SuaraJogja.id - Kasus kematian pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di DIY masih terus bertambah. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir kasus meninggalnya pasien Covid-19 itu melonjak cukup tinggi.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut berdampak kepada ketersediaan peti mati. Hal itu terbukti dari sejumlah rumah sakit yang hingga saat ini masih terus membutuhkan pasokan peti mati.
Kebutuhan peti mati memang diperlukan dalam situasi pandemi Covid-19 sekarang ini. Sebab berdasarkan prosedur ketetapan yang sudah ada, jenazah pasien Covid-19 wajib untuk dimasukkan ke dalam peti mati sebelum disemayamkan.
Melihat situasi krisis ini, sekelompok orang yang tergabung dalam relawan alumni Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) tergerak untuk memberi bantuan. Namun bantuan yang diberikan bukan dalam bentuk donasi uang melainkan ikut menyumbang pembuatan peti mati.
Baca Juga:BEM KM UGM Gagas Etalase Nasi Gratis Bantu Warga Terdampak Pandemi, Ini Dia Lokasinya
Herlambang Yudho Dharmo (57) yang merupakan juru bicara relawan alumni gelanggang mahasiswa UGM mengatakan gerakan ini bukan berfokus kepada donasi atau penggalangan dana. Melainkan pihaknya lebih berfokus kepada pengadaan peti mati itu sendiri.
"Jadi tekanannya kepada pengadaan peti bukan kita cari. Memang basisnya pada donasi tapi kami lebih ke pengadaan petinya. Kalau donasi itu nanti kita bisa membelanjakan untuk peti jadi. Tapi kita donasi untuk membeli bahan yang langsung kita buat menjadi peti begitu," kata Herlambang saat dihubungi awak media, Jumat (9/7/2021).
Herlambang menceritakan bahwa ide awal gerakan pengadaan peti ini muncul cukup spontan. Bermula dari seorang rekannya bernama Capung Indrawan yang mendapat infomasi bahwa ada banyak pasien Covid-19 meninggal dunia.
Dengan begitu banyaknya pasien Covid-19 yang meninggal itu maka diwajibkan pula pemulasaraan jenazah hingga pemakaman harus dilakukan dengan protokol Covid-19. Namun di saat yang bersamaan ketersediaan peti mati sebagai satu ketentuan pemakaman jenazah pasien Covid-19 malah semakin menipis.
"Kalau krisis [peti mati] itu ya pemakaman tertunda. Jadi jenazah yang sudah [siap dimakamkan] ditahan lebih dari dua jam di rumah sakit dan itu akan terus bertambah dan menumpuk," ujarnya.
Baca Juga:UGM Sulap Wisma MIC Jadi Shelter Pasien Covid-19 Bergejala Ringan, Kapasitas 136 Orang
Herlambang melanjutkan kondisi itu yang membuat mereka prihatin. Terkhusus kepada para tenaga kesehatan yang ada di sana untuk mengurus para jenazah tersebut.
"Kami mengkhawatirkan juga secara psikologis mereka juga akan tertanggu, itu kasihan sekali," tambahnya.
Dari keprihatinan itu, kata Herlambang, mereka bersepakat untuk akhirnya mencoba membuat peti mati sendiri. Langkah ini terbilang cukup nekat sebab tidak ada relawan dari Alumni Gelanggang UGM itu yang mempunyai pengalaman terkait dengan perkayuan apalagi sampai membuat peti mati.
Hanya bermodal dengan alat-alat yang telah dimiliki rekannya Capung tadi. Ditambah juga dengan adanya bahan kayu yang dibutuhkan untuk membuat peti mati.
Akthinya mereka mulai membuat satu peti mati yang dijadikan sebagai contoh awal. Dari satu peti mati yang berhasil dibuat itu kemudian dievaluasi untuk terus memperbaiki kualitas peti mati buatan mereka.
"Kita jadikan satu contoh [peti mati] kemudian kita evaluasi mana yang kurang ini itu, untuk efisiensi bahan dan biaya supaya donasi yang masuk betul-betul bermanfaat dan bisa menjadi sebanyak mungkin peti," tuturnya.
Disebutkan Herlambang, proses pembuatan peti mati itu sudah dimulai sejak empat hari yang lalu. Hingga sekarang setidaknya sudah ada lebih dari 30 peti mati yang berhasil mereka buat.
Ia tidak bisa memastikan berapa jumlah peti mati yang berhasil dibuat dalam satu harinya. Namun semakin hari pekerjaan pembuatan peti itu semakin efisien.
"Total sampai hari ini mungkin 30 peti lebih. Tapi itu juga tidak dibagi rata, setiap hari. Hari pertama cuma 5 atau 6 peti. Hari kedua tiba-tiba 15 peti, hari ini ngga tahu itu udah berapa tumpuk. Sebagian ada di Damkar karena nanti distribusi dari Damkar UGM," terangnya.
Herlambang menuturkan jika diakumulasi sejauh ini maka sudah ada belasan sampai puluhan orang yang terlibat dalam pembuatan peti-peti itu. Namun jumlah keterlibatan orang saat membuat peti itu juga tidak bisa dipastikan setiap harinya.
Pertama karena kesibukan masing-masing orang yang ada di sana. Kedua, pihaknya juga menghargai kegiatan orang-orang yanh terlibat di situ. Dalam artian mereka mempunyai ukuran tersendiri dalam bekerja dan kegiatan di luar.
"Yang tetap di sini 4-5 orang lah termasuk mas Capung," imbuhnya.
Selain alumni Gelanggang Mahasiswa UGM yang datang untuk membantu. Ada pula berbagai kalangan yang turut serta membantu proses pembuatan peti tersebut.
Mulai dari aktivis fakultas, dosen, filmmaker, sutradara hingga orang-orang di luar UGM datang untuk menawarkan diri untuk membantu membuat peti.
"Latar belakang saya juga bukan tukang kayu. Malah ada filmmaker, sutradara datang ke sini ya ngamplas kemudian ngecat itu ada seniman, ada juga yang cuma sekadar ngangkut ke mobil. Jadi tidak ada komando yang kaku sekali. Mereka melihat sendiri kemudian apa yang bisa dibantu," ungkapnya.
Terkait dengan donasi sendiri, Herlambang menjelaskan bahwa ia juga hanya mengandalkan getok tular atau komunikasi berantai atau mulut ke mulut saja. Kemudian ditambah dengan memanfaatkan sosial media yang dimiliki.
Namun memang, ia menyatakan bahwa pihaknya tidak secara langsung membuka donasi tersebut.
"Tidak ngomong minta donasi tapi kemudian ada yang memberikan donasi, bukan apa-apa, bukan kami tidak butuh donasi, open donasi itu saya takutnya kalau tidak terkendali kami tidak mampu memenuhi kami juga berat. Tanggungjawabnya berat," tegasnya.
Ditanya mengenai standar operasional khusus dalam pembuatan peti khusus bagi jenazah Covid-19, menurut Herlambang pada prinsipnya adalah lapisan yang melindungi jenazah agar tidak terakses langsung dari luar. Dalam artian jenazah terlindungi oleh dengan baik oleh kayu-kayu itu.
"Jadi supaya tidak kecantol apa, supaya tidak sobek semacam itu. Karena sebenarnya kalau lapisan-lapisan plastik ini kan relatif aman. Kita pakai multipleks, kayu lapis. Itu sudah rapi luarnya, tertutup rapat tinggal pinggir-pinggirnya. Terus kami cat. Tetep kami cat," sebutnya.
Layani Dua Rumah Sakit
Mengenai distribusi peti-peti mati hasil buatan rekan-rekan alumni gelanggang mahasiswa UGM tersebut, kata Herlambang, saat ini baru bisa menjangkau di dua rumah sakit saja yaitu RSUP dr Sardjito dan Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM.
Keterbatasan dari segi sumber daya manusia dan dana yang berbasis donasi menjadi kendala. Pasalnya dari segi donasi sendiri rata-rata permintaan memang ke RSUP dr Sardjito.
"Kami pun juga ide awal untuk rumah sakit Sardjito dan rumah sakit akademik UGM. Jadi kami akan ke situ. Itu pun saya yakin tidak memenuhi kebutuhan total semua, tidak akan," ucapnya.
Sejumlah masyarakat pun tidak dipungkiri sudah sempat mencoba menghubungi pihaknya untuk kebutuhan peti mati. Namun stok yang memang belum memenuhi permintaan itu membuatnya tidak bisa melayani permintaan tadi.
"Ada [permintaan dari masyarakat] ada yang japri di facebook, saya terlambat menjawab, petinya ngga ada, bapak kami meninggal isoman di rumah ngga dapet peti, ya sedih sekali dengerin itu. Walaupun kalau saya jawab saat itu kami juga tidak punya stok, tidak bisa kami berikan karena itu sudah hak Sardjito," ujarnya.
Herlambang menuturkan permintaan kebutuhan peti saat ini masih banyak. Bahkan ada satu grup serupa yang ada di Bantul juga mencoba membuat peti hanya dengan triplek yang tipis sebagai dindingnya.
"Artinya kebutuhan sangat mendesak. Ya di Sardjito itu kebutuhannya 60 peti, per hari. Berapa hari yang lalu 60 peti hanya terpenuhi 30 peti. Dua-tiga hari yang lalu," tuturnya.
Ia menilai minimnya ketersediaan peti di Jogja ini disebabkan karena pembuat peti yang juga sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan atau permintaan pasar. Selain butuh bahan baku, pembuatannya pun membutuhkan waktu.
"Jadi baru dua rumah sakit, RSA UGM dan Sardjito. Masyarakat belum terpikir, mungkin kami sambil belajar mencoba membuat. Ya nanti kalau berkembang dan ada energi dan kerja sama baik dari pihak lain untuk kita share apa yang kita lakukan ini, di beberapa titik membuat itu mungkin nanti bisa memenuhi itu. Misalnya di Sleman bikin satu sentra sendiri sama dengan yang kita lakukan," ungkapnya.
Sebagai Stimulus Masyarakat Lain
Herlambang menegaskan bahwa sebenarnya gerakan ini tujuannya bukan pada pengadaan peti itu sendiri. Melainkan lebih sebagai stimulus masyarakat agar bisa ditiru.
"Sebenarnya mohon gerakan ini direplikasi oleh pihak-pihak lain gitu loh, harapan kami begitu. Kemarin ada dokter dari Klaten juga meminta bantuan peti karena di sana kekurangan peti kantong jenazah dan macam-macam. Tapi ya tidak mungkin kami berikan. Bahkan kami adakan pun sulit karena keterbatasan kami," katanya.
Lebih lanjut, Herlambang berharap masyarakat lain bisa turut terlibat untuk membantu di saat kondisi kritis sekarang ini. Ia bahkan terbuka untuk menerima siapa saja yang ingin datang membantu.
" Artinya begini, kalau memang ada yang berminat, pengen kemudian tahu, yuk datang ke sini kita belajar bareng gitu loh. Alat-alatnya dari nol, kebetulan di sini punya alatnya sudah stok punya sendiri hari ini satu terbakar, akhirnya beli alat," terangnya.
Namun lebih dari itu harapan semua yang terlibat dalam gerakan pembuatan peti tersebut adalah bisa untuk sesegera mungkin berhenti produksi. Dalam artian bahwa kasus Covid-19 itu sudah turun dan teratasi dengan baik sehingga pengadaan peti juga bisa teratasi.
"Itu harapan kami. Harapan kami yang lain adalah kalau memang masih panjang, supaya kita bareng-bareng memenuhi kebutuhan peti yang krisis ini. Itu harapan kami paling utama. Kita kan gotong royong nomor satu semangatnya," pungkasnya.
Sementara itu Komandan TRC BPBD DIY Wahyu Pristiawan, mengatakan pihaknya sudah sejak beberapa waktu lalu memprediksi adanya lonjakan kematian pasien Covid-19. Terlebih pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang hanya menjalani isolasi mandiri di rumah.
"Sejak awal kita sampaikan analisa ini bahwa akan mengakibatkan terjadinya lonjakan atau bahkan ledakan kematian. Itu kami ingat bicara sejak tanggal 15 Juni 2021 lalu bahwa beberapa hari kedepan akan terjadi lonjakan kematian orang isoman di rumah," kata Pris.
Pris melanjutkan analisis itu dengan berdasarkan dampak dari ketidaktersediaan layanan kesehatan di rumah sakit untuk masyarakat yang terkonfirmasi positif Covid-19.
"Dari data yang kita dapat, dihitung sejak tanggal 1 Juni 2021 sampai dengan 5 Juli 2021 itu sudah ada 106 orang yang meninggal saat isoman," ujarnya.
Bahkan bukan tidak mungkin kondisi itu bisa menjadi semakin parah jika di hulu persoalan stucknya rumah sakit tadi belum bisa diselesaikan.
Kapolres Sleman, AKBP Wachyu Tri Budi S meminta masyarakat untuk mematuhi aturan dalam PPKM Darurat yang berlaku hingga 20 Juli 2021 mendatang. Terkhusus dalam mengurangi mobilitas di luar rumah untuk menekan penyebaran kasus Covid-19.
"Kita mohon kepada masyarakat juga bahwa situasi saat ini adalah membutuhkan gerak bersama tidak hanya dari kepolisian saja tapi juga dari masyarakat," ujar Wachyu.
Pihaknya sendiri telah melaksanakan penyekatan di beberapa titik untuk menekan mobilitas masyarakat. Bahkan tidak menutup kemungkinan pihaknya akan menambah beberapa titik penyekatan saat siang hari.
"Tapi juga membutuhkan kesadaran dari masyarakat jangan sampai nanti ada mereka yang tidak setuju dan sebagainya. Padahal bahwa ini tujuannya adalah bersama-sama. Kami juga mohon maaf misalnya kepentingan sebagian dari masyarakat pasti akan ada terganggu dengan adanya itu [penyekatan]," tuturnya.
Berdasarkan aturan yang ada, hanya sektor-sektor esensial dan kritikal yang boleh beroperasi selama PPKM Darurat. Selain kedu sektor tersebut masyarakat diimbau tetap berada di rumah untuk mengurangi mobilitas.
Sejauh ini, kata Wachyu baru sekitar 15 persen penurunan mobilitas yang terjadi di Sleman. Padahal target yang hendak dicapai setidaknya bisa mengurangi sampai dengan 30 hingga 50 persen mobilitas masyarakat.
"Tentunya kita membutuhkan masyarakat yang harus sadar bahwa kalau saat ini kita sedang berada di situasi Covid-19 yang begitu tinggi. Ketika mereka sadar dan pemerintah telah melakukan PPKM Darurat tolong yang memang tidak sesuai dengan aturan esensial dan kritikal sebaiknya cukup di rumah saja," tegasnya.