Djaka Lodang: Jaya pada Era Kode Buntut, Menolak Punah di Zaman Pancaroba

Harapan untuk mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sempat menjadi tumpuan besar Djaka Lodang agar bisa bertahan di era modern.

Chandra Iswinarno | Husna Rahmayunita
Selasa, 03 Desember 2019 | 07:00 WIB
Djaka Lodang: Jaya pada Era Kode Buntut, Menolak Punah di Zaman Pancaroba
Ilustrasi Abdullah Purwodarsono. [Suara.com/Rendra]

Bukannya kesal, Abdullah justru senang dengan pemberitaan 'miring' tersebut. Bagi Abdullah, pemberitaan tersebut adalah iklan gratis yang bisa menaikkan pamor Djaka Lodang.

Pada masa awal kehadirannya, Djaka Lodang memilih berkantor di Taman Hiburan Rakyat (THR), Yogyakarta yang saat itu dijadikan terminal. Bukan tanpa sebab lokasi tersebut dipilih di masa-masa awal membangun citraan majalah tersebut.

“Setahun kita berkantor di THR. Orang yang naik turun bus pasti lihat ada Kantor Djoko Lodang kan kalau di sana. Jadi mereka bisa beli,” katanya.

Kemunculan Djaka Lodang kala itu pun masih berupa tabloid delapan halaman. Jenis huruf yang dipilih pun disusun menggunakan huruf Anset atau huruf tangan yang bagi banyak orang bisa menarik perhatian, meski cukup rumit.

Baca Juga:DIY Usul Materi Bahasa Jawa untuk Seleksi CPNS dan Kenaikan Pangkat

“Huruf tangan itu yang ditata satu per satu. Disusun dari kotak A, kotak B, kotak C, terus diikat. Rumit. Dan hurufnya harus beli di Pangudi Luhur Muntilan, Magelang,” ungkap Abdullah sembari menirukan huruf tangan.

Sebagai media massa yang baru terbit, Djaka Lodang memiliki satu rubrik unggulan yang hingga kini tetap legendaris, Jagading Lelembut. Rubrik yang memuat cerita mistis dan mitos ini langsung digandrungi pembaca Djaka Lodang kala itu dan bertahan hingga kini.

Banyak orang menaruh perhatian dengan cerita dalam rubrik tersebut. Bahkan, konon rubrik bertema horor ini menjadi yang pertama di dunia pers Indonesia.

Dari tabloid delapan halaman, Djaka Lodang bertransformasi menjadi selembar koran dan puncaknya berubah menjadi majalah di akhir 1978.

Obrolan dengan Abdullah masih berlanjut, namun perhatianku tertuju dengan majalah Djaka Lodang yang tergeletak di sudut mejanya, Aku meminta izin untuk mengambil dan melihat bagian sampul. Ada tulisan Aksara Jawa persis di bawah judul Djaka Lodang.

Baca Juga:Keren, Ada Angkringan di Jepang, Penjualnya Mahir Berbicara Bahasa Jawa

Abdullah menjelaskan, tulisan itu merupakan slogan Djaka Lodang berbunyi, 'Ngesti Budi Rahayu, Ngungak Mekaring Jagad Anyar' (Berusaha mencari keselamatan tanpa tertinggal informasi baru). Tulisan itu pula yang mewakili filosofi Djaka Lodang untuk terus eksis sembari memberikan informasi kepada pembaca.

Sejak awal terbit, Djaka Lodang tak hanya menarik perhatian warga lokal Yogyakarta, tapi juga pejabat di luar pulau. Abdullah bercerita, Bupati Serdang Bedagai kala itu, Sukirman, menjadi pelanggan setia karena rajin memesan 25 eksemplar tiap minggu.

“Bapak Sukirman itu juga pernah main ke kantor dua kali. Biasanya majalah yang dibeli dibagikan ke para staf mulai dari dalang, dinas pariwisata, untuk membahas hal menarik di rumah dinas,” katanya bangga.

Pelanggan Djaka Lodang di luar kota biasanya memang berasal dari kalangan transmigran. Sementara untuk area Yogyakarta, pemerintah kota pun sempat menjadi pelanggan untuk dibagikan ke sekretaris desa, namun hanya bertahan satu tahun.

Hingga akhirnya, masa kejayaan Djaka Lodang pun hadir setelah 18 tahun berdirinya, majalah tersebut memanen kejayaan bersamaan dengan zaman judi buntut di akhir 1980-an. Kala itu, oplah pembaca mencapai 10 ribu hingga 20 ribu per minggu. Banyak orang yang membeli hanya untuk membaca tafsir demi peruntungan

“Tulisan-tulisan di sini diramal katanya cocok. Saya enggak tahu caranya gimana, cocoknya di mana. Tapi banyak yang cari. Zaman waktu itu memang rodho edan (sedikit gila).”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak