Djaka Lodang: Jaya pada Era Kode Buntut, Menolak Punah di Zaman Pancaroba

Harapan untuk mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sempat menjadi tumpuan besar Djaka Lodang agar bisa bertahan di era modern.

Chandra Iswinarno | Husna Rahmayunita
Selasa, 03 Desember 2019 | 07:00 WIB
Djaka Lodang: Jaya pada Era Kode Buntut, Menolak Punah di Zaman Pancaroba
Ilustrasi Abdullah Purwodarsono. [Suara.com/Rendra]

Sejak awal terbit, Djaka Lodang tak hanya menarik perhatian warga lokal Yogyakarta, tapi juga pejabat di luar pulau. Abdullah bercerita, Bupati Serdang Bedagai kala itu, Sukirman, menjadi pelanggan setia karena rajin memesan 25 eksemplar tiap minggu.

“Bapak Sukirman itu juga pernah main ke kantor dua kali. Biasanya majalah yang dibeli dibagikan ke para staf mulai dari dalang, dinas pariwisata, untuk membahas hal menarik di rumah dinas,” katanya bangga.

Pelanggan Djaka Lodang di luar kota biasanya memang berasal dari kalangan transmigran. Sementara untuk area Yogyakarta, pemerintah kota pun sempat menjadi pelanggan untuk dibagikan ke sekretaris desa, namun hanya bertahan satu tahun.

Hingga akhirnya, masa kejayaan Djaka Lodang pun hadir setelah 18 tahun berdirinya, majalah tersebut memanen kejayaan bersamaan dengan zaman judi buntut di akhir 1980-an. Kala itu, oplah pembaca mencapai 10 ribu hingga 20 ribu per minggu. Banyak orang yang membeli hanya untuk membaca tafsir demi peruntungan

Baca Juga:DIY Usul Materi Bahasa Jawa untuk Seleksi CPNS dan Kenaikan Pangkat

“Tulisan-tulisan di sini diramal katanya cocok. Saya enggak tahu caranya gimana, cocoknya di mana. Tapi banyak yang cari. Zaman waktu itu memang rodho edan (sedikit gila).”

Jagading Lelembut menjadi rubrik yang digemari di Majalah Djaka Lodang sejak kali pertama beredar. [Suara.com/Husna]
Jagading Lelembut menjadi rubrik yang digemari di Majalah Djaka Lodang sejak kali pertama beredar. [Suara.com/Husna]

Namun, seketika raut wajah pria yang sempat menjadi anggota DPRD Yogyakarta itu berubah saat disinggung tentang oplah Djaka Lodang saat ini. Sambil menggelengkan kepala, diakuinya sekarang Djaka Lodang hanya bisa menjual kurang dari 3.000 majalah tiap minggunya kepada sejumlah agen dan pelanggan setia.

“Saya bukannya nglokro (menyerah), era memang sudah berbeda. Ini bukan salah siapa-siapa. Segala macam cara sudah dilakukan tapi kita kurang tenaga. Susah cari pekerja yang bisa berbahasa Jawa,” keluh Abdulllah lirih.

Penetrasi dunia digital tak bisa dipungkiri membuat Djaka Lodang sulit menemukan kejayaannya kembali, meski tetap memesona di kalangan pembaca setia. Majalah yang dua tahun lagi berusia setengah abad ini pun masih berusaha eksis di tengah kuasa media online.

Pun bila diketik di mesin pencari Google, ada web djokolodang.co.id tapi laman itu seperti kosong di sana-sini. Hanya ada beberapa bacaan yang diunggah sejak beberapa bulan lalu, lagi-lagi karena kurang tenaga. Setelah Koeswandi meninggal di Tahun 2002, Abdullah yang dulu fokus memimpin redaksi, kini rangkap jabatan menjadi pemimpin perusahaan.

Baca Juga:Keren, Ada Angkringan di Jepang, Penjualnya Mahir Berbicara Bahasa Jawa

Masa-masa sulit Djaka Lodang diakui Abdullah dimulai sejak 2015 silam. Kala itu, oplah menurun sementara 16 pekerja dari bagian redaksi, produksi tenaga pracetak dan administrasi harus tetap dihidupi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini