Sedangkan untuk sumur sendiri hanya ada satu di wilayahnya. Sumur itu dibangun sekitar tahun 1984 silam dan masih terus digunakan hingga sekarang.
Namun, kata Ari, air sumur itu diketahui sudah tercemar oleh bakteri E-Coli. Hal itu diketahui beberapa tahun lalu saat dilakukan penelitian terkait kualitas air di sumur itu.
"Justru sumur yang ini agak jauh dari sini (sungai) ternyata sumur itu malah indikasinya bakteri E-Colinya tinggi. Sudah pernah diteliti, sudah lama sekali. Tapi sekarang masih kita pakai. Sumur hanya ada satu. Sisanya PDAM dan mata air," paparnya.
Ia menyebut sejauh ini pengalaman terkait pencemaran air sungai ke air yang digunakan masyarakat sangat minim. Praktis hanya air sumur tadi saja yang sudah pernah diteliti. Namun sisanya, secara fisik tak terlihat pencemaran itu.
Pencemaran paling parah dialami warga bantaran Sungai Code saat kejadian erupsi dahsyat Gunung Merapi tahun 2010 silam. Saat itu material erupsi sempat membanjiri Sungai Code hingga masuk ke beberapa sumber mata air sehingga tercemar.
Namun untuk banjir biasa, kata Ari, selama ini tak berpengaruh pada mata air yang ada di bantaran sungai tersebut. Mengingat saat ini masyarakat telah menyiasatinya dengan menaikan bangunan mata air itu.
Tak ada keluhan kesehatan
Disinggung tentang masalah kesehatan, Ari menegaskan selama ia menginjakkan kaki di kampung bantaran Sungai Code belum ada keluhan masyarakat terkait dengan kesehatan setelah mengonsumsi air di wilayahnya.
Ia menilai hal itu disebabkan oleh tubuh mereka yang adaptif atau sudah terbiasa. Sehingga warga pun tak begitu merasakan perubahan signifikan dalam kualitas air yang mereka gunakan sehari-hari.
"Mungkin karena sifat adaptif kami ya. Jadi kita sudah lebih terbiasa tidak terlalu menghiraukan atau tidak memperhatikan kalau kita keluhan karena air," tegasnya.