SuaraJogja.id - Gus Miftah memberi respon terkait situasi sosial politik yang beberapa hari terakhir menghangat.
Lewat unggahan videonya di Instagram pribadi, kali ini, keturunan ke-9 Kiai Ageng Hasan Besari ini membicarakan tentang Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ummatan wasathon wasatiyah yang moderat, sehingga dalam beragama dan berpolitik pun pemahamannya juga moderat.
Dalam unggahannya ini, Gus Miftah menuliskan, "Ummatan wasathon. Baik dalam beragama maupun bernegara kita mengambil posisi moderat, kebijakan pemerintah baik kita support, kurang baik ya kita kritisi,"
Ia kemudian menuliskan bahwa sebaiknya pemerintah jangan menganggap kritikan tersebut sebagai bentuk kebencian, sehingga mudah sekali memberikan label kepada suatu aliran agama sebagai pengikut atau pendukung dari suatu aliran politik.
Di awal video berdurasi 1 menit 38 detik ini, Gus Miftah mengatakan bahwa dalam beragama dan bernegara NU selalu menempatkan dirinya sebagai ummatan wasathon wasatiyah yang moderat, dan jika mendengarkan ayat ke-143 Surah Al-Baqarah, ayat ini tepat berada di tengah-tengah surah Al-Baqarah. Posisinya sama seperti manusia yang menjadi umat yang moderat pemahamannya.
"Saya memahami ketika dalam bernegara, pemerintah baik ya kita support. Pemerintah jelek atau kurang baik ya kita kritisi bareng-bareng, dan NU menempatkan dirinya seperti itu," lanjut ulama ini.
Pendakwah berusia 39 tahun ini pun mengatakan, saat ini masyarakat banyak yang kalau sudah benci dengan pemerintah, sebaik apapun pemerintah itu tetap dianggap jelek. Ataupun sebaliknya, ketika dia cinta kepada pemerintah, maka sejelek apapun pemerintahan maka akan dianggap baik.
"Maka kalau dalam bahasa makhfudzot itu dikatakan, kalau orang itu udah seneng itu seburuk apapun dianggap tidak ada, tapi sebaliknya kalau seseorang itu sudah benci sebaik apapun ya dianggap sama saja," ungkapnya.
Ia juga mengatakan bahwa kritikan yang dilayangkan oleh NU terhadap pemerintah ini merupakan hal yang tepat, dan jangan kemudian pemerintah menganggap setiap kritikan itu dianggap tidak suka dan musuh.
Baca Juga: Dipasang Gratis Tanpa Pajak, Sejumlah APK di Sleman Tak Sesuai Ketentuan
"Hari ini kok begitu gampang banget orang melabelkan dari kampret menjadi cebong, itu hanya gara-gara satu.. satu masalah. Ini saya pikir kurang dewasa," pungkasnya.
Unggahan dakwah dari Gus Miftah ini pun mendapat beberapa respons dari warganet.
"Kmrn ketua umum PBNU mengkritik malah banyk yg bilang cebonge udah insaaf dan menyesal," tulis akun @tooyaakhmad.
"Asalamualaikum wr wb..... smg selalu pinaring sehat dan kuat semangat & saget ngibadah lancar. Mari kita doakan negara kita aman tentram damai, gemah ripah loh jinawi," kata akun @atin_rg45.
"sangat bijaksana Gus," tulis akun @nanaf277.
Selain itu, akun @reynzernic juga turut menuliskan komentarnya, "Kadrun gak ikutan juga gus?".
Berita Terkait
Terpopuler
- Kumpulan Prompt Siap Pakai untuk Membuat Miniatur AI Foto Keluarga hingga Diri Sendiri
- Terjawab Teka-teki Apakah Thijs Dallinga Punya Keturunan Indonesia
- Bakal Bersinar? Mees Hilgers Akan Dilatih Eks Barcelona, Bayern dan AC Milan
- Gerhana Bulan Langka 7 September 2025: Cara Lihat dan Jadwal Blood Moon Se-Indo dari WIB-WIT
- Geger Foto Menhut Raja Juli Main Domino Bareng Eks Tersangka Pembalakan Liar, Begini Klarifikasinya
Pilihan
-
Nomor 13 di Timnas Indonesia: Bisakah Mauro Zijlstra Ulangi Kejayaan Si Piton?
-
Dari 'Sepupu Raisa' Jadi Bintang Podcast: Kenalan Sama Duo Kocak Mario Caesar dan Niky Putra
-
CORE Indonesia: Sri Mulyani Disayang Pasar, Purbaya Punya PR Berat
-
Sri Mulyani Menteri Terbaik Dunia yang 'Dibuang' Prabowo
-
Surat Wasiat dari Bandung: Saat 'Baby Blues' Bukan Cuma Rewel Biasa dan Jadi Alarm Bahaya
Terkini
-
Rp4 Miliar untuk Jembatan Pucunggrowong: Kapan Warga Imogiri Bisa Bernapas Lega?
-
2000 Rumah Tak Layak Huni di Bantul Jadi Sorotan: Solusi Rp4 Miliar Disiapkan
-
Malioboro Bebas Macet? Pemkot Yogyakarta Siapkan Shuttle Bus dari Terminal Giwangan untuk Turis
-
Tunjangan DPRD DIY Bikin Melongo, Tunjangan Perumahan Lebih Mahal dari Motor Baru?
-
KPKKI Gugat UU Kesehatan ke MK: Komersialisasi Layanan Kesehatan Mengancam Hak Warga?