Meskipun program WMP telah berakhir, namun pemantauan terhadap jumlah kasus dan pengamatan nyamuk terus dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM.
Direktur Pusat Kedokteran Tropis, Riris Andono Ahmad, yang juga merupakan salah satu peneliti WMP, menerangkan bahwa teknologi nyamuk ber-Wolbachia merupakan teknologi yang berkelanjutan. Ia mengklaim selain teknologi ini lebih ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.
"Teknologi ini adalah teknologi yang berkelanjutan, karena sifatnya bisa diturunkan ke nyamuk berikutnya. Hanya perlu satu kali melepaskan, kemudian kita tinggal menikmati hasilnya. Populasi Wolbachia di Yogyakarta sampai saat ini masih sangat tinggi, sehingga memberikan proteksi yang berkelanjutan," tandas Riris.
Selain menekan angka kasus DBD di Kota Yogyakarta, program nyamuk Wolbachia selama ini juga memangkas intervensi fisik berupa pengasapan atau fogging. Dampaknya tentu anggaran pemerintah pun dapat dialokasikan ke penyakit lain.
Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Kabid Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit P2P Dinkes Kota Yogyakarta Lana Unwanah. Pasalnya per Oktober 2023 ini tercatat 67 kejadian DBD di wilayahnya. Jumlah itu merupakan angka terendah dalam dasawarsa terakhir.
Program nyamuk Wolbachia dinilai melengakpi berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah selama ini. Baik melalui program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan gerakan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
Sedangkan untuk fogging sendiri sepanjang tahun 2023 baru dilaksanakan sebanyak 9 kali saja. Angka itu jauh berbeda pada 2016 lalu yang mencapai 200 kali atau pada 2017 lalu dengan lebih dari 50 kali.
"Sehingga ada sejumlah anggaran yang bisa kami alokasikan ke penanganan penyakit lainnya," kata Lana.
Baca Juga:Soal Pro Kontra Nyamuk Wolbachia, Dinkes Sleman Sebut Cukup Efektif Tekan Kasus Demam Berdarah