SuaraJogja.id - Pandemi Covid-19 masih berlangsung dan menjadi masalah yang luar biasa di berbagai wilayah. Ketahanan pangan selalu digaungkan oleh pemerintah dalam menghadapi kondisi krisis semacam ini.
Namun bagi To Suprapto, atau pria yang akrab disapa Pak To oleh warga setempat, ada yang lebih utama dari ketahanan pangan. Artinya, yang menjadi hal utama bukanlan ketahanan pangan, melainkan kemandirian pangan hingga menuju kepada kedaulatan pangan yang terpenting.
"Konsepnya dari ketahanan pangan menjadi kemandirian pangan. Syukur bisa menjadi kedaulatan pangan. Kalau ketahanan pangan saja asal bisa makan, tapi beli, atau bisa makan, tapi impor. Kalau mandiri pangan itu kearifan lokal. Tanam apa yang kita makan, makan apa yang kita tanam," kata Pak To saat ditemui SuaraJogja.id di rumahnya di Jalan Godean KM 9, Mandungan 1, Margoluwih, Seyegan, Sleman, Minggu (27/12/2020).
Pak To bukan orang asing di dalam dunia pertanian Indonesia. Kiprah pertaniannya, baik di Indonesia hingga menuju berbagai belahan dunia, tak perlu diragukan lagi.
Baca Juga:Tugu Virus Corona di Pekanbaru
Diceritakan Pak To bahwa sebenarnya ia dulu berlatar belakang sebagai seorang pendidik milik Yayasan Probosutedjo, adik mantan Presiden RI Soeharto. Selain itu, ia juga merupakan pemain sepak bola aktif di klub PSIM Yogyakarta hingga ke PSS Sleman.
Bahkan ia juga pernah merasakan menjadi wasit. Namun, kesukaan atau hobinya dengan tanaman didukung dengan profesinya sebagai guru pertanian, ia menjadi lebih intens lagi menekuni bidang tersebut.
"Pada tahun 1989 saya ikut program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang diselenggarakan oleh pemerintah kerja sama dengan FAO. Saya angkatan pertama," katanya.
Dari situ, langkah di bidang pertaniannya makin menguat. Program yang berlangsung selama 10 tahun itu akhirnya berakhir. Tercetuslah pikiran untuk melakukan swadaya pertanian.
Setelah melewati proses rembug atau diskusi yang penjang, muncul sebuah wadah bernama Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Organisasi ini lahir dari petani dan dikelola sendiri oleh petani secara mandiri.
Baca Juga:Abai Tangani Pandemi, Bupati Probolinggo Ancam Tunda Pencairan Dana Desa
Singkat cerita, setelah berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia untuk berbagi kiat-kiat pertanian, Pak To memutuskan kembali ke rumahnya sendiri untuk mendirikan wahana pembelajaran pertanian terpadu yang kini dikenal sebagai Joglo Tani.
"Joglo Tani berdiri tahun sejak 2008 lalu dengan membuat konsep untuk kemandirian pangan melalui konsep lumbung pangan mataraman," jelasnya.
Menyikapi kemunculan pandemi Covid-19 di tahun 2020 ini, Pak To tidak memungkiri, banyak masyarakat yang terdampak, mulai dari bertahan agar tidak sakit hingga bertahan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi.
Namun di sisi lain, kegiatan harus sangat dibatasi guna mengantisipasi penyebaran virus corona itu sendiri, mulai dari peniadaan kerumunan, pemangkasan pekerja atau PHK secara sepihak, atau juga dengan pengurangan shift bekerja yang membuat gajinya terpotong.
"Mereka tetap butuh makan. Maka dari itu kreativitas harus selalu mereka munculkan meskipun hanya di rumah saja. Kreativitas dengan berpikir bagaimana kebutuhan pokok bisa terpenuhi," ucapnya.
Menurutnya, sekarang ini orang masih banyak yang mengandalkan memenuhi kebutuhan dengan membeli saja. Padahal selain kebutuhan pokok, banyak kebutuhan tambahan lain yang perlu untuk diperhatikan juga.
Sedangkan kondisi perekonomian sedang kurang baik akibat dampak dari pandemi Covid-19. Tak jarang pengeluaran lebih banyak dibandingkan pemasukan.
"Tapi sekarang ini, mulai 2020 sejak pandemi Covid-19 menyerang, banyak sekali orang yang tertarik untuk berkreativitas atau tidak malas lagi dengan pertanian. Tidak hanya bagi masyarakat desa, tapi juga masyarakat kota pun punya kreativitasnya sendiri," ungkapnya.
Disampaikan Pak To, peningkatan itu terlihat dari gerakan ibu-ibu PKK lalu melalui kelompok di tingkat RT/RW di perkotaan. Selain itu, ada juga anak-anak muda. Joglo Tani sendiri masih membuka pelatihan untuk para anak muda yang ingin PKL atau magang.
"Semakin meningkat untuk pembelajaran juga kita saat ini juga gunakan sistem daring. Selain mereka yang datang langsung dan kita yang mendatangi mereka, tapi memang kalau dilakukan secara langsung dan melakukan bisa lebih ingat. Semakin menjamur gencar juga itu ibu-ibu," tuturnya.
Pak To menyebutkan, sekarang masyarakat mulai melihat dan merasakan sendiri bahwa pertanian menjadi sektor yang penting bagi kehidupan. Kalau dulu masyarakat masih cenderung menyepelekan pertanian.
"Kalau dihitung dari kedatangan orang yang ke sini [Joglo Tani], misal setiap bulan ada sekitar seribu orang atau sekitar 40 persen. Sekerang bisa makin naik menjadi 60-70 persen. Sebab mereka merasa ada kebutuhan di situ," terangnya.
Lahan terbatas di perkotaan, kata Pak To, sudah bukan menjadi masalah besar lagi sekarang ini. Hal yang terpenting adalah sudah menentukan terlebih dulu ingin mandiri apa.
Pak To mencontohnya semisal sayuran. Dengan lahan vertikal pun sekarang sayuran bisa tumbuh dengan baik. Melalui lahan satu meter, misalnya dapat dibuat untuk budidaya lele dengan di atasnya adalah sayuran.
"Orang kota sudah punya niatan, mau nanam padi di tengah kota juga bisa kok hanya saja yang harus dicari ilmu-ilmunya itu. Kriteria orang itu ada tiga yakni kagum, terkejut, ikut-ikutan, nah kagum itulah yang akan menjadi modal utama keinginan itu muncul. Harus ada greget sendiri," cetusnya.
Menurutnya program ketahanan pangan yang sejauh ini selalu dicanangkan pemerintah hanya sebatas pemberian bantuan saja. Baik itu dalam bentuk sembako atau uang tunai yang itu semua tidak bisa terus diandalkan setiap waktu.
Pak To menyoroti bahwa modal perubahan sikap, yang didukung dengan pemahaman yang baik akan mengubah kondisi masyarakat itu sendiri. Nantinya akan disusul oleh ketrampilan yang ada untuk meningkatkan sumber daya manusia, serta manajemen pengelolaan yang baik.
"Kalau ketahanan pangan dari pemerintah dengan bantuan sosial saja bisa berapa tahun akan seperti ini terus. Kenapa tidak diberikan kegiatan yang produktif untuk masyarakat. Jadi bukan untuk dimakan atau dikonsumsi langsung habis tapi ada yang dilakukan secara sustainable," tandasnya.