Tema utama pertunjukan ini berangkat tentang kegelisahan akan nilai-nilai berbangsa dan bernegara yang terasa relevan dengan perkembangan situasi politik di hari-hari belakangan ini. Jalinan cerita pertunjukan ini mengisahkan keberadaan sebuah jembatan di suatu kota yang memiliki nilai sejarah penting bagi penduduk di situ.
Ada berbagai kenangan yang melekat di jembatan tersebut. Mulai dari kenangan veteran perang yang kerap menziarahi jembatan tersebut yang pernah dipertahankannya dari serangan musuh, kaum-kaum terpinggirkan yang menggunakan jembatan itu sebagai rumah mereka, hingga keberadaan hantu perempuan yang konon kerap menangis.
Konflik warga muncul ketika sejumlah calon politisi datang dengan segala gimmick politiknya menyongsong pilkada, bagi-bagi bansos hingga menyediakan sesaji di jembata merah. Persoalan semakin pelik ketika ada seorang warga yang kehilangan ibunya.
Butet bilang bahwa lakon kali ini mengajak penonton untuk berefleksi akan makna sejarah bagi perjalanan republik ini. Kisah tentang jembatan yang terancam dipunahkan ini seolah menjadi metafora akan ingatan-ingatan kolektif yang seolah-olah mulai dibuyarkan secara sengaja maupun tidak sengaja.
Baca Juga:Tekan Angka Pengangguran di DIY, Disdikpora Berikan Modal Usaha Siswa SMA/SMKSenilai Rp10 Juta
"Kita ini semakin hari menjadi bangsa yang mudah lupa akan sejarah. Padahal republik ini senang sekali membuat monumen yang bertujuan untuk mengenang perjalanan bangsa meraih cita-cita kemerdekaan," kata dia.
Senada, Agus Noor mengamini bahwa dia mengharapkan lakon yang ditulisnya ini bisa menjadi tengara yang mengingatkan para penggemar seni budaya untuk mengingat perjalanan sejarah yang ditempuh republik ini.
"Jembatan Merah di dalam lakon ini menandai perjuangan rakyat dalam mencapai kemerdekaannya. Namun, sering kali kita secara tidak sadar mulai melupakan atau terlupa akan makna di balik monumen-monumen yang bertebaran di sekeliling kita," kata Agus Noor.