Evi yang tak menaruh curiga menyerahkan sertifikat tanah itu pada kedua orang itu tepatnya awal Agustus 2011.
Sembari kedua pengontrak rumah itu membayar uang kontrakan secara bertahap terhitung dari Agustus-Desember 2011.
"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang saya kan sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari. Jadi buat jaminan karena mau menyerahkan uang Rp 25 juta," kata Evi.
Tak lama setelah itu, Evi diajak ke kantor notaris di Kalasan, Sleman, untuk menandatangani dokumen.
Baca Juga:Berbah Sleman Akhirnya segera Punya SMA Negeri, Warga Tak Perlu Sekolah ke Kecamatan Lain
"Yang ditandatangani itu tidak tahu [apa], katanya kan perjanjian kontrak mengontrak [rumah]," tambah Hedi .
Evi bahkan tak diperbolehkan membaca surat yang ditandatangani.
"Setengah kaya digendam atau dipaksa. Pada waktu itu ini [Evi] masih muda jadi enggak tahu apa itu notaris, enggak tahu," imbuhnya.
Masalah mulai muncul pada Mei 2012 tepatnya saat pihak bank datang memberi kabar bahwa sertifikat telah diagunkan dengan pinjaman Rp300 juta dan kreditnya macet.
![Hedi Ludiman korban dugaan mafia tanah di Sleman saat ditemui di rumahnya, Rabu (14/5/2025). [Hiskia/Suarajogja] (49)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/14/78663-korban-mafia-tanah-sleman-hedi-ludiman.jpg)
"Pas gadaikan sertifikat itu posisi atas nama istri saya. Jadi posisi balik nama dengan menggadaikan itu sama 26 Agustus 2011. Setelah serahkan sertifikat langsung digadaikan sama dibalik nama," ujar Hedi.
Saat dicek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), sertifikat ternyata sudah beralih nama ke SJ sejak 26 Agustus 2011.
Baca Juga:Ruang Bernafas di Tengah Kepadatan: RTP Gatotkaca Jadi Solusi Kumuh di Mrican
Tak terima dengan hal itu, Hedi lalu melaporkan kasus ini ke Polres Sleman. Singkatnya pada 2014, SH berhasil ditangkap hingga divonis dengan hukuman 9 bulan penjara atas kasus penipuan dan penggelapan.