SuaraJogja.id - Di tengah booming film horor di Indonesia, sejumlah sineas film Indonesia memberanikan diri membuat film-film anak. Tak main-main, tema yang dipilih pun cukup berat bagi pemain-pemain film cilik, yakni tentang perubahan iklim dan kerusakan alam serta lingkungan yang jadi ancaman manusia di bumi ini.
Sebut saja film berjudul "When Cening Meets Kawa, The Magical Forest", "Suraci, Planet Tanpa Pohon, Sampaikan Pesan Selamatkan Bumi", "Silogui, Jangan Sembarangan di Alam", "Ada Hantu di Menara Merdu" serta "Lintang dan Kunang-kunang". Kelima film yang disutradarai dan diproduseri sineas dari berbagai daerah ini pun diputar di Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2024 di Yogyakarta.
Walaupun tema perubahan iklim cukup sulit, cerita dan pesan yang disampaikan kelima film disesuaikan dengan dunia anak-anak. Bahkan relate atau mereka rasakan dalam kesehariannya.
Agni Tirta, sutradara film Lintang dan Kunang-kunang di Yogyakarta, Minggu Sore mengungkapkan meski isu perubahan iklim cukup berat di dunia anak-anak, para pemain film yang kebanyakan bocah-bocah kecil (bocil) degan usia tak lebih dari 10 tahun mampu menyampaikan pesan dari film tersebut untuk menjaga bumi dari perubahan iklim yang makin masif.
Baca Juga:Yogyakarta Siaga Darurat Cuaca Ekstrem, Desember Waspada Banjir
"Dalam membikin film ini, kita tidak memaksakan perspektif orang dewasa tetapi pemain anak-anak itu, yang kita harus menggali apa dirasakan [untuk menampilkan isu perubahan iklim dalam film]," paparnya.
Agni mengaku sengaja memilih film anak untuk ditampilkan di JAFF kali ini dalam mengkritisi perubahan iklim. Tak banyak film anak-anak yang hadir di bioskop ataupun platform digital saat ini.
Bila menyebut film anak, hanya Petualangan Sherina yang ada dibenak banyak penonton. Karenanya melalui film-film anak yang juga tayang di platform digital Indonesiana TV ini, para sineas memberikan lebih banyak alternatif film anak yang bisa jadi tontonan sesuai usia anak-anak.
"Film anak itu nggak banyak sekarang, karena kalau di bioskop di media kebanyakan film orang dewasa, film-film horor. Nah untuk anak-anak ini perlu juga diisi, kebetulan dengan ada program layar anak makanya kami dengan senang hati langsung mengikuti karena juga punya dari cerita sebelumnya," ungkapnya.
Hal senada disampaikan Ayu Pamungkas, sutradara "When Cening Meets Kawa, The Magical Forest" yang menyatakan, dirinya memiliki keresahan akan minimnya film-film anak. Padahal di era digital ini, kebutuhan anak-anak akan tontonan yang berkualitas sangat besar.
Baca Juga:Lebih dari 200 Anak di Jogja Alami Kekerasan, Pemda DIY Didesak Terapkan Kurikulum Antikekerasan
"Tidak banyak orang yang tahu film anak. Saya juga memiliki anak, tapi perkembangan film anak-anak terlalu terbatas," ujarnya.
Karenanya melalui film yang menceritakan tentang dunia anak dan cara mereka memelihara bumi, akan semakin banyak pilihan tontonan anak yang berkualitas. Apalagi film yang disajikan memiliki beragam latar budaya yang ada di Indonesia.
Diharapkan dengan bermunculannya banyak film anak-anak, maka ekosistem film anak akan bisa berjalan. Mereka pun bisa menemukan momen yang pas untuk diri mereka.
"Dan potensi-potensi itu kebetulan Indonesiana mewadahi itu," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi