Tanggapi Kasus Kekerasan Seksual di SMA Selamat Pagi Indonesia, Begini Kata KPAI

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengaku pihaknya tetap mengawal kasus tersebut.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 14 Juli 2022 | 10:06 WIB
Tanggapi Kasus Kekerasan Seksual di SMA Selamat Pagi Indonesia, Begini Kata KPAI
Ilustrasi pelecehan seksual (Unsplash.com/ Danielle Dolson)

SuaraJogja.id - Kasus pelecehan seksual yang menimpa pelajar di SMA Selamat Pagi Indonesia (SMA SPI), Kota Batu, Malang kini membuka babak baru. Adapun sosok JE yang kini statusnya menjadi sosok terdakwa diduga adalah sosok pendiri sekolah tersebut yakni Julianto Eka Putra.

Identitas Julianto sebagai sosok JE kembali mencuat saat dua perempuan yang mengaku sebagai korban pelecehan SMA SPI tersebut buka suara melalui podcast yang dibawakan oleh Deddy Corbuzier pada Rabu (6/7/2022). Meski statusnya telah ditetapkan sebagai terdakwa, tapi pada Februari 2022 lalu JE masih belum ditahan. 

Terkait dengan proses kasus yang cukup lama ditangani, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengaku pihaknya tetap mengawal kasus tersebut. Tidak hanya kasus di Malang saja tetapi juga kasus kekerasan seksual di wilayah lain.

"Ya terkait dengan kasus ini KPAI terus mengawal dengan kasus di Malang itu, termasuk yang lain. Mudah-mudahan sesuai dengan harapan kita dan sesuai semangat perlindungan," kata Susanto kepada awak media di Mapolda DIY, Rabu (13/7/2022).

Baca Juga:Marak Kasus Kejahatan Seksual di Lingkungan Pendidikan, KPAI Berikan 3 Poin Evaluasi

"Apalagi presiden kan punya semangat besar terkait dengan upaya penegakan hukum di aspek perlindungan anak," sambungnya.

Disampaikan Susanto, saat ini kasus tersebut masih terus berproses. Pihaknya juga akan tetap menghormati segala proses hukum yang berlaku. 

Pada prinsipnya, kata Susanto, sudah ada aturan terkait dengan hukuman bagi pelaku. Aturan tersebut tertuang dalam Undang-undang 17 tahun 2016.

Jadi apabila kemudian fakta-fakta hukum yang ditemukan tersebut menguatkan bahwa terduka pelaku adalah pelaku. Maka proses hukum harus terus berjalan dan dituntaskan.

"Apalagi kalau kemudian yang bersangkutan punya hubungan sebagai pendidik atau pengelola pendidikan itu kan tentu di undang-undang kita sudah jelas. Undang-undang 17 tahun 2016 itu, kalau kemudian pelakunya pendidik ya ditambah 1/3 pidananya. Jadi pemberatan ya," terangnya. 

Baca Juga:Kemenag Batal Cabut Izin Ponpes Shiddiqiyah, KPAI: Bukan Rumahnya yang Dibubarkan tapi Oknumnya Diproses

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini