Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 18 Juli 2024 | 16:29 WIB
Ketua Forum Rektor PTMA sekaligus Rektor UMY, Gunawan Budiyanto (tengah) menyampaikan paparan disela Sustainability Report 2023 di Yogyakarta, Kamis (18/7/2024). [Kontributor/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Banyak perguruan tinggi (PT) yang saat ini mengobral gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC). Tak haya tokoh tokoh, sederet politisi di Indonesia pun tak luput mendapatkan gelar kehormatan tersebut. Setiap tahun ada saja tokoh dan politisi yang mendapat gelar Dr HC.

"Banyak politikus dan tokoh yang keranjingan dengan gelar doktor hc. Tiba-tiba mereka dapat gelar Dr HC. Sekarang juga sedang keranjingan gelar profesor. Padahal profesor bukan gelar tapi jabatan akademik. Yang bukan dosen itu tidak berhak menyandang guru besar. Kalau politikus juga pingin gelar profesor, ya kita bicarakan moral dan etika," papar Ketua Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) sekaligus Rektor UMY, Gunawan Budiyanto disela Sustainability Report 2023 di Yogyakarta, Kamis (18/7/2024).

Diakui Gunawan, aturan gelar Dr HC secara umum ada. Bahkan dalam sistem pendidikan nasional (sisdiknas), pemberian gelar kehormatan tersebut merupakan kewenangan dari perguruan tinggi.

Pemberian gelar tersebut menjadi satu kehormatan jika memang diberikan kepada tokoh yang memiliki karya atau jasa yang besar. Bahkan peran mereka berdampak luar biasa bagi masyarakat.

Baca Juga: Lebih dari 24 Persen Mahasiswa Tak Lulus Tes Alquran, Kampus Muhammadiyah Kerja Keras Ajarkan Baca Tulis

Namun pada kenyataannya, banyak perguruan tinggi yang 

"Tapi kan kemudian kalau masuk ke politik rusak. Ada memang perguruan tinggi tidak memiliki kualitas yang jelas [kemudian memberikan gelar Dr HC ke politikus]. Kalau sudah sampai kepada hal-hal yang sifatnya hedonisme, itu bukan hanya gelar, [tapi] harta yang dipamerkan," tandasnya.

Gunawan menambahkan, maraknya pemberian gelar Dr HC membuat marwah institusi pendidikan pun dipertanyakan banyak pihak karena bisa saja sarat muatan politik. Apalagi bila gelar tersebut diberikan oleh kampus-kampus yang tidak memiliki kualitas bagus kepada para politikus tanpa melalui pertimbangan kompetensi maupun kualifikasi karena bersifat subyektif.

Padahal sesuai Permendikbud Nomor 21 Tahun 2013 maupun Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016, universitas pemberi gelar harus memiliki akreditasi A. 

"Karena memang itu hak dari perguruan tinggi, perkara perguruan tinggi mana tentunya kita bisa melihat kualitas dari perguruan tinggi tersebut. Sebetulnya, kalau berpikir normal saya tidak mau dikasih gelar doktor HC dari universitas abal-abal. Tapi kalau orangnya gila hormat ya no problem," imbuhnya.

Baca Juga: Ini Pertimbangan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Anulir Hukuman Mati Dua Terdakwa Mutilasi Mahasiswa UMY

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More