SuaraJogja.id - Setiap tanggal 7 Oktober diperingati sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.
Bila merunut sejarah, hal itu berkaitan erat dengan proses dibangunnya Keraton Yogyakarta pasca Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755 yang memisahkan antara Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Pasca perjanjian itu, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I menetapkan wilayah Mataram sebagai kekuasaannya yang diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Yogyakarta.
Sejurus dengan ketetapan itu, sebuah istana atau keraton pun dibangun di wilayah yang sekarang masuk administrasi Kota Yogyakarta.
Baca Juga:Satpol PP Amankan 2 Manusia Silver Usai Viral Diduga Gores Mobil di Jogja
Istana tersebut resmi ditempati oleh Sultan Hamengku Buwono I pada 7 Oktober 1756.
Momentum itu yang kemudian sekaligus sebagai penanda berdirinya Kota Yogyakarta.
Terkini, pada tahun 2024, Kota Yogyakarta telah menginjak usia yang ke-268 tahun.
Nah bagi kamu yang ingin napak tilas dan mengetahui asal muasal berdirinya Kota Yogyakarta, berikut sederet tempat wisata yang bisa dikunjungi.
1. Kota Kuno Kotagede
Baca Juga:Profil Lengkap Heroe Poerwadi, dari Jurnalis hingga ke Perebutan Kursi Wali Kota Jogja
Sebelum berdirinya Keraton Yogyakarta, Kotagede merupakan pusat administrasi kerajaan mataram Islam.
Kota yang kini memiliki tiga kelurahan yakni Prenggan, Rejowinangun serta Purbayan tersebut, di abad ke-16 merupakan ibu kota kerajaan Mataram Islam.
Berdirinya kota kuno Kotagede ini bisa ditelusuri dari pendiri Kerajaan Pajang di Jawa Tengah yakni Sultan Hadiwijaya yang menghadiahkan sebuah wilayah yang dikenal dengan hutan mentaok atau alas mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan usai mengalahkan Arya Penangsang.
Ki Ageng Pemanahan kemudian melakukan babat alas di kawasan hutan mentaok yang membentang dari wilayah Purwomartani, Banguntapan dan Kotagede saat ini.
Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat, keturunannya Danang Sutawijaya atau yang dikenal dengan Panembahan Senopati mendirikan kerajaan Mataram Islam usai mengalahkan kerajaan Pajang. Kotagede pun jadi ibu kotanya.
Pada masa Sultan Agung berkuasa periode 1612-1645, ibukota Mataram Islam dipindah ke selatan Kotagede. Tempat itu bernama Kerto.
Meski tak lagi jadi pusat pemerintahan, hingga kini sisa-sisa bangunan kuno masih bisa ditemui di kawasan Kotagede.
Buat kamu yang gemar dengan sejarah, tempat ini sangat pas dan nyaman untuk napak tilas kejayaan masa lampau.
Adapun lokasi yang bisa dikunjungi yakni Masjid Kotagede yang dibangun Sultan Agung pada 1644 masehi.
Kemudian ada Pasar Legi Kotagede. Pasar yang dibangun pada abad ke-16 tersebut disebut juga sebagai pasar tertua di Yogyakarta.
Lalu ada kompleks makam pendiri kerajaan yang lokasinya sekitar 100 meter ke arah Selatan dari Pasar legi Kotagede.
Di dalam kompleks ini terdapat sejumlah tokoh penting yang disemayamkan yakni Ki Gede Pemanahan, Sultan Hadiwijaya, Panembahan Senopati serta keluarganya.
2. Situs Warungboto
Sekitar 5 meter dari kawasan kota kuno Kotagede, jejak sejarah Kota Yogyakarta bisa juga dijumpai di situs Warungboto.
Dahulu, tempat wisata yang saat ini terletak di Jalan Veteran no. 77 tersebut merupakan pesanggrahan Rejowinangun yang sudah ada sejak abad ke-18.
Situs ini merupakan pesanggrahan raja dan keluarga yang dibangun di masa Sultan Hamengku Buwono II sejak masih berstatus pangeran dengan nama Pangeran Rejakusuma.
Situs yang dahulu memiliki mata air yang tak pernah surut itu kini telah jadi salah satu destinasi wisata sejarah.
Situs ini dibuka mulai dari pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Tiket masuknya cuma Rp3 ribu saja.
3. Keraton Yogyakarta
Berdiri di atas lahan seluas 14 ribu meter persegi, bangunan yang menjadi tempat raja Yogyakarta bertahta ini merupakan bangunan paling mencolok di antara bangunan lain di kawasan kota Jogja.
Bangunan yang diapit dua alun-alun ini merupakan rancangan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Modelnya terpengaruh dari Eropa yakni Portugis, Belanda serta dari Asia Timur yakni China.
Keraton Yogyakarta terdiri dari tiga bagian yakni komplek bagian depan, komplek inti serta komplek belakang keraton.
Untuk komplek depan terdiri dari alun-alun Utara dan Masjid Gedhe. Kemudian untuk komplek inti terdiri dari tujuh rangkaian plataran dari alun-alun utara hingga selatan, yakni Pagelaran, dan Sitihinggil Lor, Kamandungan Lor, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandungan Kidul serta Sitihinggil kidul.
Sementara untuk komplek belakang terdiri dari Alun-alun kidul dan plengkung nirbaya.
Untuk tiket masuk bagi wisatawan domestik dikenai Rp10.000 untuk anak-anak, lalu untuk dewasa Rp15.000. Sedangkan wisatawan asing dikenai Rp25.000.
Buka tiap hari Selasa hingga Minggu dari pukul 08.00 hingga 14.00 WIB.
4. Panggung Krapyak
Peninggalan Sultan Hamengku Buwono I lainnya yang masih bisa dikunjungi yakni Panggung Krapyak.
Panggung Krapyak beralamat di Jalan Kh. Ali Maksum, Panggungharjo, Sewon, Bantul.
Bangunan yang masuk titik Sumbu Filosofi ini dibangun pada 1782.
Panggung Krapyak sejatinya merupakan tempat peristirahatan raja seusai melakukan perburuan. Hal itu mengingat wilayah Krapyak dahulu merupakan hutan dengan habitat terbanyak adalah rusa atau menjangan.
Panggung Krapyak berwujud bangunan berbentuk kotak berukuran 17,6 meter dengan tinggi 10 meter.
Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Lantai atas merupakan tempat terbuka sebagai area berburu. Sementara di lantai dasar terbagi dalam empat ruang yang dihubungkan oleh lorong.
Konon bangunan ini dahulu juga dipakai oleh prajurit Keraton Yogyakarta untuk mengintai dan pertahanan dari musuh.
Untuk mengakses ke bangunan cagar budaya ini pengunjung tak dikenai tiket alias gratis.
5. Petirtaan Tamansari
Tempat istirahat dan pemandian raja dan keluarga raja ini dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I yakni sekitar abad ke-17.
Bangunan yang dahulu merupakan istana air ini selain dipakai untuk tempat pemandian keluarga raja, juga sebagai tempat perlindungan keluarga Sri Sultan dari musuh.
Di komplek ini terdapat akses bawah tanah untuk melarikan diri.
Menariknya jalur untuk melarikan diri itu memiliki pintu air yang bisa dibuka untuk mengaliri jalur tersebut penuh dengan air dan mengelabuhi musuh yang mengejar.
Saat ini, komplek tamansari masuk dalam salah satu tempat wisata favorit pelancong baik domestik maupun mancanegara.
Tiket masuknya mulai dari Rp5.000 untuk wisatawan lokal. Sedangkan untuk wisatawan asing dibanderol mulai dari Rp15.000.
6. Tugu Jogja
Tugu jogja merupakan landmark paling terkenal di kota gudeg tersebut.
Bangunan berwujud tugu yang dahulu disebut tugu golong gilig ini merupakan ikon kota Jogja yang masuk titik sumbu filosofi.
Sesuai namanya tugu Jogja dahulu berbentuk silinder atau gilig dan puncaknya berbentuk bulat atau golong.
Ketinggian tugu Jogja ini mencapai 25 meter.
Pada 1889 bentuk fisik tugu jogja berubah drastis ketika direnovasi oleh pemerintah Belanda akibat bencana gempa.
Sejak saat itu tugu tersebut dinamai Tugu Pal Putih atau yang kini dikenal dengan Tugu Jogja.
Untuk menikmati peninggalan bersejarah ini kamu cukup melewati jalan Jenderal Sudirman bila dari arah timur. Sementara bila dari arah utara melalui jalan AM Sangaji menuju selatan.
Tak ada tiket masuk alias gratis.
7. Museum Kereta Keraton Yogyakarta
Museum yang berisi peninggalan kereta milik Keraton Yogyakarta ini letaknya tak jauh dari Keraton Yogyakarta.
Lokasinya berada di sisi kanan keraton bila dari arah Alun-alun Utara.
Museum ini memiliki 23 koleksi kereta kuda, 18 di antaranya masih dipergunakan untuk kepentingan upacara kebesaran keraton sedangkan 5 kereta lainnya dipajang mengingat usianya yang sudah uzur.
Di sini terdapat kereta yang usianya paling tua yakni Kanjeng Nyai Jimad yang dibuat tahun 1750.
Museum ini buka dari hari Senin hingga Minggu dari pukul 09.00-16.00 WIB.
Tiketnya dari Rp5.000. Ada tambahan tarif bila menggunakan kamera yakni Rp10.000.
Seperti halnya pasar Legi Kotagede, Pasar Beringharjo juga memiliki riwayat mengiringi sejarah berdirinya Kota Yogyakarta.
Kawasan yang dahulu menurut pakar kuliner Murdijati Gardjito dalam buku kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa sebagai hutan beringin menjelma sebagai pusat ekonomi setelah berdirinya Keraton Yogyakarta.
Melalui perusahaan beton India Belanda, Keraton Yogyakarta kemudian membangun sebuah pasar yang mulanya terdapat 11 los.
Pasar yang kemudian dikenal sebagai Pasar Beringharjo itu diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada 24 Maret 1929.
Nah, selain bisa berbelanja batik, di pasar ini juga bisa jadi tempat wisata alternatif untuk mengenang sejarah berdirinya Kota Yogyakarta.
Buat kamu yang gemar kuliner, di area Pasar Beringharjo terdapat sejumlah jajanan khas tradisional yang bisa dicicip, diantaranya ada Kipo, Mendut hingga Pecel Urep.
Di sini kamu juga bisa memborong rempah-rempah yang sudah dijajakan turun temurun sejak masa kerajaan.
Pasar Beringharjo buka dari pukul 09.30 hingga 21.00 WIB.