SuaraJogja.id - Istilah delirium muncul dan disebut-sebut sebagai gejala baru COVID-19 yang bisa nampak pada pasien lansia. Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo menjelaskan, delirium berkaitan erat dengan penurunan kesadaran. Delirium bisa terjadi pada berbagai penyakit.
"Kalau untuk COVID-19, selama ini belum menjadi gejala utama atau gejala khas kecuali kalau tahap berat. Bisa antara lain karena hipoxia, kekurangan oksigen di otak," kata dia, Jumat (11/12/2020).
Delirium, sebut Joko, bisa muncul pada pasien COVID-19 berat dan bukan hanya pada lansia. Hanya saja, dengan kondisi saat ini, di mana banyak pasien asimtomatik (OTG) dirawat tidak di rumah sakit, maka delirium tak kalah membutuhkan perhatian.
Hanya bedanya, orang dengan gejala (simtomatis) dirawat di RS, walau delirium maka tidak masalah. Ada yang mengawasi dan menangani.
Baca Juga:Sakit Mata dan Berair, Awas Bisa Jadi Gejala Covid-19
"Tapi kalau dia delirium, dan dirawat di rumah, bisa jadi tidak tertangani. Karena kaitannya dengan tingkat kesadaran, biasanya untuk mengukurnya dengan dicubit saja. Kalau dia masih merasa sakit berarti tidak delirium," ujarnya.
Sedangkan, kalau pasien sudah tidak merasa sakit, ia perlu dibawa ke dokter agar diperiksa dengan cara ditusuk-tusuk alat tertentu untuk mengecek bisa tidaknya pasien merasakan sakit.
Sementara ini, gejala yang menonjol pada pasien COVID-19 di Sleman adalah kehilangan kemampuan penciuman dan pengecapan.
Contohnya saja, kasus klaster pendidikan berasrama yang beberapa waktu lalu terjadi di Sleman. Gejala khas yang ditemukan dari para pasien adalah kehilangan kemampuan penciuman.
Kalau contoh di kelompok pendidikan berasrama, gejala khas kehilangan indra penciuman terjadi pada banyak pasien. Setelah dilakukan tes, 95% dari pasien dengan gejala kehilangan penciuman dan pengecapan merupakan pasien positif COVID-19.
Baca Juga:Gejala Delirium Covid-19 Jadi Candaan Warganet: Kayak Orang Depresi Ya?
"Kami terus menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat, tentang gejala COVID-19, yang harus diwaspadai bukan hanya batuk dan pilek, tapi kehilangan penciuman dan rasa juga," ungkap Joko.
Bahkan ia mengimbau, bila masyarakat merasakan kehilangan kemampuan membau atau mengecap, walau hanya sehari, lebih baik segera memeriksakan diri ke dokter.
"Karena itu sudah gejala lanjut COVID-19, bukan sekadar gejala ringan lagi," terangnya.
Diperkirakan, gejala tersebut akan menghilang sendirinya setelah pasien mengikuti isolasi mandiri selama 10 hari.
Ada 5.000 Nakes se-Sleman
Kala ditanyai perihal vaksin, Joko Hastaryo mengungkapkan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu informasi lebih lanjut kuota vaksin yang menjadi jatah Sleman.
Namun demikian, pihaknya sudah mendata, menyiapkan SDM, dan tempat untuk mengelola vaksin bila vaksin itu telah tiba di Sleman.
"Walaupun masih belum tahu, jenis vaksin apa yang akan tiba nanti," ucapnya.
Mengetahui akan memberikan prioritas kepada nakes, Joko mendata ada sekitar 5.000 nakes se-Sleman. Mereka merupakan nakes yang bertugas di rumah sakit, puskesmas, hingga klinik.
Namun, bila hanya menghitung nakes yang bertugas di RS pemerintah dan puskesmas, maka jumlahnya 1.500 orang.
Menurut Joko, bila nantinya seluruh nakes telah mendapatkan vaksin, prioritas kedua pihak-pihak yang perlu mendapatkan vaksin dari pemerintah adalah orang-orang yang bekerja di pelayanan dan kerap bertemu langsung dengan banyak orang. Misalnya TNI, Polri, tenaga pelayanan, pegawai pelayanan di terminal, petugas bandara, petugas pelabuhan.
Sleman Belum Siap Pembelajaran Tatap Muka
Joko Hastaryo mengatakan, dari evaluasi Dinkes, Sleman dinilai masih belum siap menyelenggarakan pembelajaran tatap muka karena tingkat penularan masih tinggi, seperti 9 provinsi lainnya, termasuk DI Yogyakarta.
Hanya saja Dinkes Sleman tak bisa lebih banyak berkomentar, karena dimulainya tatap muka pada Januari 2021 adalah kebijakan nasional. Yang bisa dilakukan Dinkes hanyalah meminta penerapan protokol kesehatan secara ketat.
"Kalau kita siap menerima kenyataan pasien nambah terus, ya silakan. Ya tenaga kesehatan habis-habisan," ungkapnya, Jumat.
Kala ditanya kondisi nakes Sleman saat ini, Joko mengatakan secara umum nakes telah merasa lelah. Sedikit yang patut disyukuri, nakes saat ini lebih berhati-hati dalam merawat pasien COVID-19, sehingga nakes terpapar COVID-19 dari pasiennya jumlahnya sudah lebih sedikit.
Yang saat ini menjadi persoalan yakni jumlah APD nakes yang kurang karena terus terpakai. Namun jumlahnya masih dapat mencukupi kebutuhan hingga akhir Desember 2020.
"Kami berusaha terus untuk melalukan pengadaan. Tapi karena 2020 mau berakhir, jadi kami menunggu 2021 dan harus mengikuti prosedur mekanisme yang ada," ungkap Joko.
APD yang paling dibutuhkan nakes saat ini antara lain hazmat, masker N95, faceshield, kacamata Google, sarung tangan lateks, hingga sepatu boot. Sedangkan untuk APD level 2 yaitu gaun, masker medis, faceshield.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Sleman Ery Widaryana menuturkan, diperkirakan pembelajaran tatap muka di Sleman dimulai pada 6 Januari 2021.
Namun, sekolah tatap muka di 2021 hanya akan dilakukan saat sekolah sudah siap, mulai dari sarana prasarana; pengaturan kapasitas kelas yang tidak boleh lebih dari 50%; mengatur alur keluar masuk siswa; serta mendapatkan izin rekomendasi dari orang tua siswa.
Nantinya, pembelajaran tatap muka dimungkinkan akan dilakukan dua hari dalam sepekan, dengan waktu yang juga dibatasi dan kerapatan jadwal pelaksanaan akan diterapkan bertahap.
Sejauh ini, mayoritas sekolah di Sleman baik SD dan SMP siap untuk menyelenggarakan tatap muka karena Disdik telah meminta sekolah untuk mempersiapkan diri.
Kontributor : Uli Febriarni