SuaraJogja.id - Seorang pemuda 18 tahun bernama Daffa Adzin meninggal akibat kasus penganiayaan di sekitar Jalan Gedongkuning, Kotagede, Kota Yogyakarta pada Minggu (3/4/2022) dini hari lalu. Lima orang pun ditetapkan sebagai tersangka: RNS (19), FAS (18), MMA (21), HAA, dan AMH.
Dua bulan lebih usai kejadian, kelimanya menjadi terdakwa dan dihadirkan secar daring dalam sidang perdana perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, yang digelar pada Selasa (28/6/2022) lalu.
Dalam dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), dipaparkan bahwa terdakwa RNS, FAS, MMA, HAA, dan AMH telah secara terang-terangan dan dengan tenaga menggunakan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang hingga mengakibatkan meninggal dunia.
Pada kesempatan itu, HAA dan AMH dipersidangan dengan status sebagai saksi. Namun, tetap dilakukan penuntutan dalam perkara terpisah.
Baca Juga:Diduga Lakukan Obstruction of Justice, Penyidik Kasus Klitih Gedongkuning Dilaporkan ke Propam
Berdasarkan sederet fakta persidangan, JPU dalam kasus ini memberikan dakwaan alternatif kepada para terdakwa. Di antaranya Pasal 170 Ayat (2) ke-3 KUHP, atau kedua, Pasal 353 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau ketiga, Pasal 351 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Berbulan-bulan selama proses hukum berjalan, rupanya ditemukan sejumlah kejanggalan dalam kasus klitih Gedongkuning tersebut. Berikut tujuh di antaranya yang dihimpun SuaraJogja.id, Minggu (6/11/2022):
1. Dugaan maladministrasi
Tim Advokasi terdakwa kasus penganiayaan di Gedongkuning mendapati sejumlah kejanggalan dalam dakwaan yang dibacakan JPU saat sidang perdana di PN Yogyakarta. Salah satunya terkait dugaan maladministrasi.
Dugaan tersebut disampaikan penasihat hukum terdakwa AMH, Siti Roswati. Bukan itu saja, Yogi Zul Fadli, anggota tim advokasi terdakwa AMH dan HAA, pun menemukan indikasi yang sama.
Baca Juga:Pengacara Ungkap Terdakwa Klitih Jogja Ditodong Pistol ke Mulut saat Diperiksa Polisi
"Kami mengadukan bahwa ada indikasi pertama yang dilakukan oleh kepolisian, kedua ada indikasi tidak dipenuhinya syarat-syarat formil ketika penangkapan, ketiga ada indikasi tidak dibukanya akses pendampingan hukum atau bantuan hukum kepada tersangka ketika itu," papar Yogi.
2. Perang sarung tak sampai Gedongkuning
Terkait perang sarung atau tawuran yang terjadi sebelum penganiayaan, Yogi mengakui ada keterlibatan para terdakwa.
Namun, ketika berbicara soal perkara di Gedongkuning, ada yang berbeda. Ia mengungkapkan, terdakwa 1, yakni RNS, memang berada di daerah Druwo, Bantul untuk perang sarung itu, tetapi kelompoknya tidak pernah sampai ke Gedongkuning setelah tawuran tersebut.
"Perang sarung iya, tapi mereka tidak pernah sampai di Gedongkuning," ucapnya.
3. Dugaan salah tangkap
Siti juga menduga, ada kejadian salah tangkap pada kasus klitih Gedongkuning. Pihaknya pun telah melaporkannya kepada Ombudsman RI (ORI) Perwakilan DIY dan meminta polisi untuk menangkap pelaku yang sebenarnya karena menurutnya, pelaku masih berkeliaran.
Lagi-lagi senada, Yogi juga mengungkapkan bahwa kelima terdakwa dalam kasus ini adalah korban salah tangkap. Sebab, kata Yogi, AMH dan HAA, kliennya, saat itu tidak sedang berada di lokasi kejadian.
Bukan hanya Siti dan Yogi, Arisko Daniwidho Aldebarant, penasihat hukum RNS, menyebut bahwa polisi telah salah tangkap pelaku dalam perkara ini. Ia mengklaim bahwa RNS bukan pelaku penganiayaan di Gedongkuning karena kliennya itu tak berada di lokasi saat peristiwa terjadi.
"Memang pada saat itu ada peristiwa bersamaan, satu di Gedongkuning dan satu di perempatan Druwo. Rombongan RNS memang ada di tawuran janjian dengan lawan di Druwo. Habis itu (tawuran) selesai pulang. Jadi tidak ngerti peristiwa apa yang di Gedongkuning. RNS tidak pernah di Gedongkuning," klaim Arisko.
Bahkan, Komnas HAM, yang memantau perkara salah tangkap perkara klitih itu, telah menyurati Propam pada 2 Agustus 2022.
4. Respons polisi soal salah tangkap
Menanggapi dugaan salah tangkap dalam kasus klitih Gedongkuning, Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Yuliyanto menjelaskan, semestinya klaim itu disampaikan saat awal penangkapan.
"Itu salah satu materinya ada salah tangkap. Tapi kalau sekarang sudah bergulir dipersidangan, tentu mekanisme pra peradilan untuk penyidik Polri sudah tidak berjalan lagi," kata Yuliyanto.
Yuli menuturkan, semua berkas yang sudah dilimpahkan ke jaksa berarti sudah memenuhi syarat untuk dilakukan persidangan atau P21. Dalam hal ini, proses kepolisian bisa dikatakan sudah selesai.
Jika sudah memasuki peradilan, maka hakim yang akan memutuskan perkara tersebut; jika memang diperlukan keterangan dari polisi pun, kata Yuli, bisa saja dilakukan pemanggilan.
5. Terdakwa mengaku dianiaya polisi
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Kamis (20/10/2022), dengan terdakwa FAS, ketika dirinya menyampaikan pledoi, ia menyatakan telah mendapat penganiayaan dari oknum aparat dan dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan.
"Saya telah didakwa melakukan penganiayaan, akan tetapi kenyataannya, sayalah yang teraniaya," ungkapnya.
Ia menjelaskan, dirinya dianiaya aparat secara fisik dengan dipukul, ditendang, hingga dicambuk menggunakan selang air.
"Bahkan, saya dilempar asbak, kursi dan benda keras lainnya oleh banyak aparat penyidik polsek Sewon," tuturnya.
6. Penyidik Polsek Kotagede dilaporkan
Atas dugaan kekerasan dalam proses penyidikan kasus klitih Gedongkuning, penyidik Polsek Kotagede pun dilaporkan ke Propam Polda DIY oleh salah satu kuasa hukum terdakwa kasus ini, Taufiqurrahman, Jumat (4/11/2022).
Taufiq menuturkan, laporan yang dilayangkan kepada penyidik Polsek Kotagede itu sesuai dengan pledoi dan duplik yang disampaikan dalam persidangan di PN Yogyakarta.
7. Obstruction of justice
Setidaknya ada tujuh penyidik di Polsek Kotagede yang dilaporkan ke Polda DIY. Laporan dilayangkan menyusul dugaan Obstruction of Justice dalam kasus klitih Gedongkuning.
"Hari ini kami secara resmi melaporkan penyidik Polsek Kotagede yang dalam dugaan kami telah melakukan obstruction of justice yaitu upaya untuk menghalang-halangi proses penyidikan yang itu terungkap dari fakta persidangan yang mereka lakukan dengan cara melakukan pengerusakan terhadap alat bukti elektronik berupa rekaman CCTV," kata Taufiq kepada awak media usai membuat laporan di Mapolda DIY, Jumat (4/11/2022).
Dalam sidang pemeriksaan 6 Oktober 2022 lalu, Kepala Pusat Studi Forensik Digital UII Yudi Prayudi, yang dihadirkan sebagai saksi ahli digital forensik kasus ini, mengakui kesulitan mengidentifikasi sosok dalam 9 file video CCTV kasus ini lantaran kualitas gambar yang dihadirkan tidak cukup baik atau sudah tereduksi.
"Dari proses ini kita hanya bisa menganalisis dari segi jumlah saja. Tetapi mengenai sosok, mengenai detail ya, orang ini siapa, wajahnya siapa, mengarah kepada siapa itu tidak bisa kita analisis apalagi di dalam keseluruhan objek video ini tidak ada segmen yang memang mengarah langsung ke wajah," terang Yudi.