SuaraJogja.id - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY menyampaikan sejumlah temuan baru dalam kasus dugaan pemaksaan jilbab di SMAN 1 Banguntapan. Dalam kasus itu, sekolah diketahui salah mempersepsikan aturan dari Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), khususnya Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang seragam sekolah.
Selain itu sekolah negeri tersebut juga salah mempersepsikan akreditasi sekolah. Sekolah mempersepsikan perilaku religius yang ditetapkan dalam akreditasi sekolah berupa simbol cara berpakaian keagamaan.
"Pemakaian seragam sekolah muslimah diterjemahkan sekolah sebagai seragam khas sekolah, ini kebalik dari aturan kemendikbud," ungkap Kepala ORI Perwakilan DIY, Budi Masturi di Kantor ORI Perwakilan DIY, Jumat (11/08/2022) sore.
Menurut Budi, kesalahan persepsi tersebut dilakukan SMAN 1 Banguntapan karena sekolah tersebut beranggapan memiliki kewenangan dalam pengaturan seragam sekolah. Meski dalam tata tertib sekolah tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi dalam dalam pasal 1 tata tertib sekolah disebutkan, siswi muslim sangat diharapkan mengenakan pakaian muslimah.
Baca Juga:Tak Ingin Persoalan Jilbab Berlarut, Pemda DIY Pertemukan Orang Tua Siswi dan Pihak Sekolah
Tata terbit tersebut juga bisa diartikan seluruh siswi muslim sangat diharapkan berjilbab. Kewajiban tersebut diperkuat dengan penjualan seragam sekolah di SMAN tersebut yang paketnya dilengkapi jilbab berlogo sekolah.
"Kita menemukan surat pembelian jilbab berlogo sekolah yang harus dilakukan siswa kelas X," ujarnya.
Dalam panduan seragam sekolah yang diedarkan saat masuk sekolah, lanjut Budi, SMAN 1 Banguntapan tidak memberikan pilihan pada peserta didik muslimah untuk menggunakan seragam reguler. Padahal sebagai sekolah negeri, mereka harus menggunakan Permendikbud 45 Tahun 2014 sebagai panduan tata tertib sekolah yang membebaskan atau memberikan pilihan penggunaan seragam tanpa menunjukkan identitas keagamaan.
"Dengan adanya pelanggaran tersebut, maka sesuai Permendikbud maka sekolah dimungkinkan diberikan sanksi," paparnya.
Budi menambahkan, pemaksaan pemakaian jilbab tersebut bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap anak. Kekerasan tidak hanya mengakibatkan penderitaan secara fisik namun juga psikis.
Baca Juga:Soal Pemaksaan Penggunaan Jilbab di Bantul, LBH Muhammadiyah: Berjilbab Merupakan Hak Asasi
Kekerasan psikis yang patut diduga dilakukan selama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMAN 1 Banguntapan menjadi rangkaian tidak terpisahkan dari kejadian pemakaian jilbab dan insiden pengurungan diri siswa tidak bisa dilepaskan sama sekali dari tanggungjawab Kepala SMAN 1 Banguntapan Bantul.
"Sebab menurut pasal 38 Perda Tahun 2016, kepala sekolah bertanggungjawab atas perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengenalan lingkungan sekolah," ungkapnya.
Dengan semua temuan tersebut, ORI DIY memberikan saran saran tindakan korektif juga kepada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (disdikpora) DIY. Kadisdikpora diminta untuk membangun komunikasi dengan Kemendikbud untuk mengkaji ulang instrumen akreditasi tahun 2022 dan Permendikbud Nomor 45 tahun 2014.
Kadisdikpora pun diminta menginisiasi peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang tata terbit dan seragam sekolah dengan memperhatikan nilai-nilai kebhinekaan dan Hak Asasi Manusia (HAM).
"[Kami juga merekomendasikan] pemberian sanksi dan pembinaan kepada terlapor [kepsek dan tiga guru] sesuai peran dan perbuatan masing-masing dengan memperhatikan tingkat dan keluasan dampak yang ditimbulkan," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi