Merawat Sejarah Lewat Lakon Si Manis Jembatan Merah, Indonesia Kita Hadirkan Sarkas Jenaka di Pemerintahan Baru

Belajar jadi indonesia, mengenal patriotisme, nasionalisme ke-Indonesiaan tidak hanya dengan cara baris berbaris saja.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 31 Oktober 2024 | 10:34 WIB
Merawat Sejarah Lewat Lakon Si Manis Jembatan Merah, Indonesia Kita Hadirkan Sarkas Jenaka di Pemerintahan Baru
Pementasan Indonesia Kita ke-42 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dengan lakon 'Si Manis Jembatan Merah', Rabu (30/10/2024) malam. [Suarajogja.id/Hiskia]

SuaraJogja.id - Indonesia Kita kembali menggelar pentas produksi yang ke-42 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Pentas yang mengambil lakon 'Si Manis Jembatan Merah' itu sukses menghibur ratusan penonton yang hadir.

Sebagai salah satu penonton yang duduk di Concert Hall TBY, SuaraJogja.id sudah bisa merasakan antusiasme masyarakat yang hendak menonton pentas itu. Mereka sudah datang ke lokasi bahkan satu jam sebelum pementasan dimulai.

Setelah hampir semua kursi terisi, Butet Kartaredjasa, sebagai salah satu pendiri Indonesia Kita keluar dari belakang pangggung untuk memberikan kata pengantar sebelum pementasan.

Disampaikan Butet, Indonesia Kita bukan merupakan sebuah kelompok teater. Melainkan sebuah program untuk terus menjaga semangat saling menyapa lintas etnik dan menemukan Indonesia.

Baca Juga:Tekan Angka Pengangguran di DIY, Disdikpora Berikan Modal Usaha Siswa SMA/SMKSenilai Rp10 Juta

Pementasan Indonesia Kita ke-42 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dengan lakon 'Si Manis Jembatan Merah', Rabu (30/10/2024) malam. [Suarajogja.id/Hiskia]
Pementasan Indonesia Kita ke-42 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dengan lakon 'Si Manis Jembatan Merah', Rabu (30/10/2024) malam. [Suarajogja.id/Hiskia]

"Jadi program indonesia kita ini memang cara kita untuk berproses belajar menjadi indonesia, belajar indonesia itu bisa dengan banyak cara," kata Butet.

"Belajar jadi indonesia, mengenal patriotisme, nasionalisme ke-Indonesiaan tidak hanya dengan cara baris berbaris saja. Tapi bisa juga dengan becanda nyanyi-nyanyi melalui kecerdaan lidah kuliner-kuliner Indonesia," imbuhnya disambut gelak tawa dan tepuk tangan penonton.

Pementasan ini disutradarai oleh Agus Noor yang juga berperan sebagai penulis skenario. Pentas ini diketahui telah sukses digelar sebelumnya di Teater Besar Taman Ismail Marzuki pada 27-28 September 2024 lalu.

Sejumlah pemain yang tampil di Jakarta juga muncul kembali di Yogyakarta ditambat dengan beberapa pemain baru. Selain Butet yang ikut bermain, ada Cak Lontong, Akbar Kobar, Denny Chandra, Whani Darmawan, Marwoto, Susilo Nugroho, Inaya Wahid, Sha Ine Febriyanti, Mbah Rani, Joened, dan Wishen.

Mereka sukses mengocok perut para penonton yang hadir langsung semalam. Beberapa momen memecah tawa dengan sarkesme yang dihadirkan.

Baca Juga:Rayakan Halloween di Giggles and Screams INNSiDE by Melia Yogyakarta, Seru dan Penuh Kejutan!

Ditambah asyik dengan pertunjukan yang diiringi musik dari Orkes Sinten Remen dan dimeriahkan oleh para penari dari DvK Art Movement.

Tema utama pertunjukan ini berangkat tentang kegelisahan akan nilai-nilai berbangsa dan bernegara yang terasa relevan dengan perkembangan situasi politik di hari-hari belakangan ini. Jalinan cerita pertunjukan ini mengisahkan keberadaan sebuah jembatan di suatu kota yang memiliki nilai sejarah penting bagi penduduk di situ.

Ada berbagai kenangan yang melekat di jembatan tersebut. Mulai dari kenangan veteran perang yang kerap menziarahi jembatan tersebut yang pernah dipertahankannya dari serangan musuh, kaum-kaum terpinggirkan yang menggunakan jembatan itu sebagai rumah mereka, hingga keberadaan hantu perempuan yang konon kerap menangis.

Konflik warga muncul ketika sejumlah calon politisi datang dengan segala gimmick politiknya menyongsong pilkada, bagi-bagi bansos hingga menyediakan sesaji di jembata merah. Persoalan semakin pelik ketika ada seorang warga yang kehilangan ibunya.

Butet bilang bahwa lakon kali ini mengajak penonton untuk berefleksi akan makna sejarah bagi perjalanan republik ini. Kisah tentang jembatan yang terancam dipunahkan ini seolah menjadi metafora akan ingatan-ingatan kolektif yang seolah-olah mulai dibuyarkan secara sengaja maupun tidak sengaja.

"Kita ini semakin hari menjadi bangsa yang mudah lupa akan sejarah. Padahal republik ini senang sekali membuat monumen yang bertujuan untuk mengenang perjalanan bangsa meraih cita-cita kemerdekaan," kata dia.

Senada, Agus Noor mengamini bahwa dia mengharapkan lakon yang ditulisnya ini bisa menjadi tengara yang mengingatkan para penggemar seni budaya untuk mengingat perjalanan sejarah yang ditempuh republik ini.

"Jembatan Merah di dalam lakon ini menandai perjuangan rakyat dalam mencapai kemerdekaannya. Namun, sering kali kita secara tidak sadar mulai melupakan atau terlupa akan makna di balik monumen-monumen yang bertebaran di sekeliling kita," kata Agus Noor.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak