Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 24 Juni 2025 | 16:37 WIB
Sejumlah wisatawan memasuki Monumen Perjuangan Rakyat Bali dengan larangan penggunaan plastik, Selasa (24/6/2025). [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Meski berbagai upaya dilakukan, sampah masih jadi persoalan serius yang harus dihadapi DIY.

Selain desentralisasi di tingkat kabupaten/kota, DPRD DIY mendesak Pemda untuk mengambil langkah tegas dalam mengatasi persoalan sampah, khususnya di kawasan wisata dan situs budaya.

Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto usai kunjungan ke Museum Perjuangan Rakyat Bali dalam rangkaian program Sinau Pancasila, Selasa (24/6/2025) mengungkapkan, Pemda DIY bisa belajar dari Pemprov Bali yang mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025, produksi dan distribusi air minum dalam kemasan plastik di bawah 1 liter juga dilarang.

Selain itu, Surat Edaran Sekretaris Daerah Bali Nomor 2 Tahun 2025 mewajibkan penggunaan tumbler dan melarang plastik sekali pakai di lingkungan instansi pemerintah dan sekolah.

Baca Juga: Kota Jogja 'Kepung' Sampah Sungai dengan Trash Barrier, Strategi Jitu atau Sekadar Pencitraan?

"Kita belajar banyak dari Bali. Museum ini tidak hanya menyampaikan nilai sejarah perjuangan, tapi juga menerapkan kebijakan lingkungan yang konkret. Tidak ada plastik di sini. Minuman disediakan dalam teko, makanan disajikan tanpa kemasan plastik, dan semua pengunjung diajak sadar akan pentingnya menjaga kebersihan," ujar dia.

Eko mengaku terinspirasi oleh kebijakan ramah lingkungan yang diterapkan Museum Perjuangan Rakyat Bali.

Selain menampilkan narasi perjuangan rakyat Bali dalam memperjuangkan kemerdekaan, museum seluas 13 hektar ini juga menjadi contoh pengelolaan kawasan budaya yang bersih dan bebas dari plastik sekali pakai.

Museum Perjuangan Rakyat Bali juga memiliki sistem lanskap terbuka yang mendukung kualitas udara dan sirkulasi oksigen di kawasan kota.

Hal ini menurut Eko dapat menjadi inspirasi penting bagi Pemda DIY, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mulai mengintegrasikan aspek lingkungan dalam pembangunan kawasan budaya.

Baca Juga: Bangun Insinerator Swadaya, Warga Kricak Kidul Sulap Sampah Residu jadi Energi

Apalagi museum bukan hanya ruang pajang sejarah. Namum juga harus menjadi ruang hidup yang selaras dengan alam.

"Kawasan ini bukan sekadar museum, tapi juga paru-paru kota. Kalau kita bicara tentang pembangunan destinasi budaya yang berkelanjutan, maka pengelolaan ruang terbuka dan bebas sampah adalah fondasi utamanya," tandasnya.

Eko menyebutkan konsep bebas plastik sangat relevan untuk diterapkan di Yogyakarta, terutama di kawasan-kawasan wisata dan situs budaya seperti Malioboro, Kotagede, dan kawasan Kraton yang selama ini masih menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah.

"Kami akan merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah DIY untuk menerapkan kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai di destinasi wisata dan budaya. Ini penting untuk menjaga citra Jogja sebagai kota budaya yang bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan," ungkapnya.

Karenanya Pemda DIY diminta tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik destinasi. Namun juga menyiapkan sistem pendukung seperti tempat sampah terpilah, fasilitas isi ulang air minum, dan edukasi berkelanjutan kepada wisatawan serta pelaku usaha.

Eko menambahkan, sudah saatnya DIY, sebagai daerah istimewa dengan status kota budaya, mengambil langkah lebih berani dalam urusan lingkungan.

Ia menilai, kebijakan larangan plastik di kawasan museum atau situs budaya bukanlah hal yang sulit, asalkan ada kemauan politik dan dukungan masyarakat.

Komisi A akan mendorong perumusan regulasi atau instruksi kepala daerah yang melarang penggunaan plastik sekali pakai secara bertahap, terutama di tempat-tempat strategis.

"Belajar dari Bali, ini sangat mungkin dilakukan," tandasnya.

Eko menambahkan pentingnya riset dan dokumentasi sejarah perjuangan kemerdekaan yang lebih mendalam di Yogyakarta.

Salah satu contoh yang ia sampaikan adalah peristiwa penangkapan Bung Karno di Yogyakarta oleh Belanda pada 29 Desember 1929, yang hingga kini belum diabadikan secara maksimal dalam bentuk museum.

Karenanya diharapkan Yogyakarta bisa menata ulang relasi antara pelestarian budaya dan pelestarian lingkungan. Sebab keduanya tak bisa dipisahkan.

"Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Jogja adalah peristiwa besar, tapi belum ada situs atau museum resmi yang membahasnya secara utuh. Ini bisa jadi proyek strategis ke depan. Kalau kita mencintai sejarah dan budaya, maka kita juga harus mencintai bumi tempat budaya itu tumbuh," ungkap dia.

Sementara Kepala UPTD Museum Bali, Ida Ayu Sutariani, menjelaskan sejak diberlakukannya kebijakan pengurangan plastik berdasarkan Surat Edaran Gubernur Bali pada Februari 2025 lalu, pihaknya secara konsisten menerapkan sistem bebas plastik di kawasan museum.

Salah satu langkah konkret adalah tidak menjual air dalam kemasan plastik berukuran kecil, serta menyediakan air minum isi ulang bagi pengunjung.

"Kami juga mengimbau pengunjung agar membawa tumbler. Agen perjalanan biasanya sudah memberi informasi bahwa makanan dan minuman tidak diperbolehkan dibawa masuk, karena kami menjaga kawasan tetap bersih," jelasnya.

Museum juga memiliki sistem pengelolaan sampah organik sendiri. Potongan rumput dari halaman museum dikumpulkan ke dalam lubang kompos sedalam dua meter, menghasilkan pupuk alami yang digunakan kembali untuk pemeliharaan taman.

Langkah ini terbukti efektif mengurangi volume sampah dan menciptakan lanskap museum yang asri.

"Selain menjaga kebersihan, ini bagian dari edukasi kepada pengunjung bahwa merawat warisan budaya juga harus sejalan dengan menjaga bumi," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More