Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 24 Januari 2022 | 07:30 WIB
info grafis kekerasan seksual di DIY. [ema rohimah / suarajogja.id]

KAHAM UII: TPF Harus Berperspektif Korban 

Direktur Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (KAHAM UII) Yusril Asadudin Mukav menambahkan, materi atau poin spesifik tentang penanganan kekerasan seksual yang terjadi di kos-kosan, memang bisa menjadi pokok bahasan yang ditambahkan dalam regulasi kampus. 

Kendati demikian, asalkan pelaku maupun penyintas adalah sivitas kampus, menyoal peristiwa itu terjadi di mana tidak menjadi yang utama. Urgensi yang perlu didorong adalah kebijakan sudah ada dan TPF harus melakukan tugas mereka dengan perspektif korban. 

"TPF baik dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi maupun RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus independen, berperspektif korban, bukan perspektif kampus atau pihak lain," tegasnya, Kamis (23/12/2021).

Baca Juga: RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disahkan Jadi Inisiatif DPR

Partisipasi publik dalam bentuk keterlibatan perwakilan mahasiswa juga diperlukan. Demikian juga kelompok studi feminis/gender/seksualitas dengan memerhatikan penguasaan perspektif kesetaraan gender dan keberpihakan pada korban. Khususnya dalam penyusunan mekanisme atau SOP penanganan kekerasan seksual dan pembuatan ULT khusus. 

SOP Jelas, Sederhana dengan Sanksi Tegas dan Terukur

Kampus harus didesak untuk memiliki alur mekanisme pelaporan yang diperjelas dan disederhanakan. Ada suatu unit pelayanan terpadu dalam penyediaan layanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

"Sanksi tegas, jelas, terukur dalam bentuk panduan lengkap buat perguruan tinggi. Supaya tidak ada tumpang tindih antara mekanisme dan kewenangan," tambah Yusril.

Bila suprastruktur dan infrastruktur atas kasus kekerasan seksual tidak jelas, dikhawatirkan hanya menjadi formalitas belaka. 

Baca Juga: Jasijo Kritik Polda Jatim, Tiga Tahun Tak Mampu Menangkap Putra Kiai Jombang Tersangka Kekerasan Seksual

"Budaya organisasi dengan model birokratisasi yang top-down, menghambat informasi dan pelaporan dari struktur yang lebih rendah ke yang lebih tinggi," kritik KAHAM UII lagi.

Ia mengungkap, salah satu hal yang masih menjadi pertanyaan di dalam regulasi kampus soal kekerasan seksual, yakni dikembalikannya sanksi atas regulasi tentang kekerasan seksual kepada Peraturan Disiplin Mahasiswa.

Situasi itu, membuat regulasi khusus kekerasan seksual tidak memiliki signifikansi terhadap penghapusan kekerasan seksual di dalam kampus. 

"Untuk apa kita kembalikan ke hal-hal normatif? Wong ini hal yang khusus," kata dia.

Hindari Dalih 'Demi Nama Baik Kampus'

Narasi 'solidaritas sosial' dan dalih 'demi nama baik kampus', selama ini acap kali digunakan untuk membungkam penyintas kekerasan seksual, yang kemudian berpengaruh besar pada tertutupnya akses keadilan bagi penyintas. 

Load More