SuaraJogja.id - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mengecam keras praktik penyewaan kamar apartemen dan kos-kosan harian yang marak di Yogyakarta. PHRI menyebut, selain melanggar regulasi, sejumlah iklan promosi yang tersebar di media sosial bahkan menggunakan bahasa vulgar yang dinilai merusak citra pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah akun TikTok @yogyakartaapartemen yang mempromosikan kamar apartemen dengan tarif dan fasilitas layaknya hotel. Namun, yang membuat heboh adalah penggunaan kata-kata tidak pantas dalam iklan tersebut. Dalam salah satu iklannya, akun tersebut tertulis "Apartemen Yogyakarta, Udah Murah Bisa Bawa Istri Orang . 3 jam 75 ribu, 6 jam 100 ribu, 8 jam 125 ribu, fullday 150 ribu".
Bahkan Iklan tersebut semakin vulgar dengan tambahan kalimat yang berbau seksual.
"Kalau udah di dalam kamar, bebas cium, bebas peluk, bebas ngiclikk. Dosa ditanggung sendiri ya, privasi aman, mimin ndak sebar data kok. Mau bawa gendokan, istri orang, pacar orang, itu privasi kakak sendiri, mimin enggak ikut," tulisnya.
Baca Juga:Danais DIY Dipangkas Buntut Efisiensi Anggaran, Program RTLH Terancam Tak Maksimal
Iklan ini sontak memicu kemarahan dari PHRI DIY. Ketua DPD PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengungkapkan kekesalannya terhadap fenomena tersebut.
"Duh, apartemen lagi yang berulah," ujar Dedy dengan nada geram saat dihubungi, Senin (3/2/2025).
Dedy menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak hanya merusak citra pariwisata DIY, tetapi juga berdampak negatif secara ekonomi. Iklan seperti ini memberi kesan bahwa pariwisata DIY mendukung hubungan terlarang.
"Ini jelas mencoreng citra Yogyakarta sebagai destinasi wisata budaya," tegasnya.
Selain itu, apartemen dan kos-kosan yang disewakan harian tidak tergabung dalam PHRI dan tidak membayar pajak akomodasi seperti hotel resmi. Hal ini tentu merugikan pendapatan asli daerah (PAD).
Baca Juga:Pastikan Tak Aji Mumpung, PHRI DIY Tetapkan Kenaikkan Harga Hotel Maksimal 70 Persen
"Pajak akomodasi dari mereka enggak ada, jadi ini merugikan Pemda juga," tambahnya.
Dedy juga mengkritik lemahnya pengawasan dari aparat berwenang.
"Kamar apartemen boleh dijual kayak hotel? Sekarang kos-kosan aja dijual harian. Apartemen ikut-ikutan. Harusnya kan nggak boleh?. Harusnya aparat bertindak karena ini rawan jadi tempat hal-hal negatif seperti narkoba," tuturnya.
PHRI juga menyoroti tarif sewa yang jauh lebih murah dibandingkan hotel, yang dinilai merusak pasar. Dia menyebut tarif apartemen dan kos-kosan ini sangat merusak, karena tidak ada kontrol dari asosiasi atau Pemda. Apartemen dan kos-kosan bebas pasang harga seenaknya.
Ia memperkirakan bahwa jumlah apartemen dan kos-kosan yang menjalankan praktik serupa di Yogyakarta cukup banyak. Kalau digabung bisa lebih dari 100 unit yang melakukan penyewaan harian seperti ini.
"Jumlahnya cukup banyak. Bisa 100-an lebih kalau digabung di DIY," tambahnya.
PHRI DIY mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap praktik ilegal ini. PHRI berharap ada penertiban dari pemerintah. Karena jika tidak segera ditangani, hal ini bisa semakin merusak industri pariwisata DIY.
Selain itu, PHRI berharap masyarakat lebih selektif dalam memilih akomodasi dan tidak tergoda dengan tarif murah yang ditawarkan oleh apartemen atau kos-kosan yang tidak resmi.
"Wisatawan juga harus sadar, kalau memilih tempat yang legal itu lebih aman dan nyaman," sebut dia.
Kontributor : Julianto