SuaraJogja.id - Dalam kurun sepekan terakhir, pemerintah daerah di beberapa tempat selain fokus menangani Covid-19, mereka juga sibuk menghapus mural yang terpampang di dinding-dinding kota.
Salah satu sudut kota yang sempat ramai dibicarakan upaya penghapusan mural Dibungkam yang terletak di bawah jembatan Kewek, Kota Jogja.
Merunut pada cerita historisnya, mural sangat lekat dengan tradisi dan bahkan jadi salah satu media perlawanan di masa revolusi Indonesia.
Sejarah Mural di Indonesia
Baca Juga:Ramai Soal Penghapusan Mural di Jembatan Kewek, Begini Respon Walikota Jogja
Dikutip dari thesis Syamsul Barry bertajuk Jalan Seni Jalanan Yogyakarta tahun 2008, mural yang dimaknai sebagai lukisan dinding nyatanya sudah ada di Indonesia sejak zaman Mesolitikum yakni terdapat di dalam gua. Kala itu mural dipakai sebagai penanda bahwa di lokasi tersebut pernah ada manusia dan telah menghuni hingga melangsungkan kehidupan disitu.
Produksi mural selain sebagai penanda, di era revolusi juga dipakai oleh para pemuda tanah air sebagai upaya untuk membakar semangat perlawanan.
Dikutip dari tulisan Gede Indra Pramana dan Azha Irfansyah bertajuk Street Art sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes dan Memori Politik yang dimuat dalam Jurnal Ilmia Widya Sosiopolitika, menyebutkan pada periode revolusi jejak mural ditemukan pada sebuah gerbong kereta bertulis Merdeka Atoe Mati.
Mural yang ditulis dalam ukuran besar itu dipakai sebagai peringatan akan kedatangan tentara NICA yang berpotensi merongrong kemerdekaan Indonesia.
Namun kebebasan berekspresi lewat seni mural ini, sempat meredup pasca 1965, tepatnya di era Orde Baru. Tak sedikit para pelaku seniman mural di Orde Baru harus bergerilya untuk mengekspresikan seninya. Salah satunya seperti yang dilakukan komunitas Apotik Komik pada tahun 1997 yang menggambar di permukaan tembok atau kardus untuk kemudian dipajang di luar ruangan.
Baca Juga:Mural di Jembatan Kewek Dihapus Aparat, Seniman Sebut Kurang Kerjaan
Pascakeruntuhan Soeharto, hampir seluruh sendi kehidupan politik, sosial dan budaya mengawali kebangkitannya, termasuk di dalamnya perkembangan seni mural. Mengutip thesis Syamsul Barry bertajuk Seni Jalanan Yogyakarta tahun 2008, model berkesenian di ruang publik mulai banyak dilakukan kembali. Menguatnya aksi seni jalanan ini pun berlangsung lama hingga muncul penghapusan seni-seni mural yang sepekan terakhir marak terjadi.
Dibungkam di Bawah Jembatan Kewek
Tepat pukul 10.30 WIB, lima pemuda menyeberangi jalan di bawah Jembatan Kewek, Kota Jogja. Sambil menenteng sejumlah kaleng cat dan beberapa pilox, kelimanya langsung menuju tembok besar yang berada di timur jembatan setempat, Sabtu (21/8/2021).
Para seniman yang tergabung dalam komunitas Forum Jogja Street Art ini bergantian menyapukan kuas catnya ke tembok Jembatan Kewek menggambar serangkaian huruf. Salah seorang pemuda lainnya tampak memberi arahan. Ia sesekali memperhatikan lokasi sambil terus menyelesaikan lukisan muralnya.
Bamsuck, satu dari lima seniman yang terlibat kemudian terlihat menyesap batang rokok yang tinggal setengah jari, lalu membuang puntungnya tanda memastikan bahwa muralnya selesai. Ia kemudian meninggalkan lokasi bersama empat seniman lainnya. Foto dan video dokumentasi juga sudah disimpan dalam kamera handphone mereka masing-masing.
"Ya sudah akhirnya kita selesaikan karya itu, karena kami juga ingin menyuarakan kegelisahan kami pada situasi saat ini. Kami hanya ingin bersuara karena kami rakyat yang punya hak berekspresi," kata Bamsuck menceritakan kembali bagaimana dia dan empat rekannya menyelesaikan lukisan muralnya ditemui SuaraJogja.id di jalan Menteri Supeno, Umbulharjo, Kota Jogja, Jumat (27/8/2021).
Sesaat kemudian, notifikasi pesan WhatsApp-nya berdenting. Saat dicek, video sejumlah petugas berompi hijau lime tampak sedang mengecat putih mural yang dia buat bersama rekan-rekannya. Bamsuck mengaku tak menyangka mural yang dibuat selama tiga jam itu seketika lenyap dihapus aparat
"Akhirnya saya melintas, dan iya benar dihapus. Baru kali ini karya saya dihapus, kenapa hanya sebuah mural sampai segitunya dihapus?, Padahal bukan kriminal," ucap Bamsuck.
Ekspresi kesal tergambar dari raut wajah pria kelahiran Jogja tahun 1993 itu. Menurutnya kata yang terlukis di muralnya hanya pesan dan suara kegundahan warga saat situasi sekarang.
Tak jera, mural berisi kritik kembali ia buat pada Senin (23/8/2021) pagi sekitar pukul 05.00 WIB. Setelah tembok diubah menjadi warna putih bersih, Bamsuck seorang diri menulis kalimat "Bangkit Melawan atau Tunduk Ditindas".
Tapi, lagi-lagi seakan latah dengan tindakan penghapusan mural di beberapa daerah lain, mural buatan Bamsuck tak bertahan lama. Sekira pukul 12.30 WIB pada hari yang sama, petugas Satpol PP Kota Yogyakarta menghapus tulisan tersebut.
"Kalau kayak gitu kita tidak boleh berkarya, tidak boleh bersuara. Marah iya, kesal juga iya, itu kan mewakilkan masyarakat untuk bersuara juga,” ujar dia mengungkap lagi kronologis muralnya yang dihapus untuk kedua kali.
Bercerita soal pemilihan kata Dibungkam sendiri, kata Bamsuck adalah kesepakatan bersama seniman dan rekan-rekannya. Menurut dia kata itu merupakan representasi dari kehidupan yang terjadi saat ini.
Belakangan, setelah mural Dibungkam dihapus viral, hal tersebut justru memantik gairah para seniman untuk lebih banyak memproduksi karya-karya mural. Kegiatan street art terutama mural di Jogja yang sempat mati suri selama 2 tahun kembali bergairah.
Merespon penghapusan mural yang kemudian memicu gairah aktivitas mural, Bamsuck mengaku tak ingin jemawa. Bamsuck mengaku hanya ingin dianggap seniman Jogja yang terus menyuarakan aspirasi dirinya yaitu rakyat dari sebuah coretan mural.
“Saya tidak ingin terlalu terlihat besar, ya biasa saja. Saya memilih untuk kembali membuat karya lagi, meski akhirnya akan dihapus lagi. Ya ini tidak akan berhenti,” terang pemuda yang telah menggambar mural di 50 tembok di Jogja tersebut.
Pemerintah Terlalu Baper
Merespon tindakan pemerintah yang melakukan penghapusan karya mural di berbagai daerah termasuk karyanya, Bamsuck melihat pemerintah saat ini terlampau sensitif dan justru menguatkan kesan antikritik terhadap hal-hal yang tak sejalan dengan mereka.
"Saya melihatnya mereka kok baper (bawa perasaan), ya mbok biasa saja. Itu kan seni, bentuk ekspresi warga dengan realita yang terjadi saat ini," ujar dia.
Seorang seniman street art Jogja lainnya yang kerap berkontribusi pada Festival Art Jog, Enka menganggap bahwa seharusnya, penghapusan mural itu tak perlu dilakukan pemerintah. Bahkan ia menganggap pemerintah seakan takut dengan reaksi warga yang bisa saja dipicu dari mural yang diciptakan seniman.
"Cukup disayangkan, nampak takut ya, mungkin ketakutannya itu akan memicu sebuah reaksi besar yang menurut mereka (pemerintah), nanti dianggapnya masyarakat tidak mau percaya lagi dengan mereka," kata Enka dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (27/8/2021).
Peraih Juara Mural di salah satu even di Jogja pada 2018 lalu ini mengungkapkan bahwa penghapusan mural di Jembatan Kewek itu juga tidak ada unsur urgensi yang harus segera dilakukan aparat. Kecuali memang dari teks muralnya terdapat unsur politis yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan membangun suasana yang membuat sebagian orang marah.
Enka menyebut bahwa seiring berkembangnya zaman dan situasi sosial masyarakat segaris juga dengan perkembangan seni di suatu tempat. Sebelumnya, mural yang biasa dibuat lebih banyak bentuk artistik hingga karakter.
Ia tak menampik jika memang gaya mural yang dia perhatikan akhir-akhir ini cukup banyak dengan lukisan sebuah kalimat dan kata-kata. Namun begitu tak melulu gaya mural yang dibawa full dengan lukisan berbentuk kalimat.
“Menurut saya itu seni juga, sebuah ungkapan masyarakat melalui mural. Itu tak menjadi masalah meskipun itu lahir dari impact dan kesadaran seniman atas apa yang dia rasakan. Jadi saya membandingkan sebelum Covid-19 dan sesudahnya,” terang seniman asal Klaten yang berdomisili di Jogja itu.
Cukup berlebihan jika pemerintah terlalu resisten dari sebuah kata-kata yang diciptakan dari sebuah mural. Enka tak mengetahui secara pasti apa saja karakter atau tulisan dari sebuah bentuk seni yang masuk dalam kategori berbahaya versi pemerintah.
“Memang ada aturan hingga perdanya ya? tapi saya tidak melihat begitu spesifik apa saja yang mereka nilai salah dan benar,” ujar dia.
Menggugah Kesadaran Lewat Sayembara Mural “Dibungkam”
Penghapusan mural di Jembatan Kewek pada akhirnya dijadikan momentum untuk membangun kesadaran kolektif lewat sayembara yang digelar akun Instagram Gejayan Memanggil. Berbentuk lomba mural yang bisa diikuti oleh seluruh seniman indonesia, orientasi sayembara ini adalah mendapat nilai lebih ketika mural dihapus paling cepat oleh aparat.
Dihubungi melalui pesan singkat, Mimin Muralis (nama disamarkan) salah satu pengelola akun menyebut bahwa sayembara ini akan dilakukan selama satu bulan ke depan. Bahkan tak akan menutup kemungkinan menambah durasi waktu jika respon seniman di media sosial bertambah banyak.
“Jumlahnya belum terhitung, namun cukup banyak dan pesertanya dari seluruh indonesia,” terang dia.
Lebih lanjut, kegiatan ini tidak hanya reaksi atas munculnya tindakan aparat menghapus ekspresi dan pendapat masyarakat dari sebuah mural. Namun baginya, hal ini untuk mengembalikan dan membangun kesadaran orang-orang dengan dugaan penindasan yang terjadi.
“Mungkin lebih ke membangun kesadaran dan membangun persatuan untuk melawan penindasan. Seperti itu kurang lebih,” katanya.
Bukan uang, hadiah yang ditawarkan oleh penyelenggara. Melainkan barang-barang seperti sepatu, buku, bahkan pernak-pernik unik menjadi hadiah bagi peserta.
“Jika uang, itu membuat buta. Hadiah yang kami berikan nanti kepada mereka semuanya barang,” singkatnya.
Sayembara lomba itu, menurut Enka, Seniman Jogja 27 tahun yang juga cukup banyak berkolaborasi dengan seniman luar Negeri seperti Portland, Amerika Serikat dan Australia itu tidak salah. Bisa jadi menggairahkan kembali seniman street art Jogja, bahkan seluruh Indonesia untuk bersenang-senang.
Namun hal yang perlu diperhatikan adalah karya yang mereka kirim harus benar-benar orisinil. Tak menutup kemungkinan peserta hanya ingin ikut-ikutan, dan mencomot karya orang lain tanpa ada izin lalu dibuat ulang tanpa mengulik arti dari si pembuat.
“Ya itu yang perlu diperhatikan teman-teman nanti ketika ikut lomba. (Orisinil karya) yang saya garis bawahi,” terang dia.
Samuel: Itu perebutan ruang publik yang lumrah
Seniman yang kondang namanya di lingkungan mural Jogja, Samuel Indratma melihat bahwa munculnya mural atau seni jalanan itu dipicu adanya perebutan ruang publik di wilayah daerah termasuk kota. Ruang-ruang kota kerap jadi sasaran untuk mengekspresikan karya mural lantaran medium nan murah serta efektif diakses publik.
Pendiri Jogja Mural Forum (JMF) ini menyebut pada medio 1997-2000 perebutan ruang publik seperti yang terjadi di bawah Jembatan Kewek kerap terjadi. Di era itu, sebuah karya seni ditimpa oleh korporat dan ditutup merupakan sesuatu yang lumrah karena menurutnya termasuk bagian dari dinamika kota.
Di Jogja sendiri lanjutnya, gairah mural sempat bagus di masa akhir periode kedua Wali Kota Herry Zudianto. Sekitar tahun 2011-an, seniman disubsidi oleh pemerintah dalam bentuk cat untuk membuat karya di dinding-dinding yang ada di Kota Pelajar.
Samuel mengingat kala itu pemerintah menganggarkan kurang lebih Rp40 juta untuk bantuan cat bagi para seniman. Seluruh cat tersebut ditempatkan di salah satu kantor dinas, bagi warga yang ingin membuat mural bisa mengambil cat tersebut. Dikatakan Samuel cat adalah salah satu kebutuhan seniman art street yang cukup mahal.
“Nah dari situlah Wali Kota merasa harus support karena aktivitas kami, alasannya takut disebut pelit. Ya saya bilang tapi jangan banyak-banyak lho pak. Saya nanti cari sendiri (dana), akhirnya ada kemandirian, ada kegembiraan lantas memungkinkan eksplorasinya lebih jauh,” kata dia.
Usai pergantian Wali Kota Yogyakarta oleh Haryadi Suyuti, subsidi itu sudah tidak ada lagi.
Lebih lanjut, menanggapi penghapusan yang terjadi di Jembatan kewek, Samuel mengaku cukup tergelitik. Ia menyebut baik aparat dalam hal ini pemerintah dan masyarakat sama-sama ingin diperhatikan. Pemicunya tentu momentum pandemi Covid-19 dan juga momentum kebingungan publik.
Penghapusan mural itu, kata Samuel hanya meminjam sebentar platform media daring untuk berpindah ke cara yang tradisional. Artinya ruang yang sebelumnya sering digunakan masyarakat melalui smartphone berpindah sementara ke media dinding.
“Menggelitik ini sebenarnya, satunya membuat, satunya menghapus. Lalu membuat lagi, dihapus lagi, ya saya mesem saja. Misal ada yang ditangkap, ya tangkap saja, tapi yang belum ditangkap, bikin,” kata Samuel.
Menurut pria asal Kota Gombong, Jawa Tengah itu, seniman mural tak perlu fokus terhadap muralnya. Ia menilai jika memang ada tindakan atau reaksi dari pemerintah, buat lagi mural-mural lainnya dimana dari pesan dan isi mural itu disampaikan ke publik. Ia menilai menyampaikan ulang definisi sebuah mural jauh lebih penting.
Sebuah seni termasuk mural ketika sudah didokumentasikan dalam bentuk audio visual atau pun foto, hal itu sudah cukup aman. Dengan kata lain, seniman bisa dengan bebas menyampaikan ulang di media sosial mereka.
Mural Dibungkam Itu Provokatif
Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti ikut menanggapi dengan adanya peristiwa penghapusan mural oleh jajarannya. Menurut pria 57 tahun ini cara masyarakat untuk berekspresi bisa dilakukan dengan banyak hal.
"Aspirasi masyarakat itu kan boleh saja, asal dengan cara dan jalur yang baik sebagaimana masyarakat menyampaikan pesan," terang Haryadi ditemui wartawan di Kantor PDAM Tirtamarta Kota Yogyakarta, Selasa (24/8/2021) lalu.
Memang ada batasan yang perlu diperhatikan oleh pembuat mural saat ini. Artinya membawa pesan yang baik dan tidak menyinggung beberapa pihak.
Lukisan mural yang sebelumnya tertulis kata "Dibungkam", menurut Haryadi bukan merupakan pesan. Bahkan hal itu dinilai bernada provokatif.
"Kalau itu kan bukan pesan, itu memprovokasi. Nah kita harus melihat mana yang provokasi mana yang bukan," ujar dia.
Pemerintah, kata dia akan berpegang apakah tulisan atau lukisan itu bisa menimbulkan keresahan. Kendati begitu ada cara dan jalur lain jika warga ingin menyuarakan aspirasinya
Bagi Haryadi mural tersebut sebaiknya tak perlu dibuat saat situasi seperti ini. Jika pun ingin menyampaikan pendapat ada jalur lain yang siap menampung.
"Ya kan ada jalur lain, kita punya wakil rakyat. Ya sudah, sampaikan saja kepada mereka," kata Haryadi.
Kepala Satpol PP Kota Yogyakarta, Agus Winarto mengatakan ada aturan bagaimana masyarakat menggunakan ruang publik yang ada di Kota Jogja untuk berekspresi dengan membuat mural. Ia menyebut bahwa kegiatan corat-coret dilarang dan diatur dalam Perda nomor 15/2018 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
Pada Pasal 20 disebutkan, Setiap Orang dan/atau Badan dilarang melakukan aktivitas corat coret pada bangunan cagar budaya, fasilitas umum, jalan, bangunan. Semua aktivitas corat-coret itu kata Agus tidak bermasalah ketika mendapat izin dari orang atau pengelola.
Dalam Perda juga diatur hukuman jika terbukti melakukan aktivitas corat-coret tanpa izin. Beberapa diantaranya dikenai denda Rp5-10 juta. Selain itu, pelaku corat-coret wajib mengembalikan keadaan seperti semula.
Agus mengatakan jika Satpol PP tidak menyoroti soal isi konten. Jika memang yang terjadi membuat gambar di tempat yang tak memiliki izin atau sesuai Perda, pihaknya mengambil tindakan.
“Jadi kami mengikuti amanah dari Perda itu sendiri. Tidak terkait dengan konten, isi gambar itu,” ungkapnya.
Agus mengatakan akan lebih baik dibuat sebuah lomba yang dilakukan dengan kerjasama Organisasi Perangkat daerah (OPD), sehingga sekalian mendapatkan izinnya.
Agus tak ingin menjelaskan lebih jauh terkait isi materi dari sebuah mural atau coretan yang beberapa waktu lalu viral. Melihat dari adanya Perda itu, perlu diambil tindakan karena sudah melanggar Perda yang ada.
Sementara itu menurut Kabid Humas Polda DIY, Kombes Pol Yuliyanto merespon munculnya sayembara membuat mural Dibungkam, tak mempermasalahkan dengan kegiatan tersebut. Terlebih lagi penindakan tidak berada di jajaran kepolisian.
Yuliyanto hanya berpesan, pemerintah memiliki batasan lokasi yang bisa digunakan untuk membuat mural dan tidak. Sehingga, bagi para peserta harus mengikuti betul aturan atau lebih mudahnya meminta izin dari pengelola lokasi sebelum membuat gambar.
"Kalau itu tempat pribadi tentu ada izin pemilik. Tapi kalau itu tempat umum, dalam arti di bawah kewenangan pemerintah kabupaten/kota tentu mereka yang mempunyai kewenangan di situ, sepanjang mereka mengizinkan tentu tidak ada larangan," terang Yuliyanto.
Terkait materi yang akan dibuat, kata dia tak perlu membuat gaduh atau menyinggung pihak lain. Sehingga tidak perlu menjadi
"Kalau dari sisi materi harus tidak menyinggung pihak-pihak tertentu. Nanti akibatnya macam-macam, mungkin mengarah ke tindak pidana atau melanggar ketertiban umum," katanya.