Siasat Merebut Ruang Publik: Dibungkam di Bawah Jembatan Kewek

tindakan aparat menghapus mural Dibungkam yang ada di jembatan kewek beberapa waktu lalu viral.

Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Sabtu, 28 Agustus 2021 | 15:03 WIB
Siasat Merebut Ruang Publik: Dibungkam di Bawah Jembatan Kewek
Seorang pengendara melintas di depan coretan Dibungkam di Jalan Nitikan Baru, Umbulharjo, Kota Jogja, Jumat (27/8/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Dalam kurun sepekan terakhir, pemerintah daerah di beberapa tempat selain fokus menangani Covid-19, mereka juga sibuk menghapus mural yang terpampang di dinding-dinding kota.

Salah satu sudut kota yang sempat ramai dibicarakan upaya penghapusan mural Dibungkam yang terletak di bawah jembatan Kewek, Kota Jogja.

Merunut pada cerita historisnya, mural sangat lekat dengan tradisi dan bahkan jadi salah satu media perlawanan di masa revolusi Indonesia.

Sejarah Mural di Indonesia

Baca Juga:Ramai Soal Penghapusan Mural di Jembatan Kewek, Begini Respon Walikota Jogja

Dikutip dari thesis Syamsul Barry bertajuk Jalan Seni Jalanan Yogyakarta tahun 2008, mural yang dimaknai sebagai lukisan dinding nyatanya sudah ada di Indonesia sejak zaman Mesolitikum yakni terdapat di dalam gua. Kala itu mural dipakai sebagai penanda bahwa di lokasi tersebut pernah ada manusia dan telah menghuni hingga melangsungkan kehidupan disitu.

Produksi mural selain sebagai penanda, di era revolusi juga dipakai oleh para pemuda tanah air sebagai upaya untuk membakar semangat perlawanan.

Dikutip dari tulisan Gede Indra Pramana dan Azha Irfansyah bertajuk Street Art sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes dan Memori Politik yang dimuat dalam Jurnal Ilmia Widya Sosiopolitika, menyebutkan pada periode revolusi jejak mural ditemukan pada sebuah gerbong kereta bertulis Merdeka Atoe Mati.

Mural yang ditulis dalam ukuran besar itu dipakai sebagai peringatan akan kedatangan tentara NICA yang berpotensi merongrong kemerdekaan Indonesia.

Namun kebebasan berekspresi lewat seni mural ini, sempat meredup pasca 1965, tepatnya di era Orde Baru. Tak sedikit para pelaku seniman mural di Orde Baru harus bergerilya untuk mengekspresikan seninya. Salah satunya seperti yang dilakukan komunitas Apotik Komik pada tahun 1997 yang menggambar di permukaan tembok atau kardus untuk kemudian dipajang di luar ruangan.

Baca Juga:Mural di Jembatan Kewek Dihapus Aparat, Seniman Sebut Kurang Kerjaan

Pascakeruntuhan Soeharto, hampir seluruh sendi kehidupan politik, sosial dan budaya mengawali kebangkitannya, termasuk di dalamnya perkembangan seni mural. Mengutip thesis Syamsul Barry bertajuk Seni Jalanan Yogyakarta tahun 2008, model berkesenian di ruang publik mulai banyak dilakukan kembali. Menguatnya aksi seni jalanan ini pun berlangsung lama hingga muncul penghapusan seni-seni mural yang sepekan terakhir marak terjadi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak