SuaraJogja.id - Kasus penganiayaan yang melibatkan anak dari pejabat Ditjen Pajak RI membuat institusi yang berada di bawah Kementerian Keuangan tersebut sedang mendapat sorotan publik.
Diketahui, pelaku penganiayaan yang menyeret Dirjen Pajak RI ke dalam pusaran masalah itu, bernama Mario Dandy Satriyo (20). Gegara kasus itu, latar keluarganya ikut dikorek publik hingga ketahuan bahwa sang ayah tersangka, Rafael Alun Trisambodo, ternyata tak melaporkan sumber kekayaannya secara menyeluruh ke dalam LHKPN KPK.
Bukan hanya itu, dari informasi beredar, ia telah menunggak pajak mobil serta memiliki tunjangan kinerja (tukin) yang tinggi. Daftar tukin pegawai dan pejabat Dirjen Pajak, viral di media sosial.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Hempri Suyatna, memberikan sorotannya terkait hal itu.
Hempri mengkritisi, harus ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah, jika tukin tinggi bagi para pejabat itu tak berdampak memunculkan kinerja yang baik.
"Apakah tukin tinggi berkorelasi terhadap peningkatan kinerja? terutama dalam konteks pemberantasan korupsi. Kalau [konteks] pajak, mungkin soal bagaimana optimalisasi pajak dan lain sebagainya," kata dia, kala dihubungi lewat sambungan telepon, Kamis (23/2/2023).
Hempri membenarkan bahwa tukin di masing-masing kementerian, memang memiliki besaran yang berbeda-beda. Namun tukin tinggi diharapkan bisa meningkatkan kinerja pegawai. Selain itu, mereka tidak mudah kena suap dan penyelewengan lain.
Ia menjelaskan, tukin tinggi seharusnya bisa mendorong reformasi birokrasi yang baik. Kinerja yang baik, menurut dia, bermuara pada dampak positif yang bisa didapatkan oleh masyarakat.
"Contohnya, petugas pajak bertindak tegas pada pengemplang pajak," kata Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM itu.
Hempri kemudian mengulas kasus yang terjadi baru-baru ini, yakni tukin tinggi bagi pegawai pajak ternyata 'salah sasaran'.
"Perlu evaluasi rutin terkait dengan tukin ya," tegasnya.
Bukan hanya itu, upaya perbaikan mentalitas dan moral birokrat pegawai pajak juga perlu dilakukan. Tingginya tukin, harus diiringi diperbaiki mentalitas birokrat yang baik.
"Bagaimana mereka harus memiliki mentalitas yang baik, untuk tidak mudah kena suap. Bagaimana mereka bisa menjaga pola pemerintahan 'clean government'. Untuk kukuh, kuat terhadap godaan dan tegas terhadap berbagai hal yang mungkin penyelewengan," jelasnya.
Ia merasa khawatir dan menduga, bisa jadi selama ini aspek mentalitas dan moralitas tidak disentuh; hanya menyentuh aspek ekonomi.
"Aspek sosialnya, pengembangan karakter birokrat, jangan-jangan terabaikan, Soal mental ini hal yang sulit. Terkadang sudah mendapat gaji tinggi, pegawai tetap korup," kritiknya.
"Kadang kala, tidak ada korelasi upah yang tinggi itu tidak akan korup. Dalam banyak kasus, para pelaku korupsi justru yang punya kemampuan ekonomi tinggi. Harus ada revolusi mental, revolusi karakter," tegasnya.
Kasus ini juga berpotensi tinggi mengikis kepercayaan publik kepada kantor pajak. Padahal, saat ini merupakan bulan-bulan pelaporan SPT.
"Orang menjadi dis-trust terkait dengan pajak. Misalnya, kadang kala pajak tinggi, tapi ternyata uangnya tidak benar-benar optimal kembali kepada rakyat. Bisa muncul distrust itu," lanjutnya.
Kontributor : Uli Febriarni