SuaraJogja.id - Penutupan TPST Piyungan selama 45 hari pada 23 Juli hingga 5 September 2023 disebut hanya memindahkan sampah alih-alih mengatasi masalah darurat sampah di DIY. Sebab kebijakan itu dinilai memunculkan kedaruratan dan kerentanan dalam bermasyarakat.
Meski sejumlah TPST dibuka secara berkala, tumpukan sampah masih saja bisa ditemukan di berbagai titik. Masyarakat yang kesulitan membuang sampah karena depo-depo ditutup pun akhirnya membakar sampah yang mengakibatkan polusi udara.
"Apabila sampah yang masuk ke [tpst] piyungan dipindahkan di sepanjang jalan malioboro, maka akan penuh dalam waktu 5,5 hari. Apabila dipindahkan ke stadion mandala krida maka akan penuh dalam waktu 8 hari dengan tinggi sebetis orang dewasa. Itu ilustrasi yang ekstrem dengan paradigma buang sampah, akan berbeda jika memakai paradigma pengelolaan sampah, mulai dari produsen sampahnya," papar R Yuli Kusworo, Direktur Arkom, salah satu elemen Forum Masyarakat Sadar Sampah (FMSS) DIY, dikutip Selasa (22/8/2023).
Padahal, menurut Yuli, lebih dari 50 persen sampah di DIY adalah sampah organik. Karenanya jika pengelolaan sampah dimulai dari rumah tangga yang terorganisir maka mampu mengurangi volume sampah yang dihasilkan secara signifikan.
Baca Juga:Efektivitas TPST Piyungan Dipertanyakan, Pengelolaan Sampah Mestinya Berbasis Wilayah
Apalagi DIY memiliki Perda DIY No. 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga serta UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun pada kenyataannya di lapangan saat terjadi darurat sampah, pemangku kebijakan hanya memindahkan masalah dan bukan menyelesaikan masalah sampah.
“Sentralisasi pengelolaan sampah [yang dilakukan] tidak melibatkan peran aktif komunitas terorganisir dalam bentuk circular economy, walaupun di naskah akademiknya sudah disebutkan. Padahal terdapat praktik baik [pengolahan sampah] di panggungharjo," tandasnya.
Karenanya FMSS mendesak Pemda DIY untuk menerapkan konsep yang lebih desentralistik dalam mengatasi masalah sampah. Yakni dengan memberi ruang peran aktif komunitas terorganisir dalam aksi pengelolaan sampah regional tersebut.
"Selain itu segera untuk menambahkan peraturan turunan yang lebih bersifat teknis beserta penggunaan teknologinya," ujarnya.
Sementara Eko Winardi, budayawan sekaligus praktisi persampahan, menyampaikan persoalan sampah saat ini sudah sampai pada situasi darurat. Karenanya perlu segera untuk dilakukan aksi mitigasi laiknya menghadapi bencana Gempa Bumi dan Erupsi Merapi.
Modal sosial masyarakat DIY merupakan potensi yang mendukung bagi penyelesaian persoalan sampah. Perlunya pendidikan yang menuntun perubahan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan sampah, merupakan wujud dari ritual budaya.
"Sebagai bagian dari mengejawantahkan hamemayu hayuning bawana, pengelolaan sampah wajib dimaknai sebagai alur kehidupan dengan konsep memilah, menaruh, dan memanfaatkan. Hindari konsep membuang," katanya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi