SuaraJogja.id - Isi surat dari lembaga sepakbola internasional FIFA, yang secara resmi menjadi bukti pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, dinilai menggunakan bahasa yang 'main aman'.
Hal itu dikemukakan oleh Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Narayana Mahendra, kala dihubungi Suarajogja, pada Kamis (30/3/2023).
"Kalau saya lebih cenderung [ini] upaya FIFA main aman dalam pernyataan resmi," kata dia.
Ia tidak menampik bahwa isi surat FIFA tersebut berisikan kalimat yang multitafsir, terutama tertulis pada alinea 1 tentang sanksi kepada Indonesia, yang disebut sebagai situasi terkini (secara harafiah tertulis 'due to the current circumtances').
"Namun, jika melihat kalimat tentang tragedi Oktober 2022, ini merujuk pada upaya FIFA untuk membantu transformasi sepakbola Indonesia," lanjut dosen yang punya klaster riset pada Jurnalisme dan Komunikasi Olahraga ini.
Bila dijelaskan mengulang dari awal, maka menurut Nara, surat FIFA ini memang menjelaskan beberapa hal.
Pertama, yakni tentang pembatalan yang terletak pada paragraf pertama namun pada akhirnya menimbulkan perdebatan.
"Itu [makna atau konteks 'due to the current circumtances' atau 'berdasarkan keadaan saat ini'] tidak FIFA jelaskan," tuturnya.
Kedua, pernyataan FIFA soal tragedi Kanjuruhan, yang ditulis dengan kalimat 'tragedy that occurred in October 2022' (tragedi yang terjadi pada Oktober 2022).
Baca Juga:Hasto: Cita-cita Pokok Bangsa Indonesia Hasilkan Kesebelasan Sepak Bola yang Andal Bukan Jadi EO
"Itu adalah pernyataan FIFA yang meski mencoret status tuan rumah bagi Indonesia, namun FIFA tetap berkomitmen membantu transformasi sepakbola Indonesia," ulang Nara.
Ketiga, surat ini juga disertai tentang janji FIFA yang tidak meninggalkan Indonesia sendirian, namun tetap dibarengi dengan kerjasama yang baik dan dukungan pemerintah.
"Jadi, kalau dari segi pertimbangan FIFA sendiri mereka hanya menuliskan 'melihat perkembangan terkini', saya tidak bisa berspekulasi tentang penyebabnya," ucapnya.
Soal alasan kenapa FIFA menyusun isi surat dengan bahasa komunikasi yang demikian, Nara meyakini FIFA tentu sudah memiliki pertimbangan. Tak jauh berbeda saat FIFA mendepak Rusia dalam Piala Dunia 2022 di Qatar.
Di dalam keterangan resmi mereka, FIFA menyatakan bersimpati pada Ukraina tapi tidak menyinggung kata-kata seperti konflik bersenjata, perang maupun invasi.
FIFA, menurutnya, tampaknya memang sering memilih jalan aman untuk tidak secara jelas menyatakan penyebab dari satu keputusan, terutama untuk keputusan yang bersinggungan dengan soal politik tertentu.
"Artinya dari satu kasus pembanding ini, FIFA memang
cenderung menyampaikan dengan kalimat yang bernada hati-hati. Nah terkadang kalimat-kalimat yang berhati-hati ini justru bisa menimbulkan multitafsir," lanjut dia.
Selanjutnya ia ditanya mengenai apakah idealnya FIFA memiliki bahasa yang lebih tegas dalam isi surat, mengenai penyebab pembatalan ini. Yakni disebabkan karena sikap Indonesia atas situasi politik Israel dan Palestina, atau karena tragedi Kanjuruhan. Berikut jawaban Nara:
"Penegasan itu perlu, karena FIFA sebagai lembaga yang resmi, memberikan keputusan, perlu memberikan pernyataan yang tidak multitafsir. Idealnya seperti itu," ungkapnya.
Sementara kala ditanya soal potensi sanksi yang diterima Indonesia, menurut Nara langkah itu bisa saja ditempuh oleh FIFA.
"Tapi bisa saja tidak, masih 50-50. Jika terkena sanksi, tentu saja nanti akan berimbas pada keikutsertaan tim nasional Indonesia di ajang-ajang di bawah kalender FIFA," kata dia.
"Tapi kalau untuk multievent yang terdekat seperti SEA Games 2023 di Kamboja, itu tidak berpengaruh. Timnas Indonesia, sekalipun kena sanksi, tetap bisa ikut serta, karena SEA Games tidak di bawah kalender resmi FIFA," sebutnya.
Saat ada sanksi FIFA, kompetisi lokal Liga Indonesia tentu masih bisa berjalan, lanjutnya.
Dari konteks reputasi sepakbola Indonesia di hadapan dunia, menurut Nara tentu pembatalan ini akan memberikan pengaruh. Terutama dalam hal kepercayaan untuk menyelenggarakan event olahraga internasional.
"Tidak hanya tentang di sepakbola, tapi mungkin juga ketika Indonesia akan mengadakan kejuaraan dunia olahraga cabang lain," imbuhnya.
"Apalagi ada cabang olahraga lain yang juga Indonesia menjadi host-nya seperti tahun ini ada kejuaraan dunia Bola Basket, ada World Superbike, MotoGP, Indonesia Open bulutangkis, dan lain-lain," ujar Nara.
Dengan demikian, perbaikan dari segi pengelolaan, memang federasi olahraga di Indonesia senantiasa perlu melakukan perbaikan. Misalkan soal fasilitas stadion, prosedur pengamanan pertandingan, dan lain-lain.
Namun untuk mengantisipasi kasus penolakan serupa, tentu federasi olahraga internasional sebagai induk olahraga juga perlu mencari solusinya. Artinya, penyelesaian tidak hanya dari pengurus olahraga di Indonesia saja.
Kontributor : Uli Febriarni