Maruf mengungkapkan gerakan buruh saat ini lebih kepada mendorong pekerja di sektor manufaktur atau pabrik. Sementara tidak semua sektor di Jogja memiliki produktivitas yang setara.
"Sayangnya di setiap sektor tempat buruh bekerja itu produktivitasnya berbeda-beda. Kalau manufaktur konteks DIY, hampir 95 persen pelaku usahanya adalah UMKM. Jika UMKM membayar sesuai UMR, mereka tidak mampu. Mungkin bisa tapi UMKM yang sudah ekspor ke luar negeri," kata dia.
Menurut Maruf, kondisi saat ini harus menjadi perhatian baik pengusaha, pemerintah dan juga serikat buruh. Adanya kenaikan prosentase UMP 4,3 persen dinilai sebagai sebuah kompromi.
"Saya kira itu titik kompromi dari inflasi kalau di DIY. Jadi tidak menguntungkan tinggi pada buruh, tapi tidak terlalu memberatkan pelaku usaha dengan asumsi disamaratakan," kata dia.
Baca Juga: Potensi Bencana Masih Mengancam di Jogja, Pemkot Siapkan Anggaran Rp1,8 M
Kreativitas Buruh Membantu Bertahan Hidup di Jogja
Menurut Peneliti senior di Institute of Public Policy dan Economic Studies (INSPECT) ini, perlu langkah lain bagi pekerja atau buruh agar tetap bertahan hidup di Jogja dengan penghasilan rendah dibanding dengan kabupaten/kota yang lain.
Sejauh pengamatannya, banyak buruh yang akhirnya memiliki pekerjaan sampingan bahkan membuka usaha untuk menambah pendapatan mereka.
"Sebenarnya untuk income (pendapatan) dari pekerjaan utamanya tidak cocok. Maka pekerja melakukan kreativitas untuk income generated, dan itu banyak terjadi saat ini," kata Maruf.
Dalam dunia kerja di Indonesia, melakukan pekerjaan tambahan adalah hal wajar yang terjadi. Maruf mengatakan hal itu bukan karena keterpaksaan yang dilakukan masyarakat atau pekerja.
Baca Juga: Temukan 26 Siswa Terpapar Covid-19, Pemkot Jogja Tak Mau Langsung Tutup PTM
"Saya menyebutnya bukan solusi, lebih tepatnya langkah kreatif yang bisa dilakukan orang-orang. Disamping bekerja dia juga berjualan, tidak jarang saat ke tempat kerja dia menawarkan makanan atau dia menjadi reseller dan ditawarkan ke teman-teman dia," ujar Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
Berita Terkait
-
Manusia Is Value Ekonomi, Bukan Sekadar Objek Suruhan Kapitalisme
-
Iming-iming Gaji Besar, Unit Apartemen Kalibata City Disulap jadi Penampungan Pekerja Migran Ilegal
-
Tersisa 5 Pekan, Berikut Daftar Tim BRI Liga 1 2024/2025 yang Terancam Degradasi
-
Kapan Pemutihan Pajak Kendaraan Jogja Tahun 2025 Dibuka? Ini Info Tanggalnya
-
Hasil BRI Liga 1: Momen Pulang ke Rumah, PSS Sleman Malah Dihajar Dewa United
Tag
Terpopuler
- Pemutihan Pajak Kendaraan Jatim 2025 Kapan Dibuka? Jangan sampai Ketinggalan, Cek Jadwalnya!
- Emil Audero Menyesal: Lebih Baik Ketimbang Tidak Sama Sekali
- Forum Purnawirawan Prajurit TNI Usul Pergantian Gibran hingga Tuntut Reshuffle Menteri Pro-Jokowi
- 5 Rekomendasi Moisturizer Indomaret, Anti Repot Cari Skincare buat Wajah Glowing
- Kata Anak Hotma Sitompul Soal Desiree Tarigan dan Bams Datang Melayat
Pilihan
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Laga Sulit di Goodison Park: Ini Link Live Streaming Everton vs Manchester City
-
Pemain Keturunan Jawa Bertemu Patrick Kluivert, Akhirnya Gabung Timnas Indonesia?
-
Jadwal Dan Rute Lengkap Bus Trans Metro Dewata di Bali Mulai Besok 20 April 2025
-
Polemik Tolak Rencana Kremasi Murdaya Poo di Borobudur
Terkini
-
Insiden Laka Laut di DIY Masih Berulang, Aturan Wisatawan Pakai Life Jacket Diwacanakan
-
Tingkatkan Kenyamanan Pengguna Asing, BRImo Kini Hadir dalam Dua Bahasa
-
Ribuan Personel Polresta Yogyakarta Diterjunkan Amankan Perayaan Paskah Selama 24 Jam
-
Kebijakan Pemerintah Disebut Belum Pro Rakyat, Ekonom Sebut Kelas Menengah Terancam Miskin
-
Soroti Maraknya Kasus Kekerasan Seksual Dokter Spesialis, RSA UGM Perkuat Etika dan Pengawasan