Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 14 Oktober 2020 | 18:18 WIB
Penampakan salah satu rumah joglo di Gunungkidul yang masih terjaga keasliannya - (SuaraJogja.id/Julianto)

SuaraJogja.id - Keberadaan rumah Jawa jenis Joglo di Gunungkidul makin sulit ditemukan. Hal itu lantaran perkembangan zaman makin modern, sehingga mendorong masyarakat membangun rumah dalam bentuk yang modern.

Joglo dikenal sebagai rumah tradisional di tanah Jawa. Bentuknya khas, di mana di bagian tengah ada soko atau tiang-tiang penjaga. Soko tersebut menyangga bagian tengah joko yang berupa kayu-kayu ditumpang tergantung pada keinginan pembuatnya. Pada bagian bawah soko ada ompak atau slop untuk menghindarkan goyangan akibat gempa bumi.

Seperti halnya di Kalurahan Ngloro, Kapanewon Saptosari, masih terdapat sekitar 40% rumah Joglo yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat. Bahkan, terdapat enam unit rumah Joglo yang mendapat penghargaan dari pemerintah serta mendapat dana stimulan dari Dana Keistimewaan.

Keberadaan rumah joglo di Kalurahan Ngloro tersebut tak lepas dari keluarga Karyo Setiko. Warga asli Kalurahan Ngloro ini telah mewarisi 11 anaknya dengan bangunan joglo kuno lengkap dengan bangunan tradisional lainnya berbentuk limasan atau Omah (rumah kampung).

Baca Juga: Uniknya Kampanye para Peserta Pilkada Gunungkidul, Ada yang Datangi Hajatan

Salah satu anak dari Karyo Setiko adalah Supardi Wiyono (68), yang kini tinggal di Pedukuhan Gebang, Ngloro. Lelaki ini masih tinggal di rumah Joglo berukuran 27x18 meter warisan dari Karyo Setiko. Joglo yang ia tinggali telah mendapat pengakuan dari pemerintah dengan predikat cagar budaya.

Hal tersebut dikarenakan, segala macam unsur yang ada pada rumah itu dianggap bahan kuno. Sebab, kayu-kayu jati yang digunakan merupakan kayu dengan usia lebih dari ratusan tahun lamanya. Selain itu, bentuk rumah juga tidak pernah berubah dan menjaga keaslian yang ada.

Supardi mengatakan, predikat cagar budaya itu didapatkan pada tahun 2008 silam. Dengan berbagai proses pengecekan yang dilakukan oleh petugas, akhirnya dirinya mendapat piagam dari Gubernur DIY. Segala macam kerusakan dan upaya pelestarian mendapat dana stimulan dari pemerintah. Dana yang diterima kala itu mencapai Rp5 juta.

"Ada beberapa kali pengecekan dan penelitian. Dari puluhan rumah yang ada pertama kali yang lolos merupakan rumah saya ini," ujar Supardi Wiyono, Rabu (14/10/2020), ketika ditemui di rumahnya.

Supardi menceritakan, rumah yang ia huni berdua dengan istrinya tersebut merupakan warisan dari orang tua dan neneknya. Pada sekitar tahun 1970 silam rumah Joglo itu dipindahkan dari tempat semula yang jaraknya tidaklah begitu jauh.

Baca Juga: Pedagang Angkringan Jadi Korban Pelecehan Seksual, Pelaku Pelanggan Lama

Kemudian hingga sekarang ini, rumah tersebut masih terus dilestarikan olehnya. Terdapat 2 bangunan rumah Joglo di rumahnya itu. Satu bangunan rumah limasan dan 1 lagi jenis kampung.

"Semua masih asli, kalau menurut saya semakin lama justru kontruksinya semakin kuat. Asal tidak terkena air hujan saja aman tidak akan rapuh atau rusak," ucap dia.

Untuk merawatnya pun cukup mudah, hanya sesekali dibersihkan dari sawang [sarang laba-laba] atau kotoran-kotoran lainnya. Rumah itu secara keseluruhan masih asli dan kuno, turunan dari neneknya terdahulu. Bahkan lantainya pun juga tidak pernah diganti, hanya dari bebatuan yang sudah ada.

Ia sadar, joglo-joglo kuno milik keluarga besarnya banyak diburu para kolektor. Bahkan salah satu rumah Joglo miliknya pernah ditawar oleh seseorang dengan harga Rp230 juta, tetapi meski ditawar dengan harga cukup tinggi itu, ia tidak bergeming. Pasalnya rumah itu merupakan warisan, dan ia telah sepakat akan melestarikan cagar budaya bersama dengan pemerintah.

Rumah Joglo yang telah mendapat penghargaan dari Kemendikbud dan Pariwisata tahun 2011 lalu adalah rumah tradisional milik Mujono di Pedukuhan Gebang RT 16 RW 04, Kalurahan Ngloro.

Anak Mujono, Nur Isti Khomariyah (29,) menuturkan, rumah berukuran 26 x 12 meter persegi tersebut berdiri di atas tanah 1.191 meter persegi dan menghadap ke arah selatan. Rumah tersebut terdiri dari 5 rumah dengan bentuk dan fungsi yang berbeda.

"Ini sudah turun temurun. Warisan kakek canggah saya,"ujar Nur, Rabu, ketika ditemui di rumahnya.

Nur menyebutkan, paling belakang berbentuk limasan, rumah yang di tengah juga limasan dan bagian depan berbentuk joglo. Sementara di sisi kiri ada dua rumah berbentuk kampung yang masing-masing berfungsi untuk dapur dan tempat makan keluarga. Di depan 2 rumah kampung tersebut ada joglo yang baru didirikan.

Nur menjelaskan, rumah paling belakang berbentuk limasan merupakan warisan dari Mbah canggah dirinya atau mbah buyut dari ayahnya Mujono yaitu Karyo Setiko tahun 1930. Kemudian dari Karyo Setiko kepada simbahnya atau ibunya Marto Wiyono tahun 1952.

"Oleh Mbah Marto Wiyono diwariskan ke Supardi Wiyono pada tahun 1980, sehingga sudah turun menurun sebanyak 3 generasi," tambahnya.

Bangunan tersebut lantas didirikan di tanah tersebut baru tahun 1991. Saat itu, ibunya, yang merupakan anak pertama dari keluarga neneknya tersebut, 'disendirikan' dengan dibangunkan di Padukuhan Gebang. Saat diwariskan, rumah tersebut sudah pindah 3 kali dan semuanya di kalurahan Ngloro.

Nur mengatakan, rumah paling belakang berbentuk limasan memiliki cagak atau tiyang 14 cm. Rumah limasan tersebut berukuran 18×12 meter persegi dengan tiang setinggi 3,10 meter dan sekelilingnya berdinding kayu atau sering disebut gebyok.

"Di bagian belakang ini berfungsi tempat tidur ayah saya Mujono. Di dalamnya ada Gladak atau kotak berukuran 1,5 x2,5x1,25 meter yang berfungsi sebagai tempat menyimpan gabah hasil panenan," terangnya.

Rumah limasan bagian tengah merupakan warisan dari canggahnya, yaitu So Setiko. Namun tahun berapa diturunkan ke kakeknya Kromo Sentono ia tidak memahami, dan tahun 1952 kemudian diwariskan ke Wiryo Sentoro atau bapak dari Mujono, 1980 kepada Wiryo Sentono. Karena Mujono 'disendirikan', maka limasan tersebut didirikan Padukuhan Gebang tahun 1991.

Rumah paling depan berbentuk Joglo Tumpang 5 dan merupakan warisan yang sama dengan rumah paling belakang. Ukuran soko tiangnya adalah 15 cm dengan luas 12 x 9 meter persegi dan tinggi 3,5 meter.

Pemilik rumah, Mujono, mengaku sebenarnya tidak begitu sulit merawat rumah tua tersebut. Untuk membersihkan dinding kayu kuno tersebut memang membutuhkan ramuan khusus. Dan sejak turun temurun, keluarga ini memiliki ramuan berupa cengkeh dicampur dengan tembakau direndam dalam air bersama gedebog (batang) pisang.

"Merendamnya tiga hari tiga malam. Biar mengendap dulu,"paparnya.

Ramuan tersebut lantas diusapkan ke dinding kayu yang sudah dipelitur tersebut. Hasilnya, selain awet dan bersih, dinding kayu yang sudah diusap rendaman tersebut menjadi semakin bersinar dan aslinya sangat tampak. Dan untuk lantai cukup disapu tiap 3 hari sekali.

Karena leluhurnya telah melaksanakan laku prihatin dengan membangun belasan Joglo untuk keturunan mereka, Mujonopun meniru leluhurnya. Ia kini juga mengumpulkan joglo-joglo lain di rumahnya. Bulan lalu, ia baru saja memindahkan dan mendirikan joglo milik besannya ke kompleks joglo miliknya.

Terpisah, Kepala Desa Ngloro Heri Yuliyanto mengatakan, di wilayah yang berada di bawah kepemimpinannya itu, beberapa waktu lalu terdapat 6 yang mendapat predikat cagar budaya. Dimana tersebar di Padukuhan Gebang, Pringsurat, Karangnongko dan beberapa lainnya. Hal itu disambut baik oleh pemerintah desa, pasalnya dengan demikian tingkat jual beli rumah Joglo dapat ditekan.

"Ini merupakan potensi yang dimiliki, sebagian besar warga sini sudah sadar untuk melestarikannya. Kami sangat mendukung tentunya, ada puluhan yang dinilai, namun baru 6 yang lolos," ucap dia.

Diketahui, 2 rumah Joglo lainnya yang mendapat predikat cagar budaya merupakan milik Mujono yang tak lain adalah anak dari Supardi Wiyono. Dan satu lainnya merupakan sepupu Supardi, memang keluarga besarnya memiliki rumah Joglo yang masih terus dilestarikan, ada sedikit renovasi namun demikian tidak mengurangi nilai keindahan dan keaslian dari bangunan.

Kontributor : Julianto

Load More