Cerita Petugas Pengambil Swab RSUD Wates, Dibuat Tak Bisa Tidur Semalaman

Wiwin merupakan satu di antara ribuan tenaga medis yang harus menempuh risiko besar berhadapan dengan Covid-19

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 05 Mei 2020 | 19:16 WIB
Cerita Petugas Pengambil Swab RSUD Wates, Dibuat Tak Bisa Tidur Semalaman
Petugas swab RSUD Wates, Wiwin Sulistyawati. [Istimewa]

SuaraJogja.id - Jika saat ini semua orang berupaya sedemikian rupa untuk melindungi diri dengan menghindari Covid1-9, tidak dengan yang dilakukan petugas swab di rumah sakit. Mereka berani menghadapi risiko dengan mendekati langsung sumber virus itu untuk mengambil sampel dari tenggorokan dan lubang hidung.

Salah satunya seperti yang harus dijalani petugas swab RSUD Wates, Wiwin Sulistyawati. Ia menuturkan dengan tingginya risiko yang dihadapi ia setidaknya harus melakukan perlindungan berlapis. Di antaranya memakai tiga setel baju dalam proses pengambilan swab. Satu setel pakaian operasi, satu setel Alat Pelindung Diri (APD) lengkap dan satu setelan jubah.

Tak hanya itu, perlengkapan berlapis juga dikenakan untuk pelindung tangan hingga mata. Mulai dari sarung tangan yang menutup hingga lengan hingga mengenakan kacamata khusus dilapis Face Shield.

"Kurang lebih butuh waktu setengah jam, hanya untuk melakukan semua persiapan pengambilan swab itu," ujar Wiwin Sulistyawati, Selasa, (5/5/2020).

Baca Juga:Kulon Progo Belum Rencanakan Rapid Test COVID-19 Massal, Ini Alasannya

Berpasrah dengan disertai doa adalah hal wajib yang Wiwin lakukan sebelum masuk ke ruang isolasi. Berbekal satu kotak peralatan yang dibawa masuk, ia harus selalu menguatkan hati untuk tak ragu ketika menghadapi pasien Covid-19.

Biasanya, estimasi waktu yang dibutuhkan Wiwin untuk mengambil sampel dari hidung dan tenggorokan berkisar antara lima menit paling cepat dan 10 menit paling lama. Semua itu tergantung kondisi pasien.

Wiwin mengaku pernah mengambil swab sebanyak empat pasien dalam sehari. Dari pasien satu ke pasien lainnya itu Wiwin harus mengganti sarung tangan lapisan ketiga tiap mengambil swab.

"Masuk pukul 08.00 WIB bisa baru keluar pukul 10.00 WIB, tidak jarang basah kuyub oleh keringat," kata Wiwin. 

Ditegaskan Wiwin bahwa pengambilan swab bukan perkara yang sepele. Pengambilan sampel yang tidak tepat akan sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.

Baca Juga:Ingin Menu Gurih Buka Puasa? 3 Kuliner Kulon Progo Ini Bisa Jadi Pilihan

Selain kesiapan petugas swab, ketenangan pasien jadi salah satu kunci mulusnya pengambilan sampel. Kesulitan yang sering Wiwin alami adalah ketika kondisi pasien tidak rileks. Saat mengambil sampel dihidung, kondisi pasien yang tidak tenang juga membuat otot hidung seolah menutup sehingga dacron swab tak sampai masuk ke titik dalam.

"Kalau tidak tenang, mau ambil swab ditenggorokan nanti lidah pasien seperti refleks tidak mau menjulur keluar, kalau kondisinya seperti itu dacron swab tidak bisa mentok sampai dalam," jelasnya.

Perempuan 41 tahun itu berkisah menjadi petugas yang mengambil sampel swab merupakan pengalaman paling menantang dalam kariernya. 

Ia mengungkapkan saat pertama kali bertugas mengambil sampel swab, pasien yang dihadapinya adalah balita. Ia mengaku itu pengalaman mendebarkan apalagi selama mengikuti pelatihan pasien yang dihadapinya bukan pasien Covid-19 dan hanya sebuah manekin untuk simulasi.

"Baru pertama terus tiba-tiba pasien yang harus saya swab adalah balita, setelah ambil swab malamnya saya tidak bisa tidur, cemas juga takut kalau salah," ujarnya. 

Dulu bila merujuk protokol awal, Wiwin harus mengambil swab dua hari sekali. Namun menurut protokol yang baru, pengambilan swab hanya dilakukan di hari ke-1 dan ke-2 lalu ke-15 dan ke-16. Sudah tak terhitung Wiwin mengambil swab dari para pasien di ruang isolasi. 

Wiwin menuturkan beberapa pasien yang pernah ia ambil swabnya sempat mengeluh sakit. Bagaimana tidak sebilah batang berukuran 10 cm masuk ke 2/3 lubang hidung dan juga dijulurkan masuk ke dalam tenggorokan.

Bagi pasien dewasa mungkin Wiwin bisa berkomunikasi untuk lebih menenangkan pasien tersebut. Namun hal berbeda harus dihadapinya ketika berhadapan dengan balita berumur empat bulan yang belum bisa diajak berkomunikasi.

"Saya ingat waktu ambil swab pada balita, dia nangis, tapi mau tidak mau ya tetap harus tetap dilakukan," ujar Wiwin. 

Untuk mengatasi rasa lelahnya Wiwin tak jarang butuh mandi hingga empat kali. Baru setelah itu ia bisa langsung beristirahat untuk melanjutkan tugas di hari berikutnya.

"Apalagi kalau puasa seperti ini, selepas ambil swab dengan baju dobel-dobel rasanya haus, padahal masih pagi," ucapnya. 

Rasa lelah dan perjuangan Wiwin seakan terbayar tuntas bila mendapati pasien yang sempat ia ambil swabnya telah sembuh. Ia merasa senang karena turut membantu menyelamatkan hidup seseorang. 

Seperti kasus balita empat bulan yang setiap dua hari sekali Wiwin ambil sampelnya dari rongga hidung dan tenggorakannya. Selama kurang lebih sepuluh kali Wiwin harus mengambil sampel dibarengan oleh isak tangis dari si bayi. Bayi tersebut akhirnya berhasil dinyatakan sembuh setelah 21 hari perawatan di RSUD Wates.

"Rasanya terharu mas saat pasien bayi itu akhirnya dinyatakan sembuh," ungkap Wiwin.

Setiap sampel yang diambil akan dimasukkan ke dalam tabung reaksi media spesifik, ditutup dengan berlapis-lapis penutup dalam box ice untuk selanjutnya dikirim dan dicek di Laboratorium Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit Yogyakarta. Butuh dua kali hasil negatif dari hasil tes swab untuk seorang pasien Covid-19 dinyatakan sembuh.

Mengingat betapa beratnya tugas yang dihadapi petugas medis sepertinya, Wiwin pun berharap besar kepada seluruh masyarakat agar mematuhi segala aturan dan kebijakan yang digalakkan pemerintah termasuk untuk melakukan physical dan social distancing, Sebab, dengan tertib mengikuti imbauan pemerintah, secara tidak langsung masyarakat juga turut membantu para tenaga medis memerangi Covid-19.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak