SuaraJogja.id - "...Di balik tembok semuanya gelap, dari balik kegelapan itu terdengar suara berat seorang lelaki".
"anak kecil! Mau apa di sini?" Asal anak kecil kok mencari Mbak Tum...Dalam kegelapan terdengar suara tawa lelaki dan perempuan. Untuk sejenak ia merasa tersinggung, sebenarnya antara tersinggung dan takut. Namun hasratnya untuk mencari mbak Tum kuat sekali..."
Petikan cerita tersebut merupakan nukilan dari cerpen bertajuk Istana Tembok Bolong karya Seno Gumira Ajidarma.
Cerpen yang terbit pada 2016 itu memotret wajah prostitusi di Yogyakarta, tepatnya di kawasan Bong Suwung pada era 1970an melalui sosok Mbak Tum.
Ya, wilayah Bong Suwung yang secara administratif terletak di Kecamatan Gedongtengen sejak lama mendapat imej sebagai salah satu kawasan prostitusi di Yogyakarta.
Merunut sejarah, kawasan yang berada di pinggiran rel kereta api tersebut mulanya merupakan areal pekuburan bagi warga Tionghoa.
Di masa Kolonial, areal tersebut sempat dipakai untuk eksekusi para begundal dan penjahat.
Kawasan yang juga dikenal dengan sebutan Ngebong atau Ngeril itu pada era 1970an kondang jadi tempat persamuhan mereka yang ingin melampiaskan hasrat seksual hingga penikmat miras.
Dikutip dari skripsi Gea Puspita Hapsari bertajuk Komparasi Ruang Kegiatan Prostitusi di Perkotaan Yogyakarta (Studi Kasus: Pasar Kembang, Bong Suwung dan Sekitar Kawasan Terminal Giwangan tahun 2015, aktivitas prostitusi di Ngebong memanfaatkan tenda hingga gubug di pinggir rel kereta api.
Baca Juga: Setelah Bong Suwung, KAI Bakal Sterilisasi Kawasan Emplasement di Daop 6
Selain sebagai lokasi prostitusi, kawasan Bong Suwung yang jadi tempat berteduhnya para pemukim liar warga miskin kota juga kerap jadi tempat perjudian.
Tak heran bila kemudian kawasan yang dicap sebagai lembah hitam ini membuat sebagian warga di masa itu tak berani melintas ke area tersebut ketika malam datang.
Sasaran Petrus
Sebagai upaya menciptakan ketertiban, ketika Rezim Orde Baru berkuasa muncul kebijakan pemberlakuan Operasi Pemberantasan Keamanan.
Operasi ini ditujukan kepada para preman, gali hingga mereka yang bertato yang dianggap sebagai perusuh dan pengganggu keamanan serta ketertiban.
Operasi yang dilakukan oleh Kopkamtib kala itu memunculkan istilah horor yang dikenal dengan Petrus atau penembakan misterius.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Sepatu Lokal Senyaman Skechers, Tanpa Tali untuk Jalan Kaki Lansia
- 9 Sepatu Puma yang Diskon di Sports Station, Harga Mulai Rp300 Ribuan
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- 5 Mobil Bekas yang Lebih Murah dari Innova dan Fitur Lebih Mewah
Pilihan
-
4 HP Snapdragon Paling Murah Terbaru 2025 Mulai Harga 2 Jutaan, Cocok untuk Daily Driver
-
Catatan Akhir Tahun: Emas Jadi Primadona 2025
-
Dasco Tegaskan Satgas DPR RI Akan Berkantor di Aceh untuk Percepat Pemulihan Pascabencana
-
6 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Terbaik untuk Pengalaman Menonton yang Seru
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
Terkini
-
Waspada! Ini 3 Titik Kemacetan Paling Parah di Yogyakarta Saat Malam Tahun Baru
-
Lestarikan Warisan Budaya Jawa, Royal Ambarrukmo Yogyakarta Hadirkan Jampi Pawukon bagi Para Tamu
-
Jogja Jadi Tourist Darling, Pujian Bertebaran di Medsos hingga Kunjungan Destinasi Merata
-
Pasar Beringharjo Diserbu Pengunjung saat Nataru, Belanja Batik dan Cicip Kuliner Jadi Favorit
-
Meski Naik dari Hari Biasa, Orderan Rental Motor Jogja Tetap Tak Seramai Tahun Lalu