Juknis sempat ditolak keraton
Terkait kekhawatiran pemerintah desa di DIY atas pensertifikatan tanah desa atas kepemilikan kasultanan, kuasa hukum keraton, Achiel Suyanto menyebutkan desa bukan sebagai sebuah entitas yang kuat. Desa merupakan bagian dari kasultanan, dimana raja pada waktu itu memberikan tanah desa untuk dikelola perangkatnya. Mulai dari pelungguh dan pengarem-arem yang menjadi gaji untuk sebagian perangkat desa.
Saat ini, sertifikasi tanah desa secara tegas adalah hak milik kasultanan. Kemudian diberikan kepada desa sebagai hak pakai, hak guna, dan sebagainya.
“Jadi jangan dicampuradukkan seolah-olah desa menjadi entitas sendiri, ya tidak. Wong nama desa itu juga dari jaman nagari juga ada kok,” terang Achiel, Rabu (1/9/2021).
Baca Juga:LPSK Beri Jaminan, Saksi Kasus Bom Molotov di Kantor LBH Yogyakarta Jangan Takut Bicara
Meskipun sertifikasi tanah desa berdasarkan Juknis Menteri ATR/Kepala BPN Pusat dianggap lemah sebagai dasar hukum, bagi Achiel hal itu merupakan bagian dari penataan. Namun apabila mengacu pada UU Keistimewaan yang diimplementasikan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 33 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Kadipaten serta Pergub Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, dianggap sudah cukup kuat bagi pemda mengatur tanah desa di DIY.
“Makanya secara perlahan lahan kami sedang menata. Tidak bisa langsung selesai, butuh waktu,” jelas dia.
Bahkan Achiel sempat menentang adanya juknis tersebut. Menurut Achiel, juknis tidak diperlukan karena sudah ada pergub yang mengatur secara teknis pengelolaan tanah desa. Tidak ada dasar hukum yang jelas mengapa juknis itu diterbitkan dan UU Keistimewaan juga tidak mengatur.
“Ya itu perintah dari mana juknis? Kalau masalah internal di BPN, ya silakan. Tapi di UU Keistimewaan tidak ada perintah untuk bikin juknis, saya bilang. Kami menolak itu,” ujar dia.
Namun apabila harus dibuat juknis jangan sampai bertentangan dengan UU Keistimewaan. Ia memahami kondisi pengelolaan tanah di DIY cukup rumit. Bagi dia, jika para pihak mau melihat dan bersinergi dengan hal yang saat ini terjadi, maka persoalan itu bisa selesai.
Baca Juga:Top 5 SuaraJogja: Ganjar Terancam Sanksi PDIP, Khotbah Pendeta Soal Muhammadiyah
Tanah desa jadi milik keraton
Kelahiran juknis, menurut penjelasan Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana ditindaklanjuti dengan pembentukan tim juknis. Tim ini melihat hasil inventarisasi tanah desa yang dimiliki kasultanan dan kadipaten. Tim inventarisasi terdiri dari pemdes, pemda (Dispertaru DIY), Biro Hukum DIY, Kanwil BPN DIY, serta pihak kasultanan dan kadipaten.
“Kemunculan juknis untuk memperjelas administrasi pencatatan tanah desa yang dimiliki kasultanan,” kata Suyus.
Suyus menjelaskan, tanah kasultanan dan kadipaten yang tercatat saat ini ada 33 ribu hektare atau 11,2 persen dari total luas tanah di DIY yang mencapai sekitar 300 ribu hektare. Dan prosentase luas tanah itu sudah diberikan kepada lembaga, instansi pemerintahan, dan masyarakat.
“Kalau itu (11,2 persen) ngakunya ya. Padahal kalau diidentifikasi itu (tanah kasultanan) sampai Cilacap (Jawa Tengah). Ini kan yang diminta cuma 11,2 persen. Tidak terlalu banyak. Dan itu juga bukan hak perorangan,” terang Suyus diwawancara tim kolaborasi secara daring didampingi Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, Dwi Purnama, dan Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral, Tri Wibisono, Senin (5/7/2021).
Langkah tersebut untuk mencari format yang baik agar administrasi pertanahan di Yogyakarta bisa lebih mudah. Menurut Suyus, kasultanan dan kadipaten hanya meminta tanahnya diakui kembali.