Seiring dengan itu, beberapa agen yang menjadi tombak penjualan majalah tak bisa membayar sesuai waktunya. Selain itu, persoalan generasi pembaca juga turut menambah peliknya Djaka Lodang bertahan, lantaran banyak kehilangan pelanggan setia karena tutup usia.
Kini, Djaka Lodang praktis hanya mengandalkan pelanggan dan agen, tidak ada iklan atau sponsor dari luar maupun pemerintah. Rintisan untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah sebenarnya pernah dilakukan pada 1990. Saat itu, Djaka Lodang sempat diajak kerja sama Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan berpartisipasi dalam program Koran Masuk Desa (KMD). Sayangnya itu hanya bertahan setahun.
Harapan untuk mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sempat menjadi tumpuan besar Djaka Lodang agar bisa bertahan di era modern. Lantaran di Tahun 2014, Djaka Lodang sempat dianugerahi penghargaan pelestari budaya dan mendapat hadiah Rp 15 juta bersama majalah Jawa lainnya seperti Jampi Asli dan Omah Dhuwur.
Namun sayang, penghargaan itu kini hanya menjadi pajangan yang hanya bisa untuk dikenang di ruang kerja Abdullah.
Baca Juga:DIY Usul Materi Bahasa Jawa untuk Seleksi CPNS dan Kenaikan Pangkat
“Ya kalau pemerintah mau memberi perhatian, ya syukur alhamdulillah. Tapi kita enggak bisa berharap banyak,” kata Abdullah.
Optimisme Redaksi
Seiring sinar matahari yang mulai menyengat di siang itu, Abdullah mengantarkanku keluar ruangan. Selepas itu, ia kembali ke tempat nyamannya. Empat kursi di ruang redaksi masih kosong karena waktu menunjukan jam istirahat karyawan. Aku memilih keluar sejenak sembari mencari angin di halaman Djaka Lodang yang sepi dari kendaraan.
Sejak tahun 1990, Djaka Lodang berkantor di bangunan dekat Alun-Alun Kidul Kota Yogyakarta. Bila dilihat dari luar, bangunan ini menua bersama pendiri dan pekerja Djaka Lodang. Tak sulit bagi siapa pun menemukan kantor Djaka Lodang.
Selang 15 menit, aku menemui Suhidriyo, Redaktur Pelaksana Majalah Djaka Lodang. Dengan ramah, Suhidriyo mempersilakanku duduk di hadapannya, di ruang redaksi yang bersebelahan dengan ruang kerja Abdullah.
Baca Juga:Keren, Ada Angkringan di Jepang, Penjualnya Mahir Berbicara Bahasa Jawa
Sambil tersenyum, pria 66 tahun itu mengaku resmi menjadi Redaktur Djaka Lodang sejak 2013. Sebelumnya Suhidriyo berprofesi sebagai guru. Semasa mengabdi menjadi guru, ia hanya menjadi kontributor lapangan yang kerap mengirim tulisan sejak 1985.