Sejak SMA, Barto tinggal bersama nenek di Tambakbayan, sedangkan kedua orang tuanya masih menetap di Merauke untuk mencari rezeki.
Kabar ribut-ribut antarkelompok yang terjadi di kawasan sekitar tempat tinggalnya nyaris akrab di mata dan telinganya.
Barto terang-terangan mengaku jarang bergaul dengan warga sekitar tempat tinggalnya. Ia lebih banyak berinteraksi dengan warga di Kota Jogja atau setidaknya di luar kampung.
"Karena saya sekolah di Kota Jogja, kalau saya sekolah di dekat sini mungkin teman saya juga dekat-dekat sini," kata dia, dijumpai di teras rumahnya, Rabu (6/7/2022).
Baca Juga:Polisi Tetapkan Dua Tersangka Dalam Kasus Penganiayaan di Jambusari, Semua DPO
"Teman-teman saya kadang tanya ke saya, 'Eh itu di Babarsari ada kasus ini ya? Ada ricuh katanya?' tapi saya malah enggak tahu," tambahnya.
Bahkan, julukan Babarsari sebagai The Gotham City juga mampir di linimasa media sosialnya.
Barto mengibaratkan, soal kriminalitas underground Babarsari, orang luar seakan lebih banyak tahu ketimbang dirinya. Walau ketika ia sampai rumah, tak ada sesuatu genting yang terjadi di wilayah padukuhan Tambakbayan-Babarsari, domisilinya saat ini.
Namun, ketika ia menyadari bahwa yang disebut-sebut berulah dalam kericuhan adalah kelompok tertentu, Barto seperti merasa cukup tahu saja atas informasi-informasi itu. Apalagi lokasi peristiwa bukan di padukuhannya, melainkan di padukuhan lain, sebelah utara.
"Konflik bukan dari warga sini. Tapi dari mahasiswa luar. Jadi mahasiswa luar berbuat sesuatu dengan mahasiswa luar juga, bukan dari sini," kata pemuda yang lahir 22 tahun lalu ini.
Baca Juga:Soroti Bentrok di Babarsari, DPRD DIY Desak Pelaku Segera Diproses Hukum
Barto tahu betul di dekat rumahnya ada banyak pula mahasiswa dari luar daerah, mereka tinggal berdampingan dan berbaur. Mahasiswa-mahasiswa itu ikut berinteraksi, ronda, nongkrong, mengobrol pula dengan masyarakat setempat