![Jagading Lelembut menjadi rubrik yang digemari di Majalah Djaka Lodang sejak kali pertama beredar. [Suara.com/Husna]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/12/02/41551-rubrik-di-majalah-djaka-lodang.jpg)
Namun, seketika raut wajah pria yang sempat menjadi anggota DPRD Yogyakarta itu berubah saat disinggung tentang oplah Djaka Lodang saat ini. Sambil menggelengkan kepala, diakuinya sekarang Djaka Lodang hanya bisa menjual kurang dari 3.000 majalah tiap minggunya kepada sejumlah agen dan pelanggan setia.
“Saya bukannya nglokro (menyerah), era memang sudah berbeda. Ini bukan salah siapa-siapa. Segala macam cara sudah dilakukan tapi kita kurang tenaga. Susah cari pekerja yang bisa berbahasa Jawa,” keluh Abdulllah lirih.
Penetrasi dunia digital tak bisa dipungkiri membuat Djaka Lodang sulit menemukan kejayaannya kembali, meski tetap memesona di kalangan pembaca setia. Majalah yang dua tahun lagi berusia setengah abad ini pun masih berusaha eksis di tengah kuasa media online.
Pun bila diketik di mesin pencari Google, ada web djokolodang.co.id tapi laman itu seperti kosong di sana-sini. Hanya ada beberapa bacaan yang diunggah sejak beberapa bulan lalu, lagi-lagi karena kurang tenaga. Setelah Koeswandi meninggal di Tahun 2002, Abdullah yang dulu fokus memimpin redaksi, kini rangkap jabatan menjadi pemimpin perusahaan.
Baca Juga:DIY Usul Materi Bahasa Jawa untuk Seleksi CPNS dan Kenaikan Pangkat
Masa-masa sulit Djaka Lodang diakui Abdullah dimulai sejak 2015 silam. Kala itu, oplah menurun sementara 16 pekerja dari bagian redaksi, produksi tenaga pracetak dan administrasi harus tetap dihidupi.
Seiring dengan itu, beberapa agen yang menjadi tombak penjualan majalah tak bisa membayar sesuai waktunya. Selain itu, persoalan generasi pembaca juga turut menambah peliknya Djaka Lodang bertahan, lantaran banyak kehilangan pelanggan setia karena tutup usia.
Kini, Djaka Lodang praktis hanya mengandalkan pelanggan dan agen, tidak ada iklan atau sponsor dari luar maupun pemerintah. Rintisan untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah sebenarnya pernah dilakukan pada 1990. Saat itu, Djaka Lodang sempat diajak kerja sama Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan berpartisipasi dalam program Koran Masuk Desa (KMD). Sayangnya itu hanya bertahan setahun.
Harapan untuk mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sempat menjadi tumpuan besar Djaka Lodang agar bisa bertahan di era modern. Lantaran di Tahun 2014, Djaka Lodang sempat dianugerahi penghargaan pelestari budaya dan mendapat hadiah Rp 15 juta bersama majalah Jawa lainnya seperti Jampi Asli dan Omah Dhuwur.
Namun sayang, penghargaan itu kini hanya menjadi pajangan yang hanya bisa untuk dikenang di ruang kerja Abdullah.
Baca Juga:Keren, Ada Angkringan di Jepang, Penjualnya Mahir Berbicara Bahasa Jawa
“Ya kalau pemerintah mau memberi perhatian, ya syukur alhamdulillah. Tapi kita enggak bisa berharap banyak,” kata Abdullah.
Optimisme Redaksi
Seiring sinar matahari yang mulai menyengat di siang itu, Abdullah mengantarkanku keluar ruangan. Selepas itu, ia kembali ke tempat nyamannya. Empat kursi di ruang redaksi masih kosong karena waktu menunjukan jam istirahat karyawan. Aku memilih keluar sejenak sembari mencari angin di halaman Djaka Lodang yang sepi dari kendaraan.
![Tampilan dalam Majalah Djaka Lodang yang masih menyajikan rubrik serupa sejak tahun 2003 silam. [Suara.com/Husna]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/12/02/24924-tampilan-dalam-majalah-djaka-lodang.jpg)
Sejak tahun 1990, Djaka Lodang berkantor di bangunan dekat Alun-Alun Kidul Kota Yogyakarta. Bila dilihat dari luar, bangunan ini menua bersama pendiri dan pekerja Djaka Lodang. Tak sulit bagi siapa pun menemukan kantor Djaka Lodang.
Selang 15 menit, aku menemui Suhidriyo, Redaktur Pelaksana Majalah Djaka Lodang. Dengan ramah, Suhidriyo mempersilakanku duduk di hadapannya, di ruang redaksi yang bersebelahan dengan ruang kerja Abdullah.
Sambil tersenyum, pria 66 tahun itu mengaku resmi menjadi Redaktur Djaka Lodang sejak 2013. Sebelumnya Suhidriyo berprofesi sebagai guru. Semasa mengabdi menjadi guru, ia hanya menjadi kontributor lapangan yang kerap mengirim tulisan sejak 1985.