocok tanam.
"Di sini [Babarsari] masih berupa seperti hutan. Orang dari Wonosari ke sini hanya untuk berdomisili dan membangun tempat tinggal seadanya, seperti gubuk kandang burung," ucapnya kepada SuaraJogja.id.
"Lama-lama makin banyak," ujarnya, ditemui di bumi perkemahan.
Maka, sah-sah saja bila ingin menyebut banyak warga asli yang merupakan keturunan orang Wonosari. Walaupun leluhur mereka mungkin sudah wafat.
Baca Juga:Soroti Bentrok di Babarsari, DPRD DIY Desak Pelaku Segera Diproses Hukum
Lahir dari ibu kelahiran Pugeran, Maguwoharjo dan ayah Glendongan, Suwadi pindah ke Babarsari saat ia masih kecil, sekitar 1962.
Sebagian warga setempat kala itu, menyebut nama kampungnya dengan Jangkaran. Sedangkan yang lainnya sudah menyebut dengan nama Babarsari.
Nama Babarsari Pemberian Sultan
Babarsari merupakan nama pemberian Sultan Hamengku Buwono IX, sebut Suwadi.
"Kurang paham saya kenapa Ngarso Dalem memberi nama Babarsari," kata dia.
Nama itu pula yang kemudian disematkan sebagai tambahan nama bumi perkemahan Tunas Wiguna, sehingga dikenal sebagai Bumi Perkemahan Babarsari.
Ia hanya ingat ada dua pohon beringin ditanam Sultan HB IX di salah satu sisi bumi perkemahan. Tetapi satu beringin sudah mati, tinggal satu lagi.
Setelah dibangun sejak 1970-an hingga akhirnya selesai, Bumi Perkemahan diresmikan oleh Soeharto. Saat itu, 1981, Soeharto menjabat sebagai presiden RI.
Sejarah akan berbeda ketika disampaikan oleh penutur yang berbeda pula. Demikian dengan sejarah penamaan Babarsari versi Dukuh Tambakbayan, Widodo.
Menurut penuturannya, nama Babarsari diberikan oleh Soeharto, presiden RI pada 1972, sebagai nama bumi perkemahan di ujung batas wilayah padukuhan yang dulu bernama Jangkaran tersebut.
Widodo mengatakan sejak saat itu nama Babarsari dikenal luas oleh khalayak.
Masuknya Universitas Pembangunan Negeri Veteran di Jalan Babarsari menjadi tonggak awal perubahan kehidupan masyarakat Tambakbayan dan Babarsari.
Diikuti dengan munculnya Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan kampus-kampus lain.
Selanjutnya ruko muncul dan tumbuh, ekonomi warga yang tadinya berladang, kemudian beralih ditopang oleh geliat usaha pendukung aktivitas anak kos-kosan. Ada yang membangun kos, warung makan, penatu dan bentuk usaha lainnya.
Usaha hiburan macam karaoke dan kedai kopi perlahan muncul, ada Shangrilla dan Hyperbox yang mengawalinya.
"Tahun 2000-an, sekitaran itu," lanjutnya.
Kenapa Babarsari?
Acapkali nama Babarsari muncul sebagai lokasi ricuh antarkelompok, pertikaian besar hingga arena adu tetes darah.
Entah tempat kejadian berada di kawasan Jalan Seturan Raya, di jalan tepian selokan padukuhan Kledokan, bahkan di beberapa area lain di simpang-simpang segitiga emas Seturan-Kledokan-Tambakbayan-Babarsari, banyak pihak menangkap peristiwa itu berlangsung di Babarsari.
Menyikapi kompleksnya situasi di kawasan yang kini masyhur disebut Gotham City itu, berikut pernyataan pemangku wilayah dan warga setempat yang dihimpun tim SuaraJogja.id.
Sebut saja namanya Barto. Pemuda yang tinggal di padukuhan Tambakbayan ini hijrah ke Sleman dari Papua.
Sejak SMA, Barto tinggal bersama nenek di Tambakbayan, sedangkan kedua orang tuanya masih menetap di Merauke untuk mencari rezeki.
Kabar ribut-ribut antarkelompok yang terjadi di kawasan sekitar tempat tinggalnya nyaris akrab di mata dan telinganya.
Barto terang-terangan mengaku jarang bergaul dengan warga sekitar tempat tinggalnya. Ia lebih banyak berinteraksi dengan warga di Kota Jogja atau setidaknya di luar kampung.
"Karena saya sekolah di Kota Jogja, kalau saya sekolah di dekat sini mungkin teman saya juga dekat-dekat sini," kata dia, dijumpai di teras rumahnya, Rabu (6/7/2022).
"Teman-teman saya kadang tanya ke saya, 'Eh itu di Babarsari ada kasus ini ya? Ada ricuh katanya?' tapi saya malah enggak tahu," tambahnya.
Bahkan, julukan Babarsari sebagai The Gotham City juga mampir di linimasa media sosialnya.
Barto mengibaratkan, soal kriminalitas underground Babarsari, orang luar seakan lebih banyak tahu ketimbang dirinya. Walau ketika ia sampai rumah, tak ada sesuatu genting yang terjadi di wilayah padukuhan Tambakbayan-Babarsari, domisilinya saat ini.
Namun, ketika ia menyadari bahwa yang disebut-sebut berulah dalam kericuhan adalah kelompok tertentu, Barto seperti merasa cukup tahu saja atas informasi-informasi itu. Apalagi lokasi peristiwa bukan di padukuhannya, melainkan di padukuhan lain, sebelah utara.
"Konflik bukan dari warga sini. Tapi dari mahasiswa luar. Jadi mahasiswa luar berbuat sesuatu dengan mahasiswa luar juga, bukan dari sini," kata pemuda yang lahir 22 tahun lalu ini.
Barto tahu betul di dekat rumahnya ada banyak pula mahasiswa dari luar daerah, mereka tinggal berdampingan dan berbaur. Mahasiswa-mahasiswa itu ikut berinteraksi, ronda, nongkrong, mengobrol pula dengan masyarakat setempat
"Pernah memang suatu kali ada ribut-ribut karena salah satu mahasiswa berulah. Setelah dilihat, ternyata mereka ribut itu karena teman-temannya sedang menasihati dan memberi tahu si pelaku agar tak mengulangi perbuatannya," tuturnya.
Ia tak menampik bahwa warga Tambakbayan juga terkadang diliputi ketakutan saat konflik pecah. Apalagi seperti beberapa hari lalu, sampai merusak pohon, membakar bangunan serta motor. Sebuah kengerian yang nyata, suasana tak lagi setenang dulu.
"Siapa tahu larinya malah ke sini kan," keluhnya.
Konflik antarkelompok juga sempat membuat warga di tempat tinggalnya takut keluar malam. Tepatnya kejadian cekcok antar pihak-pihak berselisih paham, karena sama-sama enggan mengalah saat berkendara di jalan.
Kasus itu berakhir dengan penusukan di Jalan Seturan, Minggu (8/5/2022) dini hari. Akibat bentrokan itu, dua orang meninggal dunia akibat kena tusukan senjata tajam.
Ia berharap ada ketegasan dari pihak-pihak terkait atas situasi mencekam yang kerap terulang ini.
Jangan ada lagi masalah sepele yang sebetulnya masih bisa diselesaikan baik-baik, malah jadi masalah yang memicu pertikaian besar.
"Kalau ada oknum yang hanya bikin onar, dipulangkan saja ke daerah asalnya. Tapi yang benar-benar ingin sekolah di Jogja, ya tidak apa-apa di Jogja," pintanya.
Kalau warga padukuhan Tambakbayan yang lain, seperti Andi Wibowo justru bingung.
Ia bingung kenapa Babarsari kerap disebut sebagai lokasi peristiwa berdarah konflik antar kelompok. Padahal tempat kejadian perkara bukan di Babarsari.
"Bingung juga kenapa Babarsari yang disebut. Apa karena Babarsari itu mudah dikenal? [Yang dimaksud] wilayahnya lain, tapi dinamakan Babarsari. Tempat lain apa-apa Babarsari, ya sempat bingung saja," ujarnya.
"Diliput di manapun media cetak, elektronik, itu Babarsari sebutnya. Padahal daerahnya bukan Babarsari. Aparat sebutnya Babarsari juga," tambahnya.
Tapi kebingungan itu hanya berujung pada 'Ya sudahlah'. Karena ia tahu, tak semua orang paham, bahwa Babarsari adalah sebuah kampung kecil bagian dari Tambakbayan.
Dukuh Tambakbayan-Babarsari Widodo mengatakan, padukuhan Tambakbayan terdiri dari tiga kampung. Yakni Tambakbayan, Glendongan, dan Babarsari.
Wilayah Babarsari meliputi Universitas Proklamasi, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta hingga bumi perkemahan Tunas Wiguna.
Sementara itu, dari Universitas Proklamasi ke selatan hingga Jalan Solo-Jogja, masuk wilayah padukuhan Tambakbayan.
"Kejadian apapun [disebutnya] di Babarsari, padahal belum tentu. Bisa jadi Kledokan, Seturan, tapi jadinya [disebut] Babarsari," terangnya.
Ia tak membantah, benar bahwa ada masa-masa kawasan Universitas Proklamasi yang masuk area Babarsari kerap meletus pertikaian antarkelompok.
"Itu sebenarnya salah paham. Misalnya ada orang lewat, dilihat. Bagi kita melihat orang lewat kan biasa, tapi buat mereka mungkin jadi salah paham," ujar lelaki 60 tahun ini.
Ia prihatin dengan banyaknya kericuhan di kawasan Seturan-Kledokan-Tambakbayan-Babarsari-Tambakbayan-Babarsari. Karena mau tak mau, kabar tak sedap itu akan meluas ke mana-mana.
"Jadi kan Jogja ini kan tidak hanya di Tambakbayan, tapi dampaknya ke orang luar yang mau ke Jogja, mereka berpikir Jogja tidak aman," sebutnya.
Widodo juga menyayangkan adanya disinformasi mengenai lokasi maupun pelaku kericuhan yang menyeret nama orang-orang yang tinggal di Babarsari ikut terlibat di dalamnya. Padahal pihak-pihak yang bertikai itu bukan berasal dari kawasan Tambakbayan maupun Babarsari.
"Iya, kadang kami menerima informasi itu seperti itu, padahal belum tentu," ucapnya.
"Sering terjadi ada kejadian saya ditelpon 'Piye Babarsari? (Bagaimana Babarsari?). La piye (ya bagaimana) Babarsari?, orang di sini tenang-tenang saja," ungkapnya.
Bukan hanya itu, bahkan mahasiswa maupun orang-orang yang terlanjur dituduh terlibat dalam kerusuhan, berada di kediaman mereka masing-masing.
"Enggak, yang di sini itu diam saja," imbuhnya.
Dukuh Seturan: Di Sini Ada yang Serius Sekolah, Ada Juga yang Berulah
Hampir mirip nasibnya dengan Babarsari, tak jarang Seturan ikut apes dikenal sebagai lokasi konflik antarkelompok.
Dukuh Seturan Mada Ferian mengatakan, padahal tokoh-tokoh maupun orang-orang yang terlibat adu sikut itu bukanlah warga maupun anak indekos Seturan. Bukan hanya dari luar Seturan, melainkan juga dari luar Kabupaten Sleman.
"Pasti kena imbas, walau yang ribut belum tentu orang Seturan," kata dia.
Delapan tahun menjadi dukuh, Mada hampir tak ingat lagi kapan kali terakhir Seturan bebas sebagai arena tarung antar kelompok. Seolah sudah jauh sekali dalam ingatan.
Tapi Mada mengakui, yang mereka jaga dan antisipasi bukan hanya soal selektif menerima anak kos, supaya 'anak-anak Seturan' tidak menjadi pelaku atau terlibat dalam baku hantam.
Melainkan juga dinamika atas adanya pihak-pihak di luar kendali mereka, orang yang berbisnis di Seturan, yang punya izin usaha dari pemerintah pusat, namun hanya sekadar menanamkan saham di Seturan. Tidak berinteraksi maupun punya kebersamaan dengan warga sekitar.
"Kuncinya jangan saling mengganggu, saling memahami. Di sini ada yang serius sekolah, ada yang berulah. Hanya segelintir yang berulah," kata dia.
Kontributor : Uli Febriarni