SuaraJogja.id - Gubernur DIY, Sri Sultan HB X membuka Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) XVIII di Kampung Ketandan, Senin (30/01/2023) malam. Pembukaan dihadiri ribuan pengunjung yang memenuhi kawasan rumah warga Tionghoa yang disulap jadi wisata street food tersebut.
PBTY bertajuk "Bangkit Jogjaku untuk Indonesia" in akan berlangsung lima hari kedepan hingga Minggu (05/2/2023). Acara tahunan tersebut digelar untuk menjaga guyub rukun keberagaman dalam perayaan Tahun Baru Imlek 2574.
"Suasana guyub-rukun ini perlu kita hidup-hidupkan, khususnya menjelang pesta demokrasi serentak tahun 2024. Atas situasi itu, kita harus berhati-hati dalam perkataan dan tindakan, agar tidak disalahartikan, yang bisa berakibat renggangnya kohesi sosial," papar Sultan.
Menurut Sultan, PBTY menjadi rintisan kultural dalam kehidupan berbangsa. Di tahun Kelinci Air dalam kosmologi China, unsur air tahun ini membawa aura kelembutan dan sikap adaptif. Kelembutan dan adaptasi inilah yang berpeluang menciptakan kedamaian guna memperkokoh persatuan dan kesatuan di tengah berbagai kebhinnekaan Indonesia.
Baca Juga:Tak Buka Ruang Dialog, Sri Sultan HB X Akan Buldozer Bangunan di Jalan Perwakilan
Mirip dengan budaya Tionghoa, dalam budaya Jawa, elemen air memiliki sifat luwes namun menyimpan kekuatan. Dalam keadaan normal, air mempunyai sifat tenang, tidak pernah menghancurkan atau menyingkirkan benda-benda yang menghalangi arusnya.
"Andai ada batu atau pohon, air senantiasa melaluinya dengan amat luwes, air itu melewati halangan tanpa adanya korban," tandasnya.
Sultan berharap, sebagai bangsa, penanda makro kosmos itu bisa dikonversi menjadi kaidah penuntun hidup mikro kosmos dalam kehidupan bermasyarakat-bangsa. Tindak lanjutnya, tidak hanya berhenti memaknainya sekadar pada ajaran kebaikan semata, tetapi hendaknya bisa dialirkan menjadi ujaran dan perbuatan kebaikan yang menyejukkan bagi sesama anak bangsa.
PBTY juga dapat menjadi peristirahatan sejenak. Hal ini penting untuk merenung kembali bagaimana membangun semangat keindonesiaan yang kini kerap terlanda oleh hawa panas, baik dari dalam maupun luar negeri, yang bisa berpotensi menjadi disintegrasi sosial.
Pekan Budaya kali ini juga menjadi momentum aktualisasi. Jika budaya memang menjadi ciri suatu bangsa, yang diperoleh lewat proses belajar dan interaksi, maka proses itu tentunya adalah proses integratif dalam hidup yang penuh toleransi.
Baca Juga:Dinilai Penuhi Syarat, Sri Sultan HB X Lantik Menantunya Jadi Kepala Biro Tapem
"Oleh sebab itu, setiap pekan budaya yang digelar setiap tahun ini, hendaknya selalu diusahakan sebagai media yang mengarah ke integrasi sosial-budaya. Seperti halnya wayang Potehi yang mengadopsi wayang kulit menjadi wacinwa, wayang cina-jawa," ungkapnya.
Sementara Ketua Umum Panitia PBTY XVIII, Sugiarto Hanjin mengungkapkan PBTY ini sebagai wujud pelestarian.
"PBTY juga sebagai upaya membangkitkan ekonomi," jelasnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi